Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam
sistem Pendidikan Indonesia[1]
Rendy Wahyu
Satriyo Putro[2]
Pendahuluan
Perkembangan sebuah bangsa dapat
dilihat dari perkembangan pendidikannya. Pendidikan merupakan dasar dari suatu
bangsa untuk mengembangkan atau mengubah arah haluan negaranya yang sesuai
dengan cita-cita bangsanya. Pendidikan menghasilkan sebuah pemikiran dan
pandangan dari setiap individu, kecerdasan sosial maupun sikap dan pandangan ke
depan setiap individu juga ditentukan oleh pendidikannya. Sehingga perilaku
maupun tata kehidupan masyarakat juga dipengaruhi oleh pendidikannya.
Pendidikan juga memengaruhi kebudayaan suatu bangsa. Sehingga bangsa yang
berbudaya juga lah bangsa yang berpendidikan.
Pendidikan tidak hanya diartikan
sebagai pendidikan formal yang ada dan diselenggarakan oleh sekolah atau
lembaga pendidikan saja. Namun juga ada peran pendidikan non-fromal dan juga
pendidikan in-formal. Pendidikan non-formal merupakan pendidikan di luar
pendidikan formal, yang dalam hal ini adalah pendidikan yang tidak berdasarkan
pada suatu lembaga pendidikan yang diakui pemerintah sebagai pendidikan formal.
Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan yang dienyam dari lingkungan
yang terdekat yaitu keluarga, sehingga pendidikan informal juga merupakan dasar
dari pendidikan.
Keseimbangan antara pendidikan
formal, pendidikan non-formal, maupun pendidikan in-formal perlu diselaraskan
demi menunjang kemampuan berpikir yang mampu membuat individu menjadi arif
bijaksana sebagai pemimpin masa depan bangsa. Namun, pada kenyataannya di
kehidupan masyarakat masih banyak yang menganggap pendidikan yang terpenting
hanyalah pendidikan formal, dan mengesampingkan pendidikan non-formal dan
informal. Sehingga, generasi yang dihasilkan adalah generasi yang cerdas namun
tidak memiliki kemampuan bertahan hidup di masyarakat atau cerdas tapi
disalahgunakan. Oleh karena itu, pentingnya seluruh elemen pendidikan sangat
mendukung perkembangan pendidikan yang mengarahkan bangsa mencapai
cita-citanya.
Pendidikan juga tidak lepas dari
pengaruh berbagai pandangan di dunia. Selain itu juga, keadaan alam maupun
corak kehidupan masyarakat berpengaruh pada perkembangan pendidikan. Di
Indonesia sendiri, pendidikan telah banyak mengalami perkembangan yang juga
memengaruhi pola kehidupan masyarakat maupun mengubah pandangan hidup
masyarakat hingga seperti sekarang. Namun, di sisi lain dari masuknya pengaruh
pendidikan dari berbagai belahan dunia ke Indonesia, juga memiliki pendidikan
yang diajarkan secara naluri oleh orang tua, yang biasa disebut pendidikan
informal. Interaksi dalam masyarakat juga menjadi aspek dalam menyebarkan
pendidikan, sehingga interaksi tersebut juga memengaruhi pola pikir maupun
pandangan seseorang dalam kehidupan masyarakat. Pola pikir maupun pandangan
hidup tersebut dituangkan dalam suatu adat budaya yang kemudian berkembang
menjadi sebuah peradaban. Sehingga, kemajuan sebuah peradaban juga dipengaruhi
oleh tingkat kemajuan pendidikan.
Di Indonesia yang telah mengalami
banyak perubahan zaman, mulai dari masa pra aksara, kerajaan-kerajaan
Nusantara, kolonial, kemerdekaan hingga sekarang, secara otomatis telah
mengalami perkembangan pendidikan yang banyak yang sesuai dengan situasi dan
kondisi pada waktu itu. Watak pribadi
bangsa Indonesia yang mampu berinteraksi yang baik dengan bangsa-bangsa lain
memberikan sebuah nilai yang baik bagi perkembangan pendidikan Indonesia. Mulai
dari interaksi dalam perdagangan hingga masuknya pengaruh agama dan
kolonialisasi hingga merdeka, memberikan konstribusi proses perkembangan
pendidikan. Namun, dalam pengelolaannya atau pemahamannya juga tergantung dari
masing-masing individu dalam menangkapnya, yang dalam hal ini pentingnya tujuan
pendidikan dibangun untuk memberikan jalur yang sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia.
Pada masa kolonial, pendidikan
bagi rakyat Indonesia masih sangat terbatas, dan mulai terbuka semenjak adanya
politik balas budi yang mewajibkan memberikan pendidikan bagi rakyat Indonesia.
Namun, pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan,
batas-batas pendidikan masih diterapkan. Hal ini dikarenakan kekhawatiran pihak
kolonial akan kemajuan pemikiran rakyat Indonesia sehingga mampu memberontak
dan menginginkan kemerdekaan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi sesuatu yang
penting untuk sebuah revolusi perubahan.
Soewardi Soerjaningrat merupakan
keturunan bangsawan yang mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih
baik. Namun tidak semudah seperti yang kita bayangkan, perjuangan tetaplah
perjuangan dan itu terus diperjuangkan oleh Soewardi Soerjaningrat untuk
bangsanya. Untuk lebih mendalami dan dekat dengan rakyat, Soewardi
Soerjaningrat tidak memakai kebangsawanannya dan lebih dikenal dengan nama Ki
Hadjar Dewantara. Perjungannya melawan kolonialisme di Indonesia beliau
tuangkan dengan jalan pendidikan, karena beliau memahami bahwa dengan
pendidikan akan mampu membangkitkan rakyat menuju cita-cita lepas dari belenggu
penjajahan. Berkat jasa-jasa beliau, beliau dianugrahi sebagai Bapak Pendidikan
Indonesia yang diabadikan dengan tanggal lahirnya sebagai hari pendidikan
nasional, yaitu 2 Mei.
Kondisi Pendidikan pada masa Kolonial
Pada masa penjajahan, pendidikan
Indonesia sangat kurang diperhatikan untuk rakyat Indonesia. Pendidikan formal
hanya dapat dienyam oleh orang-orang tertentu dan sangat dibatasi. Namun,
pendidikan non-formal tetap berjalan dan berkembang dalam kehidupan rakyat
Indonesia, sebatas pendidikan yang diadakan di surau-surau maupun di pesantren.
Setelah VOC bubar pada 1799, Indonesia menjadi daerah jajahan belanda dengan
nama Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Deandles yang agak
memberikan perhatian bagi pendidikan rakyat Indonesia pada waktu itu. Pada
tahun 1801, Deandles telah menyatakan bahwa perlu diselenggarakan pengajaran
bagi anak-anak Jawa (Indonesia) untuk memperkenalkan kepada anak-anak itu
tentang kesusilaan, adat istiadat, dan pengertian-pengertian agama, namu tidak
dapat terealisasi karena tidak ada anggaran untuk pengajaran bagi rakyat
Indonesia (Rifa’i, 2011: 58-59). Pada 1811-1816 pun ketika Indonesia dijajah
Inggris pun belum sempat mengusahakan pendidikan untuk rakyat Indonesia. Baru
setelah berhasil direbut kembali oleh Belanda, keluarlah surat keputusan
tentang anggaran pendidikan bagi orang-orang Indonesia namun masih terbatas
pada pegawai. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda ini, terdapat tiga jenis
tingkatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi (Rifa’i, 2011: 59). Namun dalam kenyataannya, Pemerintah
Hindia Belanda sampai dengan akhir abad ke-19 belum memikirkan pendidikan
menengah umum dan pendidikan tinggi (Rifa’i, 2011: 71). Dasar pendidikannya
mengacu semua pada pendidikan barat dan kebudayaan barat, dan bahasa Belanda
menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan.
Pada masa itu juga, pendidikan
Islam juga sudah berkembang di pedesaan, beberapa di antaranya telah menjadi
besar dan dikenal dan muncul usulan untuk mengembangkannya sebagai pendidikan
umum. Namun, Van der Chisj (inspektur pertama pendidikan pribumi) pada tahun
1885 menekankan bahwa tak ada manfaatnya untuk menjadikan lembaga-lembaga Islam
tersebut dijadikan sebagai penyelenggara pendidikan umum (Salim, 2007: 199). Pada
awal abad ke 20, Pemerintah Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan
barat untuk pribumi, yang sebenarnya model pendidikan barat ini telah berlaku
di Indonesia sejak abad 17 namun masih diperuntukkan untuk keluarga Belanda
yang tinggal di Ambon, sedangkan untuk golongan pribumi masih tertutup. Konsep
pendidikan barat dapat lebih memenuhi kebutuhan untuk mengisi lowongan kerja
dalam administrasi modern dengan gaji dan hasil yang lebih baik. Sistem
pendidikan barat diadakan sebagai pelestarian status quo bagi anak para
bangsawan yang untuk kemudian menjadi kepanjangan dari kekuasaan pemerintahan
kolonial Belanda (Salim, 2007: 199). Kebijakan-kebijakan pendidikan masa lalu
tersebut masih memengaruhi konsep-konsep pendidikan di Indonesia pada zaman
sekarang. Pendidikan Islam tidak dijadikan sebagai pendidikan umum, sedangkan
konsep-konsep pendidikan umum juga mengacu konsep pendidikan yang diberikan
Belanda, misalnya masih menggunakan kaidah-kaidah yang sesuai dengan model
pendidikan Belanda yaitu sistem persekolahan. Konteks pendidikan yang
dicanangkan Belanda merupakan bentuk pengukuhan kekuasaannya untuk menciptakan
alat-alat birokrasinya agar diisi oleh kaum terdidik baik pribumi maupun warga
non-pribumi (Rifa’i, 2011: 78).
Dengan diberlakukannya politik
etis, berdampak pula dengan program pendidikan di Indonesia dengan banyak
dibukanya sekolah-sekolah dan memberi banyak kesempatan seluas-luasnya kepada
kaum pribumi untuk melanjutkan sekolah. Namun pada kenyataannya juga tidak
semua kaum pribumi yang di terima di sekolah-sekolah Belanda dengan berbagai
alasan. Walaupun Politik Etis salah satu aspeknya mengedepankan pendidikan bagi
kaum pribumi, namun dalam pelaksanaannya Belanda tidak ingin memajukan
pendidikan kaum pribumi, dan sekolah lanjut sangat dibatasi, kecuali untuk kaum
bangsawan. Namun, pada perkembangannya, dengan pendidikan mampu menggugah
semangat nasionalisme kaum pribumi terpelajar dengan banyaknya kaum pribumi
terpelajar yang belajar ke luar negeri.
Latar Belakang Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Salah satu dari banyaknya kaum
terpelajar pribumi tersebut adalah Soewardi Soerjaningrat yang juga merupakan
keturunan kaum bangsawan. Walaupun Soewardi Soerjaningrat merupakan keturunan
bangsawan, namun tidak serta merta hidup dalam kecukupan ekonomi, terutama
untuk pendidikan. Keterbatasan ekonomi yang menghimpit kehidupan keluarganya di
masa kecilnya tidak menghambatnya untuk maju dan berkembang dalam hidup,
sekolah, dan belajar. Sementara sesama ningrat lainnya bergembira ria setelah
tamat dari sekolah dasar dan meneruskan jenjang yang lebih tinggi, pada 1904
beliau dilanda kebingungan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih
tinggi. Ia tidak hanya bingung masalah biaya karena keluarganya tidak cukup
berada dibandingkan dengan kerabat Pakualaman yang lain dan juga tentang mau ke
mana melanjutkan sekolahnya (Samho, 2013: 48). Hal ini juga berarti tidak semua
kaum bangsawan dapat mampu mengenyam pendidikan dengan baik, tergantung dengan
motivasi belajar dari kaum bangsawan itu sendiri. Sedangkan kaum pribumi banyak
yang ingin bersekolah namun tidak dapat bersekolah.
Akhirnya Soewardi Soerjaningrat
memilih sekolah guru di Yogyakarta namun tidak sampai tamat, karena menyambut
tawaran beasiswa di STOVIA yang ditawarkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo yang
bertandang di Pakualaman. Namun di luar dugaan, beliau tidak berhasil
menamatkan studinya di STOVIA dikarenakan sakit selama 4 bulan yang menyebabkan
beliau tidak naik kelas yang hasilnya dicabut beasiswanya dan akhirnya beliau
meninggalkan sekolahnya (Samho, 2013: 48-49). Meskipun gagal naik kelas dan
drop out dari STOVIA, ia terus berjuang untuk mewujudkan idealisme dan
cita-citanya dengan terus belajar, menulis, dan aktif dalam berbagai organisasi
politik. Pengalaman pahit di STOVIA tidak menyurutkan semangatnya untuk terus
maju dalam banyak hal, dan ia tetap dikenal oleh gurunya sebagai sosok yang
berkualitas dan cerdas yang akhirnya mendorong direktur STOVIA untuk
mengeluarkan surat istimewa yang menjelaskan bakatnya itu untuk mencari
pekerjaan (Samho, 2013: 51-52). Sekolah yang telah ditempuhnya sekala kurang
lebih lima tahun (1905-1910) itu memang memberi bekal berarti baginya terutama
dalam hal penguasaan bahasa Belanda. Cita-citanya setelah keluar dari sekolah
Dokter Jawa tersebut dicakupkan dalam sebuah kalimat ringkas, “memperjuangkan
kemerdekaan manusia Indonesia secara total dan radikal (Samho, 2013: 38).
Sambil bekerja, ia mulai aktif
terjun ke bidang jurnalistik yang merupakan awal karier perjuangannya dan
menjadi alat perjuangan politik selanjutnya, ia mengungkapkan ide-ide besarnya,
cita-cita untuk bangsanya. Bidang jurnalistik dijadikannya sarana atau alat
pendidikan politik bagi bangsa Indonesia. Keaktifannya dalam menulis juga yang menghantarkannya pada persoalan internering
(Samho, 2013: 52-53). Internering di negeri Belanda (1913-1919) malah
memperkaya dirinya dengan wawasan tentang pendidikan, pengajaran, jurnalistik,
dan drama, bahkan berhasil memperoleh Europeesche Akte (Samho, 2013:
21).
Pada 23 Februari 1928, Soewardi
Soerjaningrat mengganti namanya yang lebih merakyat, yaitu Ki Hadjar Dewantara
dan sejak itu pula tidak menggunakan gelar kebangsawanannya di depan namanya
dengan maksud agar dapat bebas dekat dengan rakyat dan merupakan perwujudan
kerendahan hatinya (Samho, 2013: 27).
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan Indonesia
Dalam dunia pendidikan dan
pengajaran, ia bahkan berhasil memperoleh Europesche Akte. Pada tahun
1915, Soewardi Soerjaningrat berhasil memperoleh akte guru. Dia mempelajari
pandangan-pandangan tokoh-tokoh besar dalam pendidikan seperti J.J. Rousseau,
Rabindrant Tagore, John Dawey, Kerschensteiner, Dr. Frobel dan Dr. Montessori.
Dua tokoh yang terakhir itu sepertinya yang paling memengaruhi konsep
pendidikan Soewardi Soerjaningrat yang diterapkan dalam Taman Siswa (Samho,
2013: 21).
J. J. Rousseau mengembangkan
pemikiran bahwa pendidikan dilakukan dengan menggunakan pendekatan alami yang
disebut sebagai pendekatan naturalistik. Rabinfrant Tagore dan John Dawey
mengungkapkan konsep pendidikan imajinasi naratif yang menekankan pentingnya
pendidikan seni. George Kerschensteiner mengembangkan cita-cita pendidikan
tujuan hidup manusia yang tertinggi adalah mengabdi kepada negara. Pendidikan
menurut Frobel adalah apa yang memimpin atau menuntun manusia kepada kepandaian
berpikir (segi kognitif dari manusia) dan apa yang menghantar manusia pada kesadaran diri yang lebih mendalam menuju
sesuatu yang murni, tidak tercela (segi afeksi dari manusia). Sedangkan
Montessori berpendapat bahwa setiap anak berkehendak untuk mengaktualisasikan
bakat yang ada pada dirinya.
Ciri khas Perguruan Taman Siswa
adalah memperlakukan anak (peserta didik) sebagai subjek pendidikan dan
mengolah potensi-potensi mereka (intelektualitas, emosionalitas, sosialitas,
dan spiritualitas) secara integratif. Sebagai embrio pendidikan Indonesia,
Perguruan Taman Siswa boleh dipandang sebagai lembaga pendidikan pertama yang
mengedepankan kekhasan nilai-nilai luhur dalam praksisnya yang menampilkan ciri
khas bangsa Indonesia (Samho, 2013: 23). Ki Hadjar Dewantara memandang
pendidikan adalah pilar utama dalam pembangunan kesadaran manusia di Indonesia
akan hak-haknya sebagai manusia. Dari sanalah kesadaran mereka sebagai sebuah
bangsa terbentuk, bahwa bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang memiliki
kebebasan dan dapat menegaskan eksistensi kemanusiaannya ceraca utuh dan penuh.
Dalam perspektif itu, pendidikan adalah aktivitas pembentukan kesadaran akan
pentingnya menjadi pribadi yang humanis dan bertanggung jawab terhadap
eksistensi kemanusisaan sesama manusia (Samho, 2013: 69-70).
Menurut Ki Hadjar Dewantara,
pendidikan dan pengajaran adalah daya upaya yang disengaja secara terpadu dalam
rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia. Pengajaran adalah
pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan dan memberi kecakapan,
pengertian serta pelatihan kepandaian kepada anak-anak, yang dapat berfaedah
buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Pengaruh pengajaran pada umumnya
adalah memerdekakan manusia atas hidup lahirnya, sehingga ia menjadi pribadi
pintar, cerdas, dan terampil. Sedangkan pendidikan adalah tuntutan di dalam
hidup tumbuhnya anak yang menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Samho, 2013:
74-75).
Menurut Ki Hadjar Dewantara,
orang yang memiliki kecerdasan budi pekerti adalah orang yang senantiasa
memikir-mikirkan, merasa-rasakan dan selalu memakai ukuran, timbangan, dan
dasar-dasar yang pasti dan tetap (dalam perkataan dan tindakannya) yang pantas
dan terpuji terhadap sesama dan lingkungannya. Ketika budi (pikiran) dan
pekerti (tenaga) seseorang bersatu, maka bersatu jualah gerak, pikiran,
perasaan, dan kehendak atau kemauannya yang lalu menimbulkan tenaga kepadanya
(untuk bertindak yang selaras dengan nilai-nilai dan menimbulkan relasi yang
harmonis antara dirinya dengan lingkungan sosialnya). Kecerdasan budi pekerti
berkat pendidikan mengantar seseorang pada kemerdekaan hidup batin yang
sifatnya ada tiga macam, yakni berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang
lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri (menguasai diri) (Samho, 2013: 75-76).
Berangkat dari keyakinan akan
nilai-nilai tradisional, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa pendidikan yang khas
Indonesia haruslah berdasarkan citra nilai kurtural Indonesia juga. Maka ia
menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni
pertama Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang pendidik selalu berada di
depan untuk memberi teladan; Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang pendidik
selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus
memrakarsai/memotivasi peserta didiknya untuk berkarya, membangun niat,
semangat, dan menumbuhkan ide-ide agar peserta didiknya produktif dalam
berkarya; Tut Wuri Handayani, artinya seorang pendidik selalu mendukung dan
menopang (mendorong) para muridnya berkarya ke arah yang benar bagu hidup
masyarakat (Tauhid dalam Samho, 2013: 78). Senada dengan ketiga semboyan
pendidikan tersebut, metode pendidikan yang cocok untuk membentuk kepribadian
generasi muda di Indonesia adalah sepadan dengan makna paedagogik, yakni
Momong, Among, dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh
(Samho, 2013: 78).
Pengajaran yang diberikan pada
anak-anak di Taman Siswa dibagi dalam dua lapisan, yakni pertama, memberi
pengetahuan atau kepandaian yang juga berpengaruh pada kemajuan batin
(mendewasakan pikiran, rasa, dan kemauan); kedua, memberikan bekal pada
anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum, yakni mata pelajaran
yang meliputi bidang kultural dan kemasyarakatan. Pembagian tersebut menuntut
peran pendidik dengan isi dan nilai yang berbeda-beda. Metode Ngemong, Momong,
Among, dan semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut
Wuri Handayani bukan berasal dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang terpisah,
pendidikan bukan hanya masalah bagaimana membangun budi (pikiran, kognisi) namun juga pekerti
(tenaga) anak-anak Indonesia, agar mereka kelak mampu menjadi pemimpin-pemimpin
bangsa yang meng-Indonesia (mencintai dan memiliki kekhasan Indonesia) (Samho,
2013: 80).
Dalam menerapkan metode among, Ki
Hadjar Dewantara menyampaikan pentingnya tritunggal fatwa pendidikan untuk
hidup merdeka, yaitu pertama tetep, antep, dan mantep, artinya pendidikan
adalah upaya terencana untuk membangun ketetapan pikiran dan batin subjek
didik; kedua, membentuk mentalitas ngandel, kandel, kendel, dan bandel dalam
diri subjek didik, artinya pendidikan menekankan pengolahan kematangan batiniah
menumbuhkan rasa percaya diri (ngadel) dan membentuk pendirian yang teguh
(kandel) pada subjek didik sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang berani
dan tawakal, tidak menyerah; ketiga, pendidikan dilaksanakan untuk membangun
kondisi neng, ning, nung, dan nang dalam kesadaran peserta didik, artinya upaya
mendidik membentuk kesucian pikiran dan kebatinan subjek didik (neng),
ketenangan hati (ning), dan membuat mereka menguasai diri (nung), dan kemenagan
(nang) atas ego diri yang cenderung pongah dan serakah (Samho, 2013: 81-82).
Terkait dengan upaya mengimplementasikan
metode among dalam koridor ketika fatwa pendidikan tersebut, Ki Hadjar
Dewantara mengajukan lima asas pendidikan yang dikenal dengan sebutan
Pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan)
(Samho, 2013: 82). Pendidikan mesti dilaksanakan untuk maksud pemeliharaan atas
dasar perhatian yang besar kepada kebebasan anak untuk bertumbuh lahir batinnya
sesuai dengan kodratnya; menjadikan manusia yang merdeka batin, pikiran dan
tenaganya; menjadikan manusia makhluk yang berbudaya dan memelihara nilai-nilai
dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional; menjadikan seseorang harus merasa satu
dengan bangsanya dan perasaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa
kemanusiaan; serta persahabatan antar bangsa-bangsa.
Dalam Taman Siswa, sikap dan
sifat hidup yang ditanamkan Ki Hadjar Dewantara ke dalam setiap anggota Taman
Siswa sebagai dasar dan sikap perjuangan hidup mereka di tengah-tengah
masyarakat adalah Trikon (kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi).
Kontinuitas (atau dasar kultural) terkait dengan kebudayaan yang selalu dinamis
dan terbuka untuk nilai-nilai baru dari luar. Konsentrisitas (dasar nasional)
terkait dengan alam hidup manusia yang diyakini sebagai hidup berbulatan
(konsentris). Konvergensi (dasar kemasyarakatan) terkait dengan kehidupan yang
selalu bertaut erat dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas (Samho, 2013:
90-91).
Kesimpulan
Ki Hadjar Dewantara memang
keturunan ningrat, namun juga tidak hidup seenak golongan ningrat lainnya.
Keterbatasan tidak menghalanginya untuk belajar dan berjuang demi kemerdekaan
manusia Indonesia seutuhnya. Bakat yang dimilikinya dikembangkannya dan selalu
menjawab peluang yang ada. Kesukaannya dalam bidang politik dan jurnalis
membawanya kepada hukuman interering di negeri Belanda yang akhirnya membawanya
sadar akan pentingnya pendidikan bagi perjuangan bangsa Indonesia. Sekembalinya
ke Indonsia, berbekal dari pandangan-pandangan para pemikir pendidikan dunia
yang memengaruhi padangannya, ia mengembangkan konsep pendidikan yang
disesuaikan dengan kurlur budaya Indonesia. Pengembangan pendidikan itu
dikembangkannya melalui Perguruan Taman Siswa yang ia bentuk. Metode yang
digunakan adalah metode among dengan semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing
Madya Mangu Karsa, Tut Wuri Handayani. Selain itu juga mengajukan lima asas
pendidikan yang disebut Pancadharma dan mengajarkan sifat dan sikap hidup
Trikon (kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi).
Daftar Rujukan
Salim, Agus.
2007. Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Samho,
Bartolomeus. 2013. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan
Relevansi. Yogyakarta: Kanisius.
Rifa’i,
Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern.
Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar