Hermeneutika:
Esksistensi,
Peran, Kelebihan dan Kekurangannya dalam Eksplanasi Sejarah[1]
Rendy
Wahyu Satriyo Putro[2]
Pendahuluan
Sejarah
merupakan ilmu karena dapat disusun secara sistematis dengan metodologi yang
ilmiah untuk mendapatkan kebenaran mengenai peristiwa masa lampau. Sehingga,
mempelajari metodologi sejarah sangatlah penting dalam mempelajari sejarah.
Namun juga, pemahaman sejarah merupakan modal awal dalam penulisan sejarah.
Sejarah memang tidak lepas dari masa lalu, namun banyak cara pandang orang atau
peneliti sejarah dalam memahami sejarah.
Dengan
memahami sejarah, orang akan belajar memahami hidupnya sehingga dapat
menempatkan diri dengan baik dalam menjalani hidup yang baik. Sejarah merupakan
sebuah cermin kehidupan yang dengannya kita dapat belajar dari masa lalu. Masa
lalu bukan untuk dilupakan, namun masa lalu dapat dijadikan sebuah pelajaran.
Sebuah pelajaran yang diambil sisi positifnya dan sisi negatifnya dijadikan
sebuah pelajaran yang jangan pernah lagi diulangi pada masa yang akan datang.
Dalam
memahami sejarah, banyak jalan dan banyak cara pandang yang sangat mungkin
berbeda antar orang. Sehingga, diperlukan pemahaman yang luas dalam mempelajari
sejarah. Tidak hanya satu pemahaman saja atau percaya pada satu sumber saja
namun juga dari banyak sumber dan tidak boleh menjustice kebenaran.
Kebenaran dalam sejarah memang sangat rumit dan relatif, ibarat koran, halaman
yang kita baca di depan berbeda jika dilihat orang dari arah pandangannya
(koran bagian belakang maupun dilihat dari samping hanya terlihat sebuah
tumpukan kertas). Bendanya satu, namun banyak yang memaknainya. Sama halnya
juga sejarah, peristiwanya satu namun banyak yang menafsirkannya berbeda-beda.
Dalam
meneliti sejarah, keberadaan sumber merupakan suatu hal yang penting dalam
eksplanasi sejarah. Sumber dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sumber primer
dan sumber sekunder. Sedapat mungkin sumber primer harus didapatkan sebagai
legitimasi untuk mencari sumber sejarah. Sumber dapat berupa arsip, prasasti,
artefak, maupun sumber lisan atau pun tradisi lisan.
Banyak
teori yang digunakan untuk menjelaskan suatu peristiwa sejarah, mulai dari
strukturasi, fenomenologi, narativistisme, postmodernisme, hermeneutika, dan
lain sebagainya yang digunakan sebagai teori yang membantu memahami suatu
peristiwa sejarah. Dalam kajian kali ini akan lebih dibahas mengenai
hermeneutika sebagai teori yang mendukung untuk memahami suatu peristiwa
sejarah. Pentingnya memaknai lebih mendalam dalam menafsirkan suatu peristiwa
sejarah dibutuhkan jam terbang yang tinggi dengan pemahaman yang luas untuk
memahami suatu peristiwa dengan berbagai perspektif agar lebih mampu memahami
dengan pemahaman yang mendalam. Dalam pembahasan selanjutnya akan dibahas
tentang eksistensi hermeneutika, peran hermeneutika dalam sejarah, serta
kelebihan dan kekurangan hermeneutika dalam eksplanasi sejarah.
Eksistensi Hermeunitika
Pengertian Hermeneutika erat hubungannya dengan
penafsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan pelaku sejarah (Madjid,
2014: 249). Hermeunitika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi,
filsafat, bahkan sastra. Hermeunitik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan
dalam teologi Protestan Eropa yang menyatakan bahwa hermeunitika merupakan
titik fokus dari isu-isu teologis sekarang (Parlmer, 1969: 3). Hermeneutika
memiliki tradisi yang panjang berawal dari studi penafsiran Kitab Suci Agama
Kristen dan Yahudi (Judaism): The critical interpretation and the science of
the interpretive principles of the Bible. Pada perkembangan kemudian,
hermeneutika menjadi studi tentang prinsip-prinsip metodologis dalam penafsiran
dan penjelasan berkenaan dengan teks, filologis, literasi, ragam bentuk,
tradisi, alegoris hingga kondisi historis yang membawa kita sampai kepada
penafsiran dan penjelasan (Lohanda, 2011: 96).
Istilah
hermeunitika itu sendiri tercatat hanya dari abad ke 17, penerapan penafsiran
tekstual dan teori-teori interpretasi—keagamaan, sastra, hukum—telah mulai
sejak zaman klasik (Palmer, 1969: 40). Bagi Hirsch dalam Palmer (1969: 3),
hermeunitika dapat dan akan menjadi sebuah pengetahuan dasar dan fondasional
untuk semua penafsiran literatur. Secara etimologi kata hermeneutika (hermeneutic)
berasal dari Yunani, hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau
menafsirkan. Ia merupakan sebuah proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah sebagaimana
menafsirkan sebuah teks klasik dan asing menjadi milik kita yang hidup di zaman
dan tempat berbeda (Umiarso, 2011: 193).
Menurut Attamimi (2012: 276-277) sebagai sebuah
praktek interpretasi dan pemikiran dalam filsafat, hermeneutika sesungguhnya
telah muncul sejak awal lahirnya sejarah peradaban manusia. Berbagai peradaban
besar yang pernah berkembang sejak dulu pada umumnya memiliki kitab suci yang
tentu saja berwujud teks. Karena kitab suci tidak mungkin bisa berbicara
sendiri, maka agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata, diperlukan
pemahaman, pembacaan, penafsiran, dan penafsiran ulang yang pada umumnya dilakukan
oleh para ahli agama. Selain itu dapat dipahami juga bahwa terdapat jarak yang
panjang antara masa kelahiran teks dan masa penafsiran. Oleh karena itu
diperlukan jembatan metodologis untuk memahami teks tersebut. Metodologi itulah
salah satunya yang disebut kemudian dengan hermeneutika.
Hermeunitik
mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu
peristiwa pemahaman teks dan persoalan yang lebih mengarah mengenai apa
pemahaman dan interpretasi itu (Palmer, 1969: 8). Hermeunitika merupakan studi
bentuk terakhir pemahaman ini. Ia mencoba menggerakkan bersama-sama dua wilayah
teori pemahaman: persoalan tentang apa yang terlibat dalam peristiwa pemahaman
sebuah teks, dan persoalan tentang pemahaman itu sendiri dalam pengertian yang
sangat fondasional dan eksistensial itu sendiri (Palmer, 1969: 10). Sehingga,
dalam hal ini hermeunitik dapat diartikan sebagai hubungan mengenai perpaduan
pemahaman sumber tertulis dengan persoalan dan pemahaman suatu peristiwa dalam
artian membawa suatu sumber dan peristiwa untuk dipahami. Hermeunitika adalah
sistem tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks (Palmer,
1969: 41).
Teks
tidaklah berbicara di dalam makna yang biasa dari kata tersebut. Namun, oposisi
diametrik sesederhana apa pun menegaskan pada satu sisi antara ujaran (speech)
yang terikat oleh situasi, dan referensi, serta pada sisi lain teks sebagai
pintasan atau suspensi (penundaan) dari keduniawian teks (Said, 1983: 40).
Sebuah teks mempunyai situasi yang khas, yang menempatkan pengendalian atas
diri penafsir dan tafsirannya bukan lantaran situasinya disembunyikan di dalam
teks sebagai sebuah misteri, tetapi lebih lantaran situasi ada pada level yang
sama dari kekhasan permukaan sebagaimana objek tekstual itu sendiri (Said,
1983: 47).
Teks
sebagai hasil komunikasi sebenarnya muncul dalam sekali waktu ketika proses
komunikasi terjadi. Namun demikian, ketika teks mula-mula muncul dalam bentuk
oral diproduksi kembali ke dalam teks tertulis, keberadaan teks menjadi lebih
mapan dan tahan lama (Ibrahim, 2014: 28). Teks diperlakukan sebagai sesuatu
yang mandiri, dilepaskan dari pengarangnya, waktu penciptanya, dan konteks
kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu
ketika teks itu di ciptakan (Mahfudz, 2013: 5). Sedangkan, kalangan strukturalis memandang
bahasa sebagai sistem tanda-tanda yang tidak hanya berupa suara atau teks-teks
tertulis, melainkan juga semua praktik sosial yang bermakna dan fenomena
kultural yang dapat menyusun berbagai macam bahasa (Barthes, 1968: 15).
Menurut
Hermes dalam Palmer (1969: 15), ada tiga bentuk makna dasar dalam hermeneuin
dan hermeneia, tiga bentuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuin,
yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya, “to say”; (2) menjelaskan,
seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam
transliterasi bahasa asing. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata
kerja Inggris “to interpret”, namun masing-masing ketika makna itu
membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.
Menurut
Wilhelm Dilthey dalam Palmer (1969: 45), dia melihat hermeunitika adalah inti
disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften
(yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan
manusia). Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berkaitan dengan
hukum, karya sastra, maupun kitab suci, membutuhkan tindakan pemahaman
historis.
Menurut
Josef Bleicher dalam Ulumuddin (2006: 81), Habermas memperkenalkan pemikiran
hermeneutik kepada metodologi ilmu-ilmu sosial untuk menunjukkan kelemahan
pendekatan- pendekatan interpretatif yang langsung. Strategi yang diadopsi
Habermas merupakan usaha untuk membedakan batasan-batasan kesadaran hermeneutik
dan untuk menjelaskan kerangka teoritis programatis yang akhirnya sebuah kritik
idiologi menjadi usaha yang dapat terus hidup dan sah (Ulumuddin, 2006: 84).
Menurut
Gadamer dalam Palmer (1969: 47), hermeunitika adalah pertemuan dengan ada (being)
melalui bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik realitas
manusia itu sendiri, dan hermeunitika larut ke dalam persoalan-persoalan
filosofis dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan
realitas. Hermeneutika dialektis Gadamer berlandaskan bukan pada kesadaran diri
namun pada keberadaan, pada linguistikalitas manusia, dan untuk itu tentunya
berlandaskan pada karakter ontologis peristiwa linguistik (Palmer, 1969: 194). Sedangkan
menurut Paul Ricoeur dalam Palmer (1969: 47), yang kita maksudkan dengan
hermeunitika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis,
dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi
tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Baik dalam suatu
percakapan maupun dalam penafsiran teks-teks, kita harus masuk ke dalam kulit
lawan bicara atau pengarang, sambil menimba dari pengalaman hidup sendiri
(Ankersmit, 1984: 154).
Tujuan
Hermeunitika menurut Friederich August Wolf (1759-1824) dalam Palmer (1969: 91)
adalah untuk menangkap pikiran yang ditulis atau bahkan yang dikatakan
pengarang seperti yang dia inginkan. Interpretasi adalah dialog, dialog dengan
pengarang. Interpreter (seorang penafsir) harus peka dalam memahami maksud itu
agar dapat menjelaskannya pada orang lain.
Proses
hermeneutis pada hakikatnya tidaklah hadir di dalam pengungkapan ilmiahnya dari
apa yang telah diformulasikan dalam teks, ia lebih merupakan proses pemikiran
orisinal di mana makna hadir untuk diungkapkan yang sesungguhnya ia tidak
secara eksplisit nampak (Palmer, 1969: 183). Sedangkan menurut Ankersmit (1984:
155) proses hermeneutika itu (menghayati dari dalam jalan pikiran orang lain),
tidak hanya berguna untuk menafsirkan teks-teks atau maksud seorang lawan
bicara. Bermakna sekali menghayati dari dalam jalan pikiran orang lain, kalau
kita ingin mengerti, mengapa ia berbuat begini atau begitu. Hermeneutika
dianggap sebagai pendekatan yang tepat karena ia mampu mendekatkan pemahaman
pembaca dengan teks yang sudah jauh melampaui zamannya (Mahfudz, 2013: 2).
Peran Hermeunitika dalam Sejarah
Menurut
Kuntowijoyo (2008: 10), penjelasan sejarah adalah hermeneutics dan verstehen,
menafsirkan dan mengerti, penjelasan tentang waktu yang memanjang dan
penjelasan tentang peristiwa tunggal. Sejarah berhubungan dengan gejala yang
unik, sekali terjadi, dan terkait dengan konteks waktu dan tempat (ideographic)
(Kuntowijoyo, 2008: 117). Dalam disiplin ilmu sejarah, penafsiran dan
penjelasan berawal dari pemahaman akan masalah dan kemampuan menafsir sumber
sejarah. Dalam kenyataannya, sumber sejarah itu bisa berarti teks, bisa berarti
ragam bentuk, alegori, sampai kepada tradisi dan kondisi historis yang
melahirkan sumber sejarah tersebut (Lohanda, 2011: 96-97). Sebagai sebuah ilmu
sosial yang dialektis, hermeneutika kritis Habermas berusaha menengahi antara
objektivitas proses-proses historis dan motif-motif mereka yang bertindak di
dalamnya (Ulumuddin, 2006: 80).
Bila
seorang ahli sejarah menerangkan dan melukiskan masa silam, ia melakukan itu
dengan menerima masa silam seperti adanya. Tetapi, seorang filsuf sejarah
spekulatif tidak merasa puas dengan sikap seperti itu, ia mencari suatu struktur
dalam yang tersembunyi di dalam proses historis yang menerangkan mengapa
sejarah berlangsung demikian dan hanya dapat berlangsung demikian (Ankersmit,
1984: 3-4). Dengan demikian, perlu adanya telaah sejarah yang mampu menjawab
sebuah makna dari peristiwa masa lampau dengan pemaknaan yang mendalam guna
penafsiran sejarah yang diharapkan sesuai dengan bagaimana peristiwa sejarah
tersebut terjadi, sehingga dalam hal ini hermeneutika digunakan dalam memahami
sejarah.
Menurut
Paul Ricoeur (1965) dalam Palmer (1969: 47-48) yang dimaksudkan dengan
hermeunitika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis,
dengan kata lain , sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi
tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Dengan kata lain,
hermeunitika merupakan proses penguraian isi dan makna yang nampak ke arah
makna yang terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam
pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos
dari simbol masyarakat atau sastra.
Sehingga, dalam pemaknaan sejarah, hermeunitika sangat dibutuhkan dalam
memahami suatu peristiwa sejarah yang tidak saja hanya dijelaskan melalui suatu
peristiwa saja melainkan juga melalui simbol-simbol yang terdapat pada masyarakat,
dalam hal ini adalah pola pikir dalam masyarakat.
Rudolf
Bultmann (1941) dalam Palmer (1969: 57) menjelaskan bahwa secara objektif ia
bisa terjerembak ke dalam subjektivitas, sejarawan tidak bisa lari dari
pemahamannya: dalam pilihan sudut pandang, berlaku apa yang disebut pertemuan
eksistensial dengan sejarah. Sejarah dapat bermakna hanya ketika sejarawan itu
sendiri berpijak pada sejarah dan mengambil jarak darinya. Dengan kata lain,
makna sejarah dapat dipahami ketika sejarawan mampu memaknai sejarah tanpa
adanya unsur-unsur kecondongan dalam menulis sejarah, sehingga diperlukan
memberikan jarak dalam menafsirkan sebuah sejarah. Jarak yang dimaksudkan di
sini adalah memberi batasan diri pada kemungkinan-kemungkinan keberpihakan
dalam menafsirkan sejarah. Sehingga, sejarah dapat dimaknai secara mendalam dan
sesuai dengan peristiwa yang terjadi.
Ankersmit
(1984: 233) menjelaskan bahwa, interpretasi historis yang paling baik ialah
penafsiran yang paling berhasil memperlihatkan keberkaitan antara sebanyak
mungkin gejala historis. Namun, penafsiran sejarah yang paling berhasil pun,
dan yang paling berhasil menunjukkan keberkaitan antara gejala-gejala yang
diteliti, tidak merekam keberkaitan di dalam masa silam sendiri. Rupanya, masa
silam sendiri merupakan wasit antara berbagai penafsiran historis dan memberi
kesan bahwa penafsiran-penafsiran historis memang menunjukkan struktur-struktur
tertentu yang secara objektif dapat kita tampilkan.
Menurut
Ankersmit (1984: 369-370) makna sejarah memiliki empat tafsiran. Pertama, kita
dapat menafsirkan pertanyaan mengenai makna sejarah, sebagai sebuah pertanyaan
mengenai tujuan terakhir yang dilaksanakan dalam perjalanan proses sejarah.
Kedua, sebagai pertanyaan mengenai arti proses sejarah. Ketiga, sebagai
pertanyaan mengenai tujuan dan gunanya pengkajian sejarah. Empat, sebagai
pertanyaan mengenai arti pengkajian sejarah.
Dalam
menafsirkan sejarah, menurut Gadamer
dalam Kau (2014: 6-7), intensi teologis penafsir sangat mempengaruhi dalam
pengambilan makna. Maksudnya, sejarah sebagai sebuah peristiwa masa lalu manusia
diberi makna proyektif untuk memandang masa depan,
dengan kerangka berpikir hari ini. Oleh karenanya obyektifitas historis menjadi
kabur. Yang ada adalah sebuah intensi ke depan berdasarkan
asumsi-asumsi dan sistem nilai yang diwariskan oleh tradisi.
Dalam
teori hermeneutika, manusia dilihat sebagai orang yang bergantung pada
pengalaman konstan masa lalu dan untuk itu hampir dapat dikatakan bahwa manusia
adalah makhluk hermeunitis yang memahami dirinya sendiri dalam term
penginterpretasian warisan sejarah dan secara bersama-sama pengeksplorasi
warisan tersebut, suatu warisan yang secara konstan ada dan aktif dalam
keseluruhan tindakan dan keputusannya. Dalam historitas, hermeneutika modern
mendapatkan pijakan teoritisnya (Palmer, 1969: 133).
Makna
merupakan sesuatu yang bersifat historis, ia merupakan suatu hubungan
keseluruhan kepada bagian-bagiannya yang kita lihat dari sudut pandang
tertentu, pada saat tertentu, bagi kombinasi bagian-bagian tertentu. Makna bukanlah
sesuatu yang berada di atas atau pun di luar sejarah, namun merupakan bagian
dari lingkungan hermeneutis yang selalu bermakna secara historis (Palmer, 1969:
134). Makna bersifat historis: ia berubah selaras dengan waktu, merupakan
persoalan hubungan yang selalu berkenaan dengan suatu perspektif di mana
peristiwa itu dilihat. Makna tidak bisa dibakukan dan diatur (Palmer, 1969:
135). Sehingga, dalam memaknai sejarah haruslah total dengan mengkombinasikan
bagian demi bagian sejarah dari berbagai perspektif berpikir dan pemaknaan
setiap orang bisa saja menjadi berbeda sesuai dengan pola pikir atau pemahaman
orang tersebut.
Tugas
sejarawan bukanlah menginjeksi perasaan pribadinya ke dalam sejarah, melainkan
masuk secara total ke dalam dunia sejarah di mana ia ingin memberikan suatu
pemahaman (Palmer, 1969: 209). Pemahaman sejarah tidaklah terletak dalam
totalitas penyingkiran, pengalaman diri seseorang, akan tetapi terletak di
dalam kesadaran bahwa seseorang tersebut merupakan sebuah keberadaan sejarah,
terutama ia terletak dalam partisipasi umum seseorang dengan lainnya dalam
kehidupan (Palmer, 1969: 210).
Kesadaran
mencakup suatu hubungan dengan sejarah di mana teks tidak pernah sepenuhnya dan
secara obyektif merupakan hal lain, karena pemahaman bukanlah rekognisi pasif
dari keberlainan masa lalu namun lebih dari itu merupakan suatu penempatan diri
seseorang sehingga dimungkinkan klaim oleh yang lain. Ketika sebuah teks
historis dibaca semata historis, maka suasana kekinian telah menjadi dogmatis
dan ditempatkan di luar pertanyaan dan persoalan akan diajukan (Palmer, 1969:
228). Menurut Stephen Strasser dalam Palmer (1969: 228-229) kesadaran
hemeneutis mendapatkan pemenuhan dan kepuasannya tidak dalam kebertentuan diri
yang metodis tetapi dalam kesiapan eksperensial dan keterbukaan di mana
seseorang yang memiliki pengalaman berlawanan dengan seseorang yang bersifat
dogmatis. Inilah yang memberikan karakter kepada kesadaran operatif historis.
Sejarawan
mencoba menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau dengan empati,
menempatkan dirinya dalam alam pemikiran pelaku sejarah. Hermeneutika mencoba
memasuki diri pelaku dan berupaya memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan
diperbuat pelaku sejarah. Ada semacam dialog batin antara batin sejarawan yang
menggunakan pengalaman hidupnya sendiri dan sumber-sumber sejarah yang
digunakan (Madjid, 2014: 250).
Maka
dari itu, istilah hermeneutika dapat dipergunakan dalam dua arti, yaitu
menafsirkan teks-teks dari masa silam, dan menerangkan perbuatan seorang pelaku
sejarah (Ankersmit, 1984: 156). Alhasil, seorang peneliti sejarah memang harus
menafsirkan masa silam dengan menunjukkan kesatuan dan koherensi, tanpa
keharusan menerima cara kerja seseorang yang menafsirkan teks-teks (Ankersmit,
1984: 157). Menurut Ankersmit (1984: 158-159) hermeneutika naik banding pada
pengalaman hidup sendiri, untuk merekonstruksi kembali gagasan-gagasan dan ide-ide
seorang pelaku sejarah, itulah sebabnya, hermeneutika dapat disebut suatu
cabang dari idealisme.
Kelebihan Hermeneutika dalam Eksplanasi Sejarah
Hermeneutika
dalam eksplanasi sejarah sangat dibutuhkan dalam menafsirkan dan memaknai suatu
peristiwa sejarah yang berkaitan dengan pemaknaan teks, maupun bahasa. Sehingga
dengan hermeneutika, akan didapatkan suatu pemaknaan sejarah yang mendalam.
Pentingnya bagi sejarawan adalah sejarawan akan mampu menyelami masa lalu
dengan kekuatan batinnya. Pemaknaan mendalam akan dapat digunakan dengan
menggunakan sumber-sumber sejarah dan sesuai dengan pengalaman hidup sejawaran.
Dengan
hermeneutika, suatu peristiwa sejarah yang menjadi misteri akan dapat dipahami
dengan baik. Dengan kata lain, suatu peristiwa sejarah akan dapat ditelusuri
dan dimaknai yang dapat menjelaskan suatu peristiwa sejarah. Hermeunitika
merupakan proses penguraian isi dan makna yang nampak ke arah makna yang
terpendam dan tersembunyi. Hermeneutika dianggap sebagai pendekatan yang tepat
karena ia mampu mendekatkan pemahaman pembaca dengan teks yang sudah jauh
melampaui zamannya (Mahfudz, 2013: 2).
Kekurangan Hermeneutika dalam Eksplanasi Sejarah
Interpretasi
eksplanatif membuat kita sadar bahwa eksplanasi bersifat konstekstual,
horizonal. Eksplanasi harus dibuat dalam horizon makna dan intensi yang pasti.
Di dalam hermeunitika, area pemahaman yang diasumsikan ini disebut
pra-pemahaman (pre-understanding). Seseorang dapat menanyakan apakah
pra-pemahaman dibutuhkan agar dapat memahami teks (Palmer, 1969: 28). Menurut
Wolf dalam Palmer (1969: 91-92), eksplanasi harus didasarkan pada pemahaman,
dan pemahaman dibedakan dari eksplanasi. Makna citra secara langsung ditangkap
dalam pemahaman. Langkah selanjutnya diambil dalam memberikan eksplanasi lisan
atau tulisan terhadapnya.
Penerjemah
membuat kita sadar akan kenyataan bahwa bahasa itu sendiri memuat interpretasi
tentang dunia, di mana penerjemah harus sensitif seperti ia menerjemahkan
ekspresi individu. Penerjemah hanya membuat kita betul-betul sadar akan cara di
mana kata-kata sebenarnya membentuk pandangan-pandangan tentang dunia, bahkan
persepsi-persepsi kita (Palmer, 1969: 31).
Bultmann
dalam Palmer (1969: 57) menyatakan bahwa masing-masing interpretasi historis
atau dokumen historis dikendalikan oleh kepentingan tertentu, yang pada
gilirannya didasarkan pada pemahaman awal tertentu dari subyek. Terlepas dari
kepentingan dan pemahaman ini, pertanyaan yang diajukan padanya mulai
terbentuk. Tanpa hal itu, tiada pertanyaan yang dapat muncul, dan tidak akan
ada interpretasi. Dengan demikian, semua interpretasi dikendalikan oleh
pra-pemahaman penafsir.
Keseluruhan
interpretasi ada dalam kebenaran spekulatif. Untuk itu hemeneutika harus
melihat keseluruhan keyakinan dogmatis dalam makna yang tak terbatas dalam
dirinya sendiri, sebagaimana filsafat kritis telah melihat dogmatisme
pengalaman. Dengan demikian, interpretasi teks bukanlah keterbukaan pasif tetapi
merupakan interaksi dialektis dengan teks, ia bukanlah perolehan yang hampa
tetapi merupakan suatu kreasi baru, sebuah peristiwa baru dalam pemahaman
(Palmer, 1969: 251-252).
Bahasa
harus mengarahkan seseorang dalam memahami teks, tugas hemeneutika dengan
demikian adalah secara serius berpijak pada linguistikalitas bahasa dan
pengalaman dan mengembangkan hermeneutika yang benar-benar historis (Palmer,
1969: 254). Menurut individualisme metodologis, suatu keterangan historis baru
dapat diterima, bila keterangan itu dapat dirumuskan dengan istilah-istilah
yang berkaitan dengan pikiran dan perbuatan orang perorangan. Kritik terhadap
hermeneutika dapat dirumuskan kembali dalam pernyataan bahwa hermeneutika
tergelincir dalam individualisme metodologis (Ankersmit, 1984: 185).
Sehingga,
hermeneutika menuntut individu dalam memahami sebuah peristiwa sejarah. Sedangkan
apabila individu-individu memiliki tingkat pemahaman yang berbeda, maka hasil
penafsiran setiap individu juga akan berbeda. Sehingga kebenaran suatu
penafsiran sejarah tidak dapat dikatakan tunggal namun akan muncul berbagai
versi. Selain itu, pengalaman sejarawan menjadi tolok ukur dalam memahami
peristiwa sejarah.
Penutup
Hermeneutika
merupakan bagian dari eksplanasi sejarah yang digunakan sebagai alat untuk
memahami suatu peristiwa masa lampau dari sumber yang ada berupa teks tertulis
maupun bahasa yang dapat digunakan untuk menjelaskan suatu peristiwa masa
lampau secara mendalam. Dalam menggunakan hermeneutika, perlu adanya
pemahaman-pemahaman yang lain yang mendukung dalam menafsirkan sebuah peristiwa
sejarah. Dengan kata lain, sejarawan harus banyak-banyak menguasai
sumber-sumber lain yang saling mendukung.
Semakin
mendalam kajian sejarawan dalam memahami suatu peristiwa sejarah, akan semakin
mendalam pula penafsiran sejarah yang mampu dijelaskan oleh sejarawan.
Sehingga, peristiwa sejarah akan semakin memiliki makna yang mendalam dengan
penjelasan yang mendalam pula. Suatu teks dapat memiliki makna yang mendalam
ketika teks tersebut dimaknai oleh sejarawan yang memiliki pemahaman yang
mendalam pula. Dan akan sebaliknya, suatu teks akan kurang mendalam apabila
penafsir juga kurang mendalam dalam memaknainya.
Hermeneutika
sangat membantu dalam memahami sejarah secara mendalam. Namun, sejarawan harus
menguasai ilmu tafsir dalam membantu memahami peristiwa sejarah. Apabila masih
lemah, maka penafsirannya pun akan diragukan. Sedangkan penafsiran setiap orang
akan berbeda satu sama lain. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya penafsiran
dalam suatu peristiwa sejarah yang sama.
Daftar Rujukan
Ankersmit, F.R. 1984. Refleksi tentang
Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Terjemahan oleh
Dick Hartoko. 1987. Jakarta: Gramedia.
Attamimi, Faisal. 2012. Hermeneutika Gadamer
dalam Studi Teologi Politik. Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol. 9, No. 2:
275-297.
Barthes, Roland. 1968. Elemen-elemen
Semiologi. Terjemahan oleh M. Ardiansyah. 2012. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ibrahim, Sulaiman. 2014. Hermeneutika Teks: Sebuah
Wacana dalam Metode Tafsir Al Quran?. Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol. 11,
No.1: 23-41.
Kau, Sofyan A.P.
2014. Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsir. Jurnal Farabi, Vol 11. No 1: 1-18.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical
Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lohanda, Mona. 2011. Membaca Sumber Menulis
Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudi. 2014. Ilmu
Sejarah: Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media Group.
Mahfudz, Muhsin. 2013. Hermeneutika: Pendekatan
Alternatif dalam Pembacaan Teks. Jurnal Al-Fikr. Vol. 17, No. 2: 1-9.
Palmer, Richard E. 1969. Hermeunitika: Teori
Baru Mengenal Interpretasi. Terjemahan oleh Musnur Hery dan Damanhuri
Muhammed. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Said, Edward. 1983. The World, the Text, and
the Critic. Terjemahan oleh Sunaryono Basuki Ks. 2012. Denpasar: CV. Bali
Media Adhikarsa.
Ulumuddin. 2006. Jurgen Habermas dan
Hermeneutika Kritis (Sebuah Gerakan Evolusi Sosial). Jurnal Hunafa Vol. 3 No. 1:73-90.
Umiarso, Hasan Hanafi. 2011. Pendekatan
Hermeneutik dalam Menghidupkan Tuhan: Sebuah Bunga Rampai.
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
ijin copy ya...
BalasHapus