PENGARUH PERKEMBANGAN METODOLOGI SEJARAH TERHADAP
HISTORIOGRAFI INDONESIA[1]
Rendy Wahyu Satriyo Putro[2]
Pendahuluan
Sejarah merupakan ilmu karena dapat disusun secara
sistematis dengan metodologi yang ilmiah untuk mendapatkan kebenaran mengenai
peristiwa masa lampau. Sehingga, mempelajari metodologi sejarah sangatlah
penting dalam mempelajari sejarah. Namun juga, pemahaman sejarah merupakan
modal awal dalam penulisan sejarah. Sejarah memang tidak lepas dari masa lalu,
namun banyak cara pandang orang atau peneliti sejarah dalam memahami sejarah.
Dengan memahami sejarah, orang akan belajar memahami
hidupnya sehingga dapat menempatkan diri dengan baik dalam menjalani hidup yang
baik. Sejarah merupakan sebuah cermin kehidupan yang dengannya kita dapat
belajar dari masa lalu. Masa lalu bukan untuk dilupakan, namun masa lalu dapat
dijadikan sebuah pelajaran. Sebuah pelajaran yang diambil sisi positifnya dan sisi
negatifnya dijadikan sebuah pelajaran yang jangan pernah lagi diulangi pada
masa yang akan datang.
Dalam memahami sejarah, banyak jalan dan banyak cara
pandang yang sangat mungkin berbeda antar orang. Sehingga, diperlukan pemahaman
yang luas dalam mempelajari sejarah. Tidak hanya satu pemahaman saja atau
percaya pada satu sumber saja namun juga dari banyak sumber dan tidak boleh menjustice
kebenaran. Kebenaran dalam sejarah memang sangat rumit dan relatif, ibarat
koran, halaman yang kita baca di depan berbeda jika dilihat orang dari arah
pandangannya (koran bagian belakang maupun dilihat dari samping hanya terlihat
sebuah tumpukan kertas). Bendanya satu, namun banyak yang memaknainya. Sama
halnya juga sejarah, peristiwanya satu namun banyak yang menafsirkannya
berbeda-beda.
Sejarah merupakan sebuah ilmu yang dapat diteliti dan
dapat dibuktikan secara empiris. Sehingga, seorang peneliti dalam menelusuri
sejarah pun juga menggunakan metodologi sejarah. Metodologi sejarah mengalami
banyak sekali perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Metodologi
merupakan sebuah cara yang digunakan peneliti untuk menemukan apa yang ia cari.
Dalam hal ini sejarah, dengan metodologi sejarah peneliti gunakan sebagai
metode untuk mencari kebenaran dalam sejarah. Memang kebenaran itu relatif,
namun hal itu merupakan usaha untuk mencari kebenaran dalam sejarah. Bukan
pembenaran sejarah, namun kebenaran sejarah. Oleh karena itu, dengan metode
yang sama pun namun fokus penelitiannya berbeda atau kajian sama namun yang
ditemukan berbeda juga akan memengaruhi hasil dari penelitian sejarah.
Kajian-kajian sejarah yang semakin banyak dan semakin
luas dengan metode sejarah yang sedemikian berkembang akan memengaruhi hasil
dari penelitian sejarah tersebut. Sehingga, penelitian sejarah sangatlah
bervariasi dalam hasil temuannya. Hasil temuan dari penelitian sejarah kemudian
ditulis dalam sebuah tulisan yang dinamakan historiografi. Namun, dalam
historiografi memiliki kekhasan masing-masing pada era masing-masing. Di
Indonesia dengan berkembangnya zaman maupun era, historiografi mengalami
berbagai perjalanan zaman dan mendapatkan tempat yang berbeda-beda. Setelah
Orde Baru runtuh, banyak ahli-ahli sejarah yang mempertanyakan historiografi Indonesia.
Sehingga dalam artikel ini akan membahas pemahaman sejarah, perkembangan
metodologi sejarah, dan perkembangan historiografi Indonesia.
Pemahaman
Sejarah
Sejarah adalah ilmu yang mandiri. Mandiri, artinya
mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri
(Kuntowijoyo, 2008: 2). Dari kekhasan ilmu sejarah harus ada pendekatan khusus
untuk menerangkan gejala sejarah (peristiwa, tokoh, perbuatan, pikiran, dan
perkataan) (Kutowijoyo, 2008: 4). Menurut Kuntowijoyo (2008: 10), penjelasan
sejarah adalah hermeneutics dan verstehen, menafsirkan dan mengerti, penjelasan
tentang waktu yang memanjang dan penjelasan tentang peristiwa tunggal. Sejarah
berhubungan dengan gejala yang unik, sekali terjadi, dan terkait dengan konteks
waktu dan tempat (ideographic) (Kuntowijoyo, 2008: 117).
Menurut Prof. J.M. Romein (1893-1962) dalam Ankersmit
(1984: 1), ia membedakan sejarah teoritis atau teori sejarah dari filsafat
sejarah, dengan memberi tempat pada teori sejarah antara filsafat sejarah dalam
arti yang asli dan pengkajian sejarah sendiri. Teori sejarah diberi tugas untuk
menyajikan teori-teori dan konsep-konsep yang memungkinkan seorang ahli sejarah
mengadakan integrasi terhadap semua pandangan fragmentaris mengenai masa silam
seperti dikembangkan oleh macam-macam spesialisasi di dalam ilmu sejarah.
Adapun tugas teori sejarah ialah menyusun kembali kepingan-kepingan mengenai
masa silam sehingga kita dapat mengenal kembali wajahnya. Sejarah reflektif
adalah sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang dengannya
ia berhubungan, melainkan yang ruhnya melampaui masa kini (Hegel, 1956: 5).
Bila seorang ahli sejarah menerangkan dan melukiskan
masa silam, ia melakukan itu dengan menerima masa silam seperti adanya. Tetapi,
seorang filsuf sejarah spekulatif tidak merasa puas dengan sikap seperti itu,
ia mencari suatu struktur dalam yang tersembunyi di dalam proses historis yang
menerangkan mengapa sejarah berlangsung demikian dan hanya dapat berlangsung
demikian (Ankersmit, 1984: 3-4).
Dengan dilatarbelakangi filsafat sejarah, seorang
peneliti sejarah lebih mampu mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai
keadaan pengkajian sejarah pada suatu saat tertentu (Ankersmit, 1984: 10).
Filsafat sejarah tidak mengajarkan bagaimana pengkajian sejarah harus
dilakukan. Akan tetapi, filsafat sejarah dapat menawarkan pengertian mengenai
untung ruginya berbagai pendekatan terhadap masa silam dan menjadikan kita
waspada terhadap pendapat-pendapat keliru mengenai tugas dan tujuan pengkajian
sejarah (Ankersmit, 1984: 11-12).
Menurut Leopoldvon Ranke (1795-1886) dalam Ankersmit
(1984: 211) bahwa tugas dari seorang peneliti sejarah bukannya menghakimi masa
silam, bukannya memberi ajaran yang berguna kepada masyarakat mengenai masa
datang, melainkan hanya menunjukkan bagaimana sebetulnya keadaan pada masa
silam. Seorang sejarawan harus menghayati atau masuk ke dalam kulit seorang
pelaku sejarah, masa silam harus dipahami dari dalam dari masa silam sendiri.
Selanjutnya istilah historisme sering dipergunakan untuk menunjukkan
sistem-sistem spekulatif tentang sejarah. Pendekatan historis terhadap
kenyataan (sosio-historis), membuka kemungkinan untuk melacak hakikat
obyek-obyek di dalam kenyataan (sosio-historis) itu, atau dengan kata lain,
esensi atau hakikat obyek-obyek itu terletak di dalam sejarah (Ankersmit, 1984:
211-212).
Ankersmit (1984: 233) menjelaskan bahwa, interpretasi
historis yang paling baik ialah penafsiran yang paling berhasil memperlihatkan
keberkaitan antara sebanyak mungkin gejala historis. Namun, penafsiran sejarah
yang paling berhasil pun, dan yang paling berhasil menunjukkan keberkaitan
antara gejala-gejala yang diteliti, tidak merekam keberkaitan di dalam masa
silam sendiri. Rupanya, masa silam sendiri merupakan wasit antara berbagai
penafsiran historis dan memberi kesan bahwa penafsiran-penafsiran historis
memang menunjukkan struktur-struktur tertentu yang secara objektif dapat kita
tampilkan.
Sebuah sejarah yang beraspirasi pada lintas periode
waktu yang panjang, atau yang bersifat universal, sebenarnya lebih dahulu harus
berusaha memberikan gambaran individual tentang masa lampau sebagaimana itu
sungguh-sungguh terjadi. Ia harus memaparkan gambarannya melalui abstraksi, dan
ini meliputi bukan saja penghilangan atas peristiwa dan perbuatan, melainkan
apa saja yang terlibat di dalam fakta bahwa pikiran, bagaimanapun juga
merupakan pemberi contoh yang paling jelas (Hegel, 1956: 7).
Menurut Ankersmit (1984: 369-370) makna sejarah
memiliki empat tafsiran. Pertama, kita dapat menafsirkan pertanyaan mengenai
makna sejarah, sebagai sebuah pertanyaan mengenai tujuan terakhir yang
dilaksanakan dalam perjalanan proses sejarah. Kedua, sebagai pertanyaan
mengenai arti proses sejarah. Ketiga, sebagai pertanyaan mengenai tujuan dan
gunanya pengkajian sejarah. Empat, sebagai pertanyaan mengenai arti pengkajian
sejarah.
Secara universal, peristiwa sejarah selalu
menggambarkan pertemuan antara satu nilai, keyakinan, pandangan, atau pun sikap
hidup dengan nilai, keyakinan, pandangan, atau sikap hidup lainnya. Pertemuan
itu dapat menyebabkan konflik, sehingga terjadi pertentangan antara satu
kelompok masyarakat, etnis, suku bangsa, bangsa dan yang lainnnya. Peristiwa
sejarah yang digunakan sebagai media dapat mengembangkan konflik tersebut dalam
bentuk yang positif, tetapi juga negatif terhadap upaya membangun memori
kolektif (Hasan, tanpa tahun terbit: 26)
Sejarah di masa lampau harus merupakan suatu sumber penting
bagi kesadaran nasional (Abdulgani, tanpa tahun terbit: 19). Sehingga,
pentingnya sejarah merupakan salah satu aspek penguatan kesadaran nasional dan
penanaman rasa kebangsaan. Penanaman nilai-nilai yang baik dalam sejarah dapat
dijadikan sebagai acuan dalam menjalani hidup masa kini dan merencanakan masa
depan. Dengan memahami sejarah, kita diharapkan akan dapat lebih arif bijaksana
dalam menjalani hidup.
Perkembangan
Metodologi Sejarah
Metodologi sejarah ialah petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah
(Kuntowijoyo, 2008: xix). Pengembangan metodologi sejarah berkenaan dengan
perubahan-perubahan sesuatu peristiwa, sedikitnya didasarkan pada dua arah yang
berlawanan. Pertama, melakukan deduksi dari yang umum ke yang khusus, dengan
memperbandingkan model-model umum perubahan sejarah untuk melihat apa
model-model peristiwa yang ditemukan dan dapat dimodifikasi. Kedua, melakukan
induksi dari yang khusus ke yang umum dalam upaya menggambarkan proses
perubahan pada masyarakat tertentu, dan untuk mencari keseimbangan beberapa
refleksi tentang hubungan problematis antara peristiwa dan struktur
(Abdurahman, 2007: 38).
Menurut Louis Gottschalk (1983: 32) dalam Abdurahman
(2007: 53-54) menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan
menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang autentik dan dapat
dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah
yang dapat dipercaya.
Secara sederhana, penelitian sejarah dapat dijelaskan
dalam beberapa langkah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi (Hariyono, 1995: 109). Sebelum keempat langkah ini, sebetulnya
ada satu kegiatan penting yang oleh Kuntowijoyo (1995: 98) dalam Abdurahman
(2007: 54) ditambahkannya menjadi lima tahap penelitian sejarah, yaitu
pemilihan topik dan rencana penelitian.
Kenyataan di lapangan, mereka yang tertarik dengan
ilmu sejarah cenderung enggan belajar matematika yang sangat membantu dalam
belajar statistika (Hariyono, 1995: 109). Sehingga, tidak sedikit para
sejarawan yang enggan dalam penelitiannya menggunakan kajian matematis. Metode
penelitian kuantitatif kurang banyak digunakan dalam penelitian sejarah.
Sedangkan metode penelitian kualitatif banyak sekali dipergunakan oleh para sejarawan.
Hal tersebut sangat mungkin terjadi dan memang banyak terjadi karena kebanyakan
sejarawan dalam pencariannya adalah mencari makna dari peristiwa yang terjadi,
tidak mencari perbandingan. Karena memang sejarah tidak akan pernah terulang
dan sejarah hanya satu kali peristiwa, walaupun dalam suatu waktu sejarah
hampir mirip pola peristiwanya. Menurut Katznelson (1977: 11) dalam Nordholt,
Purwanto, Saptari (2013: 21), periodeisasi merupakan sendi analisis sejarah dan
ini menyangkut simplifikasi dalam derajat tertentu dalam artian bahwa
kejadian-kejadian tertentu dan bukan kejadian lain yang dipandang sebagai ciri
utama periode tertentu.
Penulisan-penulisan sejarah pada saat ini tidak hanya
pada politik lingkungan kenegaraan atau membicarakan orang-orang besar saja,
namun lebih banyak lagi dengan metode-metode sejarah yang sesuai dengan
perkembangan zaman. Penulisan-penulisan sejarah tersebut meliputi sejarah
lisan, sejarah sosial, sejarah kota, sejarah pedesaan, sejarah ekonomi
pedesaan, sejarah wanita, sejarah kebudayaan, sejarah lokal, sejarah agama,
sejarah politik, sejarah pemikiran, biografi, sejarah kuantitatif, dan sejarah
mentalitas.
Dimulai dari sejarah lisan, sejarah lisan dapat
dipastikan akan mendapat pasaran yang lebih luas. Wawancara sebagai sebuah
kecakapan tampaknya tidak banyak memerlukan kenjlimetan berpikir. Teknik ini
dipakai hampir-hampir oleh semua cabang ilmu sosial, termasuk jurnalistik.
Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula
sebagai bahan dokumenter (Kuntowijoyo, 2003: 25-26). Dengan sifatnya yang
kontemporer, sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak
terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya yang tidak disebutkan
dalam dokumen yang memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah
tidak dibatasi kepada adanya dokumen tertulis (Kuntowijoyo, 2003: 29-30).
Sejarah sosial merupakan gejala baru dalam penulisan
sejarah sejak sebelum Perang Dunia II, tetapi baru mendapat tempat sekitar
tahun 1950-an. Sejarah sosial mempunyai bahan garapan yang sangat luas dan
beraneka-ragam. Kebanyakan juga mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah
ekonomi, sehingga menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi (Kuntowijoyo, 2003:
39). Sejarah sosial dapat mengambil fakta sosial sebagai bahan kajian dalam
penulisan sejarah sosial.
Dalam sejarah kota, permasalahan yang menjadi bidang
kajian sejarah kota sesungguhnya sangat luas sekali, seluas sejarah sosial
sendiri, sehingga kadang orang menjadi heran apa saja yang tidak termasuk
sejarah kota. Dari satu segi, sejarah kota dapat dimasukkan ke dalam sejarah
lokal, dan dari segi lain dapat dimasukkan ke dalam sejarah lainnya, seperti
sejarah ekonomi, politik, demografi, dan sebagainya (Kuntowijoyo, 2003: 63-64).
Sehingga, sejarah kota juga masih sangat berkaitan dengan kajian-kajian sejarah
lainnya. Sedangkan sejarah pedesaan ialah sejarah yang secara khusus meneliti
tentang desa atau pedesaan, masyarakat petani, dan ekonomi pertanian
(Kuntowijoyo, 2003: 74). Sedangkan sejarah ekonomi bukanlah interpretasi
ekonomis terhadap sejarah, yang termasuk dalam sejarah pada umumnya. Namun
lebih spesifik yang kongkret dan khusus (Kuntowijoyo, 2003: 94).
Kebanyakan dalam penulisan sejarah, tokoh yang
diceritakan adalah kaum laki-laki, namun pada perkembangannya, peran wanita
juga diperhitungkan dan juga menjadi bagian dari sejarah. Banyak tema mengenai
sejarah wanita, yaitu peranan wanita dalam sektor sosial-ekonomi, biografi
wanita, gerakan wanita, gambaran wanita, sejarah keluarga, budaya wanita, hubungan
laki-laki dan wanita, kelompok-kelompok wanita, etnisitas, ekonomi, penerbitan
sumber (Kuntowijoyo, 2003: 120-127). Belum banyak sejarawan yang mengkaji
tentang peranan dari wanita yang dijadikan sebuah sejarah.
Dalam historiografi Indonesia, masih sangat jarang
sejarawan yang tertarik untuk menulis sejarah kebudayaan, dimensi budaya
dilupakan karena tekanan yang besar dalam penulisan sejarah politik dan sejarah
sosial-ekonomi. Sejarah kebudayaan mempunyai peranan yang penting, karena hanya
dengan melihat ke masa lalu kita akan dapat membangun masa depan dengan lebih
baik (Kuntowijoyo, 2003: 133).
Pada 17-20 September 1984 di Medan, penulisan sejarah
Indonesia telah diperkaya dengan adanya Seminar Sejarah Lokal. Dalam seminar
itu telah dikemukakan lima tema pokok, yaitu dinamika masyarakat pedesaan,
pendidikan sebagai faktor dinamisasi dan integrasi sosial, interaksi antar suku
bangsa dalam masyarakat majemuk, revolusi nasional di tingkat lokal, dan
biografi tokoh lokal (Kuntowijoyo, 2003: 145). Pentingnya penulisan sejarah
lokal adalah untuk melegkapi sejarah nasional, sehingga sejarah lokal merupakan
bagian dari sejarah nasional.
Dalam penelitian tentang agama dari perspektif
ilmu-ilmu umum berbeda dengan penelitian agama dari sudut pandang ilmu-ilmu agama.
Bedanya ialah ilmu-ilmu umum melihat agama dari sudut empirismnya, sedangkan
ilmu-ilmu agama melihat dari segi normatifnya (Kuntowijoyo, 2003: 161).
Sehingga, pada metode penulisan sejarah agama memerlukan berbagai
pendekatan-pendekatan sejarah yang menyangkut tentang ilmu agama dari berbagai
aspek.
Perbedaan pokok ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial
(termasuk ilmu politik) ialah bahwa sejarah itu memanjang dalam waktu,
sedangkan ilmu-ilmu sosial meluas dalam ruang (Kuntowijoyo, 2003: 173). Kalau
semula sejarah politik ialah sejarah kegiatan yang berhubungan dengan masalah
pemerintahan dan kenegaraan, kemudian sejarah politik didefinisikan sebagai
sejarah kekuasaan. Sejarah politik bukan lagi semata-mata menulis mengenai
politik, tetapi tentang kekuasaan pada umumnya (Kuntowijoyo, 2003: 176).
Sejarah pemikiran adalah terjemahan dari sejarah
pemikiran, sejarah ide, atau sejarah intelektual. Sejarah pemikiran dapat
didefinisikan sebagai kajian jalan pikiran peristiwa dan proses sejarah. Untuk
menghadapi tugas-tugasnya, sejarah pemikiran mempunyai tiga macam pendekatan,
yaitu kajian teks, kajian konteks sejarah, dan kajian hubungan antara teks dan
masyarakatnya (Kuntowijoyo, 2003: 191). Sedangkan biografi atau catatan tentang
hidup seseorang, meskipun sangat mikro, menjadi bagian dalam mosaik sejarah
yang lebih besar. Ada yang berpendapat bahwa sejarah adalah penjumlahan dari
biografi (Kuntowijoyo, 2003: 203).
Sedangkan sejarah kuantitatif ialah penggunaan metode
kuantitatif dalam penulisan sejarah yang berbeda dengan sejarah kualitatif
dalam subject matter, prosedur, dan sumber. Sejarah kualitatif menggunakan
hermeunetika berupa interpretasi terhadap pikiran, perkataan, dan perbuatan,
sedangkan sejarah kuantitatif menggunakan teknik matematika. Dengan teknik matematikanya,
sejarah kuantitatif lebih objektif, lebih mendekati kebenaran, sebab tidak
tergantung interpretasi sejarawan yang bisa subjektif (Kutowijoyo, 2003:
219-220).
Sama dengan sejarah kuantitatif, sejarah mentalis
masih merupakan sebuah kemungkinan, tapi sebuah kemungkinan tidak jauh dari
jangkauan. Sejarah mentalis dekat dengan tingkat kesadaran masyarakat, sumber
sejarah mentalis tersedia mudah (koran, masyarakat, sejarah lisan), dan sejarah
mentalis tidak memerlukan sumber asing, karena topik-topik kontemporer banyak
sekali (Kuntowijoyo, 2003: 235).
Dari berbagai metode-metode sejarah di atas yang telah
banya mengalami perkembangan, sebenarnya beberapa kajian-kajian sejarah
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Sehingga, kajian-kajian sejarah
tersebut sangatlah kompleks untuk diteliti dengan berbagai fokus kajian
sejarah. Pemilihan kajian-kajian sejarah tersebut dapat memberikan warna baru
bagi penulisan sejarah Indonesia. Sehingga, sejarah tidak serta merta sesuatu
yang besar, atau tidak serta merta berkaitan dengan kekuasaan maupun politik
kenegaraan. Metode-metodenya pun sangat bervariasi sesuai dengan kajian yang
akan diteliti. Dengan demikian, sejarah sangatlah luas dengan kajian-kajian
yang dapat dikerucutkan dengan berbagai fokus penelitian dalam penulisan
sejarah atau historiografi.
Perkembangan
Historiografi di Indonesia
Masyarakat biasanya cenderung mengartikan sejarah
dengan seluruh laporan tertulis tentang masa lampau. Sebagai laporan tertulis,
kisah sejarah tentu disertai interpretasi sejarawan yang menulisnya (Hariyono,
1995: 132). Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan
hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Abdurahman, 2007: 76). Sedangkan
menurut Hariyono (1995: 102) historiografi merupakan suatu kisah masa lampau
yang direkonstruksi oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Dari sudut
pandang ilmu sejarah sendiri, historiografi itu cukup menarik. Bagaimana suatu
lingkungan kebudayaan melihat dan menggambarkan masa silamnya, membuka
pengertian penting mengenai sifat kebudayaan itu sendiri.
Bila kita ingin mengenal dan memahami suatu kurun
waktu tertentu, maka penelitian terhadap cara zaman itu menggambarkan masa
silamnya tidak merupakan pendekatan yang paling jelek (Ankersmit, 1984: 3). Historiografi
Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957 waktu diselenggarakannya
Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta, tahun itu dianggap
sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Agenda seminar itu meliputi filsafat
sejarah nasional, periodeisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Dari
sinilah mulai nasionalisasi atau menggunakan istilah saat ini pribumisasi
historiografi Indonesia (Kuntowijoyo, 2003: 1).
Dalam perkembangan historiografi di Indonesia,
beberapa corak historiografi cukup menonjol, yaitu historiografi tradisional,
historiografi kolonial dan historiografi nasional. Ketiga corak historiografi
tersebut cenderung untuk menunjukkan unsur kejayaan dan kebesaran dari struktur
kekuasaan yang dominan (Hariyono, 1995: 104). Sehingga, ada muatan-muatan
kepentingan dari ketiga corak historiografi tersebut dalam pengungkapan
sejarah.
Menulis sejarah, terutama sejarah nasional, bukan
sekedar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga kegiatan yang bermakna
politis. Berbagai klaim mengenai asal-usul, kedaulatan wilayah, legitimasi
pemegang kekuasaan, status pahlawan nasional, siapa musuh dan siapa korban,
peran atau nasib pengkhianat dan penjahat, siapa kaum elite dan kelompok
tersisih, sudah lama menjadi pokok perdebatan sejarah, baik bagi pelaku politik
maupun sejarawan (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 1). Sedangkan hisoriografi
yang reflektif tidak saja menguji secara kritis metodologi sejarah, tetapi juga
menguji dan merumuskan kembali berbagai klaim kebenaran dan menyelidiki
terbentuknya klam kebenaran secara historis (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013:
2).
Historiografi nasional dapat diartikan bermacam-macam.
Historiografi nasional dapat berarti penulisan sejarah yang merujuk pada
fenomena dan peristiwa yang relevan bagi pembangunan nasion atau sejarah lisan,
dan juga dapat berarti penulisan sejarah yang dapat diterapkan kepada
negara-negara tertentu (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 6). Pembangunan
nasion adalah salah satu tema tahun 1950-an dan penulisan sejarah nasional
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses ini. Para sejarawan baru
Indonesia membangun sejarah nasional mereka di atas basis kolonial (Nordholt,
Purwanto, Saptari, 2013: 6).
Historiografi Indonesia mulai mencoba membuat sejarah
nasional Indonesia berdasarkan pandangan Indonesia sendiri, bukan sejarah
Indonesia dari pandangan kolonial. Sehingga, sejarah ideologis bangsa yang
ditekankan untuk membentuk rasa kebangsaan. Misalnya berkaitan dengan masa
kebesaran Sriwijaya dan Majapahit, bahkan Mr. Muhammad Yamin menuliskan sejarah
6000 tahun Sang Merah Putih sebagai legitimasi ideologis bangsa Indonesia.
Menurut Yamin (1951: -) penyiaran pengetahuan tentang bendera Sang Merah Putih
dengan hal menerbitkan buku ini mengandung maksud bahwa penjelasan yang
bersandar kepada pengetahuan akan lebih merapatkan warga negara Republik
Indonesia dengan tujuan pemeliharaan kemerdekaan Indonesia dan kedaulatan
rakyat Indonesia. Cinta tanah air dan cinta kepada bangsa akan bertambah atas
persemaian buah pikiran yang berdasar ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
jelaslah bahwa historiografi Indonesia pada tahun 1950-an bertujuan untuk
memupuk rasa nasionalisme dan kebangsaan Indonesia.
Tahun 1950-an selalu menonjol sebagai periode yang
tidak dapat dimasukkan ke mana-mana dalam kisah jelas tentang apa yang terjadi
setelah itu. Kesulitan periode 1950-an ini sering dikatakan akibat dari visi
pemerintahan Soeharto mengenai sejarah yang menekankan stabilitas dan peran
utama yang dimainkan Angkatan Darat bagi negara, tetapi berakhirnya sejarah era
Soeharto baru-baru ini tidak diikuti oleh perubahan pemahaman kita mengenai
periode pascakemerdekaan (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 67).
Pada masa awal kemerdekaan, upaya untuk melihat
sejarah dari aspek nasional, memandang sejarah dari masyarakat Indonesia sangat
dominan. Sebagai konsekuensi dari pantulan kesadaran kultural, makan wajar bila
historiografi yang berkembang adalah sejarah ideologis. Suatu sejarah yang
berupaya untuk menanamkan suatu nilai-nilai, terutama semangat nasionalisme,
heroisme dan patriotisme. Historiografi sebelum tahun 1970-an masih didominasi
oleh pengetahuan sejarah. Bahkan tidak jarang sejarah menjadi bagian dari
proses perjuangan mengusir imperialisme. Sejarah sebagai suatu bidang studi yang
bersifat kritis, baru berkembang baik sejak tahun 1970-an (Hariyono, 1995:
104).
Setelah dilaksanakan Konferensi Sejarah Nasional pada
tahun 1970, buk sejarah nasional yang harus membawa amanat ini, akhirnya terbit
pada tahun 1975, hal pokok dalam sejarah ini ialah penetapan periode sejarah
Indonesia (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 11-12). Nugroho Notosusanto-lah
yang pada tahun 1970-an berhasil melakukan militerisasi historiografi
Indonesia, terutama menyoroti peranan militer dalam menjaga keselamatan negara
(Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 11). Sejarah nasional merupakan narasi
ketika negara menjadi sentral dan wakil-wakil negara merupakan aktor sejarah
satu-satunya yang memiliki legitimasi. Sampai batas tertentu, sejarah
pascakolonial Indonesia dapat dibaca sebagai serangkaian krisis yang mengancam
persatuan nasional tetapi pada waktu yang tepat dapat diatasi berkat intervensi
militer (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 13). Hal tersebut dibuktikan dengan
banyaknya monumen-monumen yang berkaitan dengan militer sebagai pejuang
pemersatu bangsa. Bahkan, adanya taman makam pahlawan (TMP) yang juga merupakan
makam dari para pejuang-pejuang yang dalam hal ini adalah militer.
Historiografi nasional juga menekankan arsip negara
(kolonial) sebagai fakta-fakta yang dapat dipercaya, berbeda dengan
historiografi lokal yang dimasukkan ke dalam kategori dongeng rakyat (Nordholt,
Purwanto, Saptari, 2013: 14). Ciri lain dari historiografi Indonesia dan juga
Belanda ialah hampir tidak ada analisis menyeluruh terhadap negara kolonial
sebagai seperangkat lembaga represif dan terhadap warisan pascakolonial
(Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 15).
Setelah Soeharto jatuh pada bulan Mei 1998, sejarah
nasional menurut versi Soeharto tidak lagi dipercaya, tetapi sejarah alternatif
belum muncul (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 17). Hal tersebut menyebabkan
penanaman sejarah Indonesia sedikit-sedikit masih lekat dengan kuatnya
penanaman sejarah pada era Orde Baru pada pembelajaran di sekolah-sekolah. Pada
tahun 2004, diluncurkan buku pelajaran baru yang menyediakan tempat lebih besar
bagi sejarah daerah.
Historiografi nasional selalu dilihat oleh pemerintah
sebagai sebuah kunci yang penting untuk membangun kesadaran sejarah. Namun,
tetap ada persoalan, yakni sampai sejauh mana kesadaran ini sepenuhnya terpatri
dalam dada dan pikiran masyarakat. Meskipun negara membangun pemandangan
sejarah yang lebih besar, tetapi tidak berarti pemandangan sejarah itu
membentuk ingatan secara seragam (Jordan (2005: 39) dalam Nordholt, Purwanto,
Saptari (2013: 24)).
Menurut Purwanto (2013: 275) baik sejarawan Indonesia
maupun penguasa formal yang tidak pernah mengakui keberadaan orang kebanyakan
dan kehidupan sehari-hari mereka secara historis. Berkaitan dengan hal itu,
upaya untuk mengembangkan sejarah masyarakat, sejarah orang kebanyakan, dan
sejarah kehidupan sehari-hari dalam kerangka sejarah sosial oleh sejarawan
Indonesia sangat relevan bagi perkembangan historiografi Indonesia di masa
depan. Usaha itu tidak hanya akan menghadirkan lebih banyak kenyataan dari masa
lalu yang selama ini dilupakan dan diabaikan, melainkan juga akan menawarkan
epistemologi dan metodologi tambahan bagi historiografi Indonesia, setelah
sekian lama hanya tergantung pada tradisi sejarah positivistik dalam kerangka sejarah
struktural dan sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang kadang-kadang
sering diartikan secara salah.
Historiografi di Indonesia banyak mengalami
perkembangan dalam penulisannya yang disertai dengan metodologi-metodologi yang
baru. Setelah runtuhnya Orde Baru, historiografi Indonesia mulai banyak berani
berkembang, walaupun pada masa Orde Baru juga mengalami perkembangan, namun
masih dalam kekangan pemerintah. Sehingga, sejarah militer sangat dominan dalam
historiografi Indonesia. Sedangkan kelokalan maupun penulisan sejarah sosial
sangat terbatas dan sulit berkembang. Setelah Orde Baru runtuh, banyak sekali
penulisan sejarah lokal maupun sosial yang berkembang. Tidak hanya saja menulis
tentang politik, namun juga berkaitan dengan budaya, kuliner, mode, dan lain
sebagainya.
Kesimpulan
Sejarah merupakan sebuah ilmu yang mandiri dengan
permasalahan dan penjelasannya sendiri. Ilmu membutuhkan sebuah metode dan
sejarah memiliki metode yang digunakan dalam penelitian sejarah. Suatu
peristiwa sejarah pun memiliki banyak penafsiran atau dapat dikatakan multi
tafsir. Oleh karena itu, penggunaan metodologi sejarah sangat membantu dalam
penelitian sejarah.
Kajian dalam penelitian sejarah pun berkembang tidak
hanya terpaku pada sejarah politik atau sejarah orang-orang besar, namun juga
merambah pada sejarah sosial, budaya, lokal, sejarah orang kebanyakan, dan lain
sebagainya. Penulisan-penulisan sejarah tersebut meliputi sejarah lisan,
sejarah sosial, sejarah kota, sejarah pedesaan, sejarah ekonomi pedesaan, sejarah
wanita, sejarah kebudayaan, sejarah lokal, sejarah agama, sejarah politik,
sejarah pemikiran, biografi, sejarah kuantitatif, dan sejarah mentalitas.
Sehingga, penelitian-penelitian sejarah menjadi sangat beragam dan luas yang
mencakup segala aspek kehidupan masa lampau.
Sehingga, historiografi pun juga mengikuti
perkembangan yang signifikan, terutama setelah runtuhnya Orde Baru. Namun, pada
masa Orde Baru, sejarah seperti terbungkam dalam kekuasaan pemerintah.
Historiografi Indonesia menjadi lemah dengan adanya kekuatan yang dikendalikan
Orde Baru yang dalam penjelasan sejarah-sejarah Indonesia pada waktu itu syarat
dengan muatan-muatan politik dan militer. Namun, dengan runtuhnya Orde Baru,
penulisan sejarah menjadi beragam dan banyak juga yang mempertanyakan keaslian
sejarah buatan Orde Baru.
Daftar Rujukan
Abdulgani,
Roeslan. Tanpa tahun terbit. Di hadapan Tunas Bangsa. Jakarta: B.P.
Prapantja.
Abdurahman,
Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Ankersmit,
F.R. 1984. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah. Terjemahan oleh Dick Hartoko. 1987. Jakarta: Gramedia.
Hariyono.
1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hasan,
S. Hamid. Tanpa tahun. Problematika Pendidikan Sejarah. Naskah dalam
Handbook Pendidikan Sejarah, dterbitkan oleh Jurusan Pendidikan Sejarah,
FPIPS-UPI.
Hegel,
Georg Wilhelm Friedrich. 1956. Filsafat Sejarah. Terjemahan oleh Cuk
Ananta Wijaya. 2012. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo.
2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo.
2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Henk
Scuhulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari. 2013. Perspektif
Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Yamin,
Muhammad. 1951. 6000 Tahun Sang Merah Putih. Jakarta: Siguntang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar