Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia:
Pemaknaan
Kedaulatan dan Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia[1]
Rendy
Wahyu Satriyo Putro[2]
Abstrak : Proklamasi
Kemerdekaan RI merupakan awal dari lahirnya Negara Indonesia dan awal dimulai
kehidupan kenegaraan Indonesia. Diawali dengan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga pengakuan kedaulatan oleh
Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Keinginan penyatuan Nusantara telah
digagas oleh para pemimpin Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu
Buddha, mulai dari konsep Cakrawala Mandala Dwipantara dari Kertanegara hingga
Hamukti Palapa Mahapatih Gadjah Mada, penyatuan Indonesia dimulai hingga
sekarang menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 17 Agustus 1945 merupakan
momen penyatuan Nusantara di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kata Kunci : Proklamasi, Kedaulatan, Lahirnya Indonesia
Pendahuluan
Negara adalah
salah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh
sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada
peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolitis
terhadap kekuasaan yang sah (Budiardjo, 2008: 49). Sebuah negara dikatakan
merdeka dan berdaulat apabila memiliki 4 syarat mutlak, yaitu memiliki wilayah,
memiliki warga negara/rakyat (semua rakyat mendukung), memiliki lembaga-lembaga
negara atau pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lain sebagainya),
serta mendapatkan pengakuan kedaulayan dari negara lain baik secara de facto
(sesuai dengan kenyataan) maupun de jure (resmi secara hukum). Keempat
syarat tersebut mutlak ada pada negara yang berdaulat[3], apabila
ada satu syarat tidak terpenuhi, maka negara tidak dapat dikatakan berdaulat.
Sehingga, ketika sebuah bangsa atau pun suatu rakyat menginginkan kemerdekaan
maka harus memiliki wilayah atau daerah yang memiliki batas-batas secara
administrasi, kemerdekaan yang didukung oleh seluruh rakyat yang tinggal pada
wilayah tersebut, berdaulat dan memiliki lembaga-lembaga negara yang secara
resmi untuk mengatur dan mengelola negara tersebut, serta yang terakhir adalah
adanya pengakuan kemerdekaan dari negara lain dengan dibukanya kedutaan besar
negara lain di negara tersebut. Lantas, bagaimana dengan kemerdekaan Indonesia?
Kita ketahui
bahwa Indonesia sebelum merdeka merupakan koloni dari Negeri Belanda yang telah
lama menjajah Indonesia secara perlahan-lahan hingga menjadi wilayah seperti
sekarang ini. Dalam penentuan sampai mana batas-batas wilayah Indonesia,
terjadi banyak perdebatan di kalangan bapak pendiri bangsa. Hingga akhirnya
Soekarno mengatakan bahwa wilayah Republik Indonesia adalah bekas jajahan
Hindia Belanda. Sehingga, wilayah yang diklaim menjadi wilayah kedaulatan
Republik Indonesia adalah bekas jajahan Hindia Belanda yang terdiri dari
belasan ribu pula yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Minangas
sampai Pulau Rote. Sehingga, ada pandangan pula bahwa Indonesia berdiri karena
adanya Belanda karena wilayah Indonesia adalah wilayah dari jajahan Belanda di
Hindia Belanda. Atau dengan kata lain Belanda adalah salah satu atau ikut
mengambil bagian dalam penyatuan Nusantara menjadi Indonesia. Terlepas dari hal
tersebut, memang tidak mudah menyatukan Indonesia seperti sekarang. Mulai dari
konsep Cakrawala Mandala Dwipantara dari Kertanegara hingga Hamukti Palapa
Mahapatih Gadjah Mada, penyatuan Indonesia dimulai hingga sekarang menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak serta
merta Indonesia berdiri menjadi sebuah negara, dan tidak serta merta Republik
Indonesia memiliki empat syarat sebuah negara merdeka. Banyak
peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Indonesia menjadi sebuah Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Bahkan, bagaimana sebuah negara Indonesia
yang telah menyatakan kemerdekaannya dapat mampu bertahan menjadi sebuah negara
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur yang sesuai dengan pembukaan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Bahkan menjadi sebuah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang dalam usia-usia mudanya mampu membuat dunia gempar.
Selanjutnya, apakah perjuangan sampai pada proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia saja? Bagaimana memaknai peristiwa kemerdekaan Republik Indonesia
dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia?
Kita ketahui
sendiri bahwa contohnya negara-negara Arab yang memiliki satu bahasa yaitu
bahasa Arab sehingga disebut sebagai negara-negara Arab yang merupakan satu
bangsa, yaitu bangsa Arab saja satu bangsa dapat terpecah-pecah menjadi beberapa
negara, Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain.
Korea yang merupakan satu bangsa dapat dipecah dalam perang dunia menjadi Korea
Utara dan Korea Selatan yang dibedakan berdasarkan ideologi. Uni Soviet yang
merupakan sebuah negara adi kuasa pada masa kejayaannya juga terpecah-pecah
menjadi beberapa negara yang merdeka. Sedangkan apabila kita mengaca di
Indonesia, Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa (menurut BPS) yang memiliki
bahasa yang beragam, budaya yang beragam, serta adat istiadat yang beragam pula.
Namun, disatukan dengan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, Pancasila sebagai dasar
negara dengan semboyannya “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda
tetap satu jua.
Namun, tidak
mudah menyatukan Indonesia dalam bingkai NKRI. NKRI tak lantas terbebas dari
isu-isu kebangsaan, konflik-konflik baik vertikal maupun horisontal, sentimen
etnis, bahkan dengan jumlah pulau yang banyak yang disatukan laut dan jumlah
penduduk yang banyak pula, serta sumber daya alam yang melimpah, tidak menutup
kemungkinan adanya isu disintegrasi. Lantas, bagaimana semangat Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia dapat menyebar di seluruh wilayah Indonesia?
Dengan keberagaman suku bangsa Indonesia yang memiliki beragam adat istiadat,
budaya, dan lain sebagainya, bagaimana simbol kesatuan dan persatuan Indonesia
dapat terwujud menjadi ciri Indonesia?
Perjuangan Persatuan Bangsa
Indonesia (Kondisional)
Indonesia
merdeka tidak serta merta berdiri menjadi sebuah negara yang diakui oleh dunia
internasional sebagai negara yang berdaulat. Banyak peristiwa yang
melatarbelakangi sampai Indonesia merdeka menjadi negara berdaulat seperti
sekarang ini. Sebelum Indonesia merdeka, telah berdiri mendahuluinya berbagai kerajaan
di bumi Nusantara. Masa kejayaan Nusantara ditunjukkan dengan berjayanya
Sriwijaya[4] dan
Majapahit yang menjadi dua kerajaan dengan kekuatan yang diperhitungkan dunia.
Diawali keinginan Kertanegara untuk menyatukan Nusantara dengan Cakrawala
Mandala Dwipantara hingga Hamukti Palapa oleh Mahapatih Gadjah Mada, Nusantara
bersatu dalam bingkai kerajaan-kerajan besar tersebut pada masa kejayaannya.
Terjadinya perang saudara dan perebutan kekuasaanlah yang memecahbelah
Nusantara dan belum terwujudnya cita-cita tersebut hingga masa
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara belum berhasil mempersatukan Nusantara.
Ditambah dengan
kedatangan bangsa barat ke Nusantara yang berusaha menguasai Nusantara karena
pada masa itu. Nusantara merupakan pusat penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah
menjadi komoditi yang utama dalam perdagangan dunia dan diperebutkan oleh
bangsa barat, bahkan hingga terjadinya perang salib. Perdagangan di laut tengah
yang tidak aman karena perang salib sehingga menyebabkan adanya pelayaran
samudera mencari sumber penghasil rempah-rempah. Hingga mereka sampai di
Nusantara, akhirnya menjadi perebutan bangsa-bangsa barat untuk berusaha
menguasai perdagangan rempah-rempah. Kepulauan Nusantara dapat dianggap sebagai
tempat pertemuan antara alam perdagangan Eropa Barat dan alam kebudayaan Islam
yang berkembang di Hindia dan Asia Tenggara (Anshoriy dan Dri, 2008: 97).
Dalam hal ini,
Belanda yang tampil dengan awalnya diwakili oleh kongsi dagangnya yaitu VOC.
VOC dengan misi dagangnya berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah dan
menjadi pusat perdagangan yang berkantor pusat di Batavia (Jakarta sekarang).
Sejak saat itulah, perdamaian dan persatuan di Nusantara mulai terkotak-kotak
dengan penerapan politik devide et empera yang dilakukan oleh VOC.
Dengan politik tersebut, banyak terjadi konflik antar penguasa di Nusantara
yang menyebabkan mau tidak mau Nusantara menjadi dikuasai bangsa barat. Hingga
bubarnya VOC sampai Nusantara dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda yang
menjadikan Nusantara menjadi daerah koloninya hingga dinamai Hindia Belanda
membuat penduduk pribumi menjadi lemah dan semakin melemah dengan legitimasi
kekuasaan Belanda di Nusantara di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda.
Belanda yang
mampu menguasai daerah-daerah Nusantara di bawah pemerintah kolonial Hindia
Belanda secara tidak langsung sebenarnya dapat dikatakan menyatukan wilayah
Nusantara namun di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sistem-sistem
pemerintahannya pun juga diatur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan
persetujuan pemerintah Belanda. Bahkan, pemerintahan daerah pun diatur dibawah
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Priyayi pribumi hanya diberi kekuasaan
tidak lebih dari Bupati, yang dalam hal ini pun juga masih ada pejabat
kontrolir di bawah Asisten Residen, Residen, hingga Gubernur Jenderal. Secara
tidak langsung, pemerintahan pribumi berada di bawah pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
Kebijakan-kebijakan
pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat memengaruhi kehidupan di Hindia
Belanda. Dengan minimnya peran penduduk pribumi dan lemahnya legitimasi
kekuasaan penduduk pribumi, menyebabkan penduduk pribumi menjadi orang asing di
negeri sendiri atau dengan kata lain tidak berkuasa di rumahnya sendiri.
Walaupun terjadi perlawanan dari berbagai daerah untuk memperjuangkan
hak-haknya, namun perjuangan tersebut masih bersifat kedaerahan yang mampu
diseleseikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Belum adanya kekuatan
perjuangan persatuan secara nasional inilah yang menyebabkan Hindia Belanda sulit
mencapai kemerdekaan.
Adanya kebijakan
dari pemerintah Belanda berupa politik Etis mulai yaitu politik balas budi
memulai perubahan pandangan penduduk pribumi, apalagi dengan adanya kebijakan
pendidikan walaupun sebatas kaum priyayi. Dengan pendidikan, penduduk pribumi
menjadi sadar pendidikan, dan kesadaran kebangsaan pun mulai muncul dari
kaum-kaum terdidik. Diawali dengan berdirinya Boedi Oetomo, maka dibentuk dan
berkembanglah sejumlah organisasi politik dan massa yang dijadikan sebagai alat
perlawanan (Anhar Gonggong dalam Sularto dan Rini, 2010: xii).
Kebijakan Etis (Ethische
Politiek) setelah tahun 1900, kondisi bagi munculnya apa yang disebut oleh
Robert van Niel sebagai “Elite Indonesia Modern” terpenuhi (Legge, 1993: 30). Nama
yang dipakai untuk menyebut politik kolonial yang baru yaitu politik etis.
Salah seorang juru bicaranya yng terkemuka ialah van Deventer, penulis artikel
yang berjudul “Hutang Budi”. Ia menuntut restitusi berjuta-juta uang yang
diperoleh Negeri Belanda sejak berlakunya undang-undang Comptabiliteit pada
1867 (Kartodirdjo, 2014: 38). Menurut Anthony Reid dalam Wood (2005: 59),
Nasionalisme Indis dari E.F.E Douwes
Dekker yang melihat Indonesia sebagai bangsa tunggal dihasilkan oleh Belanda
dan siap untuk merdeka, dilihat sebagai sesuatu yang tidak meyakinkan.
Dinyatakan bahwa Indonesia adalah konstruksi artifisial yang dibawa ke sebuah
keberadaan oleh kekuatan luar daripada sesuatu dengan warisan sejati yang hanya
perlu dihidupkan kembali dan diperkuat.
Proses di dalam
periode Pergerakan Nasional 1908-1945 berlangsung terus dalam arti perjuangan
untuk menjadi bangsa dan menjadi merdeka. Di dalam periode tersebut, pendidikan
menjadi bagian yang sangat penting dalam berlangsungnya perjuangan tersebut.
Pendidikan memegang peranan penting dalam berlangsungnya Pergerakan Nasional
1908-1945, paling tidak mengawali langkah di dalam bentuk perlawanan baru,
strategi otak dengan orang-orang yang terdidik-tercerahkan (Anhar Gonggong
dalam Sularto dan Rini, 2010: xii-xiii). BPUPKI, PPKI, dan Proklamasi
Kemerdekaan adalah buah dari strategi otak itu (Anhar Gonggong dalam Sularto
dan Rini, 2010: xiv). Hingga ketika Jepang jatuh, Hatta dan Soekarno muncul
sebagai pemimpin bangsa Indonesia yang merdeka, 17 Agustus 1945 Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan (Wood, 2005: 143).
Latar Belakang Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia (Kausalitas)
Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Junbi
Cosukai didirikan oleh Jepang. Lembaga itu diumumkan berdiri tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara
Jepang, Kumaciki Harada. Kepada rakyat Indonesia, Pemerintah Jepang mengatakan
pembentukan lembaga ini merupakan realisasi janji Jepang memberikan kemerdekaan
kepada rakyat Indonesia (Sularto dan Rini, 2010: 9). Belanda yang telah lama
berkuasa di Indonesia saja masih tetap ingin melanggengkan kekuasaannya di
Indonesia. Sedangkan Jepang yang baru saja menduduki Indonesia memberikan janji
kemerdekaan kepada Indonesia di suatu saat nanti. Janji biasanya tinggallah
janji apabila hal tersebut dirasa sudah nyaman seperti tidak ada yang
dijanjikan. Namun kita ketahui bahwa posisi Jepang di Asia Pasifik raya sudah
mulai terdesak pada kancah perang dunia kedua. Hal tersebut terlihat sangat
jelas sekali apabila tujuan dari janji tersebut adalah untuk menarik simpati
rakyat Indonesia untuk mau membantu Jepang dalam perang Asia Pasifik raya
dengan janji kemerdekaan Indonesia.
Dari nama Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, terkesan bahwa Jepang mengawasi
kaum-kaum nasionalis Indonesia yang berusaha memerdekakan Indonesia. Jepang
perlu mengetahui usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia agar tetap
terkendali oleh Jepang. Sepertinya terlihat adanya sikap tidak tulus sepenuhnya
untuk kemerdekaan Indonesia. Namun, dengan posisi Jepang yang semakin terdesak
dan Jepang mulai melemah dalam kondisi perang Asia Pasifik raya memungkinkan
kekuatan pendudukan Jepang semakin melemah. Militer Jepang di Indonesia pun
semakin melemah, dan beberapa Jenderal Militer Jepang banyak yang bersimpati
dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Lima hari sidang
resmi pertama BPUPKI yang dipimpin Ketua BPUPKI, dr. KRT Radjiman
Wediodiningrat, tanggal 28 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945, menampilkan beberapa
pembicara. Mereka diminta menguraikan pandangan mereka tentang dasar-dasar
negara, falsafah dasar dan rancangan undang-undang dasar (UUD). Mereka adalah
Prof. Muhammad Yamin, S.H., Prof. Soepomo, S.H., dan Ir. Soekarno. Sidang resmi
kedua berlangsung tanggan 10-17 Juli 1945 dengan membahas bentuk negara,
wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan UUD, ekonomi dan keuangan, pembelaan
negara, pendidikan dan pengajaran (Sularto dan Rini, 2010: 14-15). Pertanyaan
pendek namun memerlukan jawaban panjang yang argumentatif adalah ketika dr.
Rajiman Wediodiningrat bertanya kepada anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada bulan Maret 1945: “Apakah dasar
bagi negara merdeka kelak?”. Ir Soekarno memberi jawaban atas pertanyaan itu
yang kemudian dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila” pada 1 Juni 1945 (Zuhdi,
2014: 497).
Pada bulan Juli
1945, semua unsur di kalangan Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan
kepada Indonesia dalam waktu beberapa bulan. Pada bulan Maret, Amerika telah
berhasil merebut Iwojima dan mulai menggunakannya sebagai pangkalan pesawat
pengebom untuk melancarkan serangan-serangan terhadap Jepang (Ricklefs, 2008:
442). Di tengah suasana kemunduran dan kemerosotan mental Jepang yang
disebabkan pasukan Jepang di berbagai daerah mulai dikalahkan pasukan Sekutu,
pada tanggal 7 Agustus 1945 Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) (Sularto dan Rini, 2010: 15). Hal ini sangat terlihat jelas
bahwa mental Jepang semakin menurun dan berusaha mengambil hati rakyat Indonesia
dengan semakin menyegerakan janji kemerdekaan Indonesia. Tugas dari PPKI adalah
bertindak sebagai badan yang mempersiapkan penyerahan kekuasaan pemerintahan
dari Jepang kepada badan tersebut dan menyeleseikan serta mengesahkan rancangan
UUD dan falsafah negara yang sudah disiapkan BPUPKI (Sularto dan Rini, 2010:
15-16). Dengan berdirinya PPKI, secara otomatis BPUPKI bubar.
Pengumuman nama-nama pengurus PPKI
pada tanggal 7 Agustus 1945 dianggap sebagai sidang pertama dan menurut
rencana, sidang kedua akan diselenggarakan pada tanggal 16 Agustus 1945. Semua
anggota panitia adalah orang Indonesia, sementara Soekarno dan Hatta diangkat
masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua. Pada hari berikutnya, 8 Agustus,
Soekarno bersama Hatta dan Dr. Rajiman berangkat ke Dalat di Indocina. Di sini
mereka bersepakat dengan panglima tertinggi Bala Tentara Jepang di Asia
Tenggara bahwa Indonesia akan mendapat kemerdekaan pada 24 Agustus 1945 (Caldwell
dan Ernst, 1979: 149).
Jepang menyerah
tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945, dengan demikian menghadapkan para
pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang berat. Karena pihak Sekutu tidak
mengakhlukkan kembali Indonesia, maka kini terjadi suatu kekosongan politik,
pihak Jepang masih tetap berkuasa namun telah menyerah, dan tidak tampak
kehadiran pasukan Sekutu yang akan menggantikan mereka. Rencana-rencana bagi
kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang secara teratur kini tampaknya
terhenti, dan pada hari berikutnya Gunseikan telah mendapat perintah-perintah
khusus supaya mempertahankan status quo sampai kedatangan pasukan Sekutu
(Ricklefs, 2008: 443-444).
Rencana sidang
kedua PPKI gagal, pada tanggal 16 Agustus 1945 dini hari Soekarno dan Hatta
diculik sejumlah pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Sejumlah
pemuda yang dipelopori oleh anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) dan
mahasiswa kelompok militan mengibarkan bendera Merah Putih di Rengasdengklok,
di sebuah asrama tentara Peta (Sularto dan Rini, 2010: 16-18). Penculikan ini
dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan Peta dan
Heiho. Ternyata tidak ada pemberontakan sama sekali, sehingga Soekarno dan
Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan usaha memaksa mereka supaya
menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang. Mereka menolak melakukan
hal itu. Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat,
maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak peduli bilamana kemerdekaan
dinyatakan (Ricklefs, 2008: 444).
Menurut Taufik
Abdullah dalam Sularto dan Rini (2010: 19), peristiwa Rengasdengklok sebagai
peristiwa penting karena berkaitan dengan tanggal Proklamasi. Kalau karena ini,
maka semua unsur dari penculikan itu tidak lebih dari sebuah gangguan, aberration
saja dari proses sejarah. Karena penculikan itu Proklamasi Kemerdekaan RI
mundur sehari. Sehingga Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.
Makna Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia (Kontekstual)
Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan tonggak penopang “ingatan kolektif” (collective
memory) yang berfungsi mengingat semangat persatuan bangsa dan menyatukan
seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas hingga Rote sebagai
wilayah RI. Perjalanan panjang bangsa di kepulauan untuk membebaskan diri dari
penjajahan telah berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya. Proklamasi 17
Agustus 1945 dianggap sebagai awal revolusi atau disebut juga perang
kemerdekaan (Zuhdi, 2014: 509).
Menurut Bagir
Manan dalam Hamidi (2006: 72), proklamasi itu merupakan bentuk pemberontakan
bangsa Indonesia kepada Pemerintah Hindia Belanda (menurut kacamata pemerintan
kolonial), tindakan tersebut bisa diterima karena dikehendaki dan diterima oleh
masyarakat Indonesia. Sedangkan menurut Yamin (1952: 19-23), Proklamasi
Kemerdekaan adalah suatu alat hukum internasional untuk menyatakan kepada
rakyat Indonesia mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam
seluruh hak kemerdekaan yang meliputi bangsa, tanah air, pemerintahan, dan
kebahagiaan masyarakat. Dengan proklamasi tersebut, terbentuklah sebuah negara
baru, yakni negara Indonesia yang merdeka, dan dengan itu tatanan hukum
kolonial Hindia Belanda terhapus dengan sendirinya, dan di atasnya terbentuk
tatanan hukum baru (Hamidi, 2006: 73).
Fenomena yang dapat
diinterpretasikan tentang Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah suatu sikap “low
profile”. Sikap itu dapat dilihat dari dua fakta: pertama mengenai
proklamasi kemerdekaan yang dilakukan di rumah Soekarno, di jalan Pegangsaan
Timur 56, dan tidak seperti direncanakan semula yakni di Lapangan Ikada,
Gambir. Kedua mengenai bunyi proklamasi kemerdekaan yang sangat singkat dan
kurang tegas (setidaknya dianggap oleh golongan pemuda yang revolusioner)
(Zuhdi, 2014: 35). Dari kedua interpretasi tersebut menunjukkan bahwa
Proklamasi dilaksanakan dengan sederhana dengan waktu yang
sesingkat-singkatnya, melihat bahwa situasi dunia yang masih berkecamuk perang
dunia. Sedangkan Jepang sendiri walau telah tidak memiliki kekuasaan di
Indonesia, namun diberi tugas menjaga status quo. Sehingga, agar tidak terjadi
kekacauan, dengan kearifan para pemimpin Indonesia, proklamasi dilaksanakan
dengan sederhana dan segera.
Rumusan
proklamasi mungkin akan lebih pendek lagi apabila Moh. Hatta tidak menambahkan
kalimat kedua, setelah Soekarno menuliskan, “Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Menurut Hatta, kalimat itu tidak cukup,
karena hanya merupakan suatu pernyataan abstrak tanpa isi. Selanjutnya menurut
Subarjo (1972: 109) dalam Zuhdi (2014: 36) dikatakan isi, “ Kita harus
mengantarkan kemerdekaan kita pada pelaksanaan yang nyatadan kita tidak mungkin
dapat berbuat demikian tanpa kekuasaan berada di tangan kita. Kita harus
menambahkan pikiran tentang penyerahan kekuasaan dari Jepang ke dalam tangan kita
sendiri. Setelah itu timbullah pemikiran mengenai rumusan proklamasi yang tepat
tentang ide penyerahan kekuasaan tersebut. Akhirnya Soekarno menuliskan
kalimat, “Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan
diselenggarakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya”. Ternyata istilah “penyerahan” pun tidak dipakai, tetapi
“pemindahan”. Sikap kehati-hatian dan perhitungan yang cermat telah dipilih
golongan tua untuk menyatakan proklamasi kemerdekaan dengan segala konsekuensinya
(Zuhdi, 2014: 36). Yang perlu dicermati lagi adalah apa yang dimaksud dengan
kalimat “dan lain-lain”. Dan lain-lain di sini adalah kelengkapan negara, baik
berupa dasar negara, undang-undang, pemerintahan, lembaga-lembaga negara,
wilayah, kedaulatan, lambang negara, bendera negara, lagu kebangsaan dan lain
sebagainya. Karena proklamsi yang bersifat mendesak, dan pernyataan pun tidak
mungkin ditulis selengkapnya, maka kalimat “dan lain-lain” pun dinyatakan dalam
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pemerintah pusat
Republik segera dibentuk di Jakarta pada akhir Agustus 1945. Pemerintah ini
menyetujui konstitusi yang telah dirancang oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia sebelum menyerahnya Jepang. Akan tetapi, pihak Angkatan Laut Jepang
meperingatkan bahwa orang-orang Indonesia yang beragama Kristen di wilayahnya
tidak akan menyetujui peranan istimewa Islam, sehingga Piagam Jakarta dan
syarat bahwa kepala negara haruslah seorang muslim tidak jadi dicantumkan
(Ricklefs, 2008: 228).
Republik Indonesia
telah lahir. Sementara itu Sekutu sebagai pihak yang menang yang hampir sama
sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi di Indonesia selama
berlangsungnya perang dengan tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka untuk
menerima penyerahan pihak Jepang dan memulihkan kembali rezim kolonial. Akan
tetapi, zaman Jepang telah menciptakan kondisi yang begitu kacau telah
mempolitisasi rakyat dan telah mendorong para pemimpin dari generasi tua maupun
muda untuk mengambil prakarsa sedemikian rupa sehingga pihak Sekutu menghadapi
suatu perang kemerdekaan revolusioner (Ricklefs, 2008: 445).
Adanya isu bahwa
Republik Indonesia buatan fasisme Jepang merupakan fenomena yang melemahkan
posisi Republik, di satu pihak, akan tetapo dapat pula merupakan suatu kekuatan
di pihak lain. Sebenarnya tidak tepat jika dikatakan bahwa Republik bikinan
Jepang. Proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi pada saat Jepang sudah kalah
perang, tetapi masih memegang kekuasaan (atas nama Sekutu) untuk menjaga status
quo. Artinya bala tentara Jepang harus menghalangi atau bahkan menindas
semua kegiatan yang mengakibatkan perubahan keadaan itu (Zuhdi, 2014: 35).
Bangsa Indonesia
hanyalah berjuang untuk mencapai kemerdekaan yang berdasarkan hak menentukan
nasib sendiri. Bahwa kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945 sesungguhnya berdasarkan demokrasi dan sosialisme. Meskipun
demikian, bekas pemerintah Belanda dulu dikepalai oleh van Mook dan van der
Plas telah melakukan tindakan untuk menegakkan kembali pemerintah kolonial
Belanda (Zuhdi, 2014: 41). Pernyataan van Mook pada 7 November 1945 tidak
sesuai dengan kehendak rakyat, penuh dengan janji-janji yang tak
terealisasikan, dan sebaliknya disertai tuntutan kembalinya susunan
pemerintahan yang lama meskipun disertai kesanggupan akan ditempatkannya
orang-orang Indonesia di jabatan-jabatan yang tinggi (Rutgers, 2012: 102).
Hal tersebut
menunjukkan bahwa Belanda masih mengingingkan melanggengkan kekuasaannya di
Indonesia dan tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17
Agustus 1945. Rakyat Indonesia sebaliknya menghendaki pengakuan atas Republik
Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat penuh, meskipun atas dasar itu
mereka menghendaki kerjasama yang seerat-eratnya dengan Negeri Belanda dalam
berbagai aspek (Rutgers, 2012: 103). Sehingga, pada dasarnya para pemimpin
Indonesia lebih menghendaki perjuangan yang bersifat diplomatis yang tidak
ingin ada korban jiwa walaupun ketika terjadi banyak serangan juga melakukan
perlawanan dengan bersenjata secara geriliya.
Penutup
Indonesia merdeka
tidak serta merta berdiri menjadi sebuah negara yang diakui oleh dunia
internasional sebagai negara yang berdaulat. Sejarah panjang yang mampu
menyatukan bangsa Indonesia hingga lahirnya Negara Kesatuan Indonesia. Masa
kejayaan Nusantara sebagai semangat juang untuk mempersatukan Nusantara.
Perpecahan dalam kerajaan maupun kedatangan bangsa barat telah menciptakan rasa
senasib sepenanggungan karena bercerai berai dirasakan sangat membuat segenap
bangsa Indonesia menderita. Rasa persatuan semakin kuat ketika banyak
perjuangan yang bersifat kedaerahan tidak mampu melawan penjajah dan tidak
mampu menyatukan Indonesia.
Perang Dunia II
memengaruhi kehidupan bernegara Hindia Belanda yang menyebabkan Belanda
menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang akhirnya Hindia Belanda diduduki oleh
Pemerintah Militer Jepang. Jepang seperti membawa angin segar bagi perjuangan
yang bersifat nasional kepada Indonesia. Janji Jepang memberi kemerdekaan
kepada Indonesia dibuktikan dengan pembentukan PPKI dan BPUPKI dalam merencanakan
kemerdekaan Indonesia. Namun, pada akhirnya kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan sendiri oleh bangsa Indonesia ketika terjadi kekosongan
kekuasaan, yaitu ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan Sekutu belum datang
ke Indonesia. Hal tersebutlah yang dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin nasional
Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan pemberian pesan ingatan kolektif
kepada generasi muda untuk mempertahankan kemerdekaan dan memajukan Republik
Indonesia.
Daftar Rujukan
Anshoriy, Nasruddin & Dri Arbaningsih. 2008. Negara Maritim
Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Caldwell, Malcolm dan Ernst Utrecht. 1979. Sejarah Alternatif
Indonesia. Terjemahan oleh Saut Pasaribu. 2011. Yogyakarta: Penerbit Djaman
Baroe.
Hamidi, Jazim. 2006. Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17
Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Risalah Hukum
Fakultas Hukum Unmul, Vol. 2 No. 2: 68-86.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Legge, J.D. 1993. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan
Kelompok Sjahrir. Terjemahan oleh Hasan Basari. 2003. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Terjemahan oleh Tim Penerjemah Serambi. 2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta.
Rutgers, S.J. 2012. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sularto dan Rini Yunarti. 2010. Konflik Di Balik Proklamasi: BPUPKI,
PPKI, dan Kemerdekaan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Wood, Michael. 2005. Sejarah Resmi Indonesia Modern: Versi Orde Baru
dan Para Penentangnya. Terjemahan oleh Astrid Reza dan Abmi Handayani.
2013. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Yamin, Muhammad. 1952. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.
Jakarta: Djambatan.
Zuhdi, Susanto. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok:
Komunitas Bambu.
[1]Artikel
Mata Kuliah Kapita Selekta Sejarah Indonesia
[2] S2
Pendidikan Sejarah, NIM 140731807518
[3]
Sudah menjadi prinsip bahwa setiap negara tidak akan mau mengkompromikan kepada
pihak mana pun mengenai hal-hal menyangkut kedaulatannya. Kedaulatan sebuah
negara tercermin di dalam kemampuannya menjaga batas-batas wilayah
teritorialnya dan keselamatan bangsanya (Zuhdi, 2014: 497).
[4]
Cita-cita besar penggagas maritim untuk menata negara dan bangsanya, sungguh
amat relevan dengan kenyataan historis kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan
nasional pertama di Nusantara. Dalam panggung kawasan Asia Tenggara, kerajaan
Sriwijaya tampil sebagai kerajaan yang besar, makmur, terhormat dan bermartabat
(Anshoriy dan Dri, 2008: 50).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar