Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Mei 2013

KETERLIBATAN AUSTRALIA DALAM KONFLIK INDONESIA-BELANDA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945-1949



KETERLIBATAN AUSTRALIA DALAM KONFLIK INDONESIA-BELANDA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945-1949[1]
Rendy Wahyu Satriyo Putro[2]
Abstrak                      : Keterlibatan Australia dalam Revolusi Fisik di Indonesia tahun 1945-1949 menimbulkan tanda tanya besar, apakah benar-benar Australia tulus membantu Indonesia atau ada sesuatu di baliknya. Dalam Perang Dunia II, Australia adalah blok Sekutu dan pada awalnya adalah ikut membantu Belanda, namun kemudian berbalik arah mencela Agresi Belanda di Indonesia dan membantu Indonesia dalam penyeleseian konflik Indonesia-Belanda 1945-1949. Salah satu peran dari Australia di Indonesia adalah melalui Komisi Tiga Negara yang Australia adalah wakil dari Indonesia untuk penyeleseian konflik Indonesia-Belanda hingga pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Kata Kunci                : Australia, Konflik, Indonesia-Belanda, Revolusi Fisik 1945-1949.
Pendahuluan
Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 yang sebelumnya dijajah oleh Belanda. Belanda sendiri secara langsung memerintah Indonesia (Hindia Belanda) setelah VOC dibubarkan pada 17 Maret 1798. Selanjutnya dipimpin oleh Marsekal Herman Willem Daendels pada tahun 1808-1811 di bawah Prancis, karena Negeri Belanda telah berada di bawah kekuasaan Prancis sejak tahun 1975 (Ricklefs, 2008: 243). Kemudian pada bulan Mei 1811, kedudukan Daendels sebagai Gubernur Jenderal digantikan oleh Jan Willem Jassens, yang telah menderita penghinaan akibat menyerahkan Tanjung Harapan kepada pihak Inggris  pada tahun 1806 (Ricklefs, 2008: 247). Dan pada tahun 1811 Inggris menyerang Batavia yang merupakan jantung jajahan Belanda dan pada 18 September 1811 Jassens menyerah di dekat Salatiga (Ricklefs, 2008: 247), kemudian pimpinan Hindia Belanda digantikan oleh Thomas Stamford Raffles pada 1811-1816 di bawah Inggris. Pada tahun 1816, Jawa dan pos-pos Indonesia lainnya dikembalikan kepada  pihak Belanda sebagai bagian dari penyusunan kembali secara menyeluruh urusan-urusan Eropa setelah perang-perang Napoleon (Ricklefs, 2008: 251).  Kemudian 1816-1826, dipimpin oleh Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen dan pada 1825-1830 Perang Jawa pun dimulai.
Pada tahun 1830 dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa, untuk pertama kalinya, pihak Belanda mampu mengeklsploitasi dan menguasai seluruh pulau ini, dan tidak ada satu pun tantangan yang serius terhadap kekuasaan  mereka sampai abad XX (Ricklefs, 2008: 259). Pada permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang paling mendasar dalam sejarahnya. Eksploitasi terhadap Indonesia mulai kurang dijadikan sebagai alasan utama kekuasaan Belanda, dan digantikan dengan pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia, kebijakan ini dinamakan “Politik Etis”. Masa di mana kebijakan ini muncul melahirkan perubahan-perubahan yang begitu mendasar di lingkungan penjajahan. Sebenarnya, dalam kebijakan-kebijakan politik Etis terdapat lebih banyak janji dari pada pelaksanaan, dan fakta-fakta penting tentang ekspolitasi dan penaklukan sesungguhnya tidak berubah. Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan dan sekaligus keuntungan ekonomi (Ricklefs, 2008: 327).
Antara tahun 1927 dan runtuhnya Belanda oleh Jepang pada tahun 1942, kebangkitan nasional Indonesia mulai bergaya kurang semarak. Dalam masalah politik, gerakan anti-penjajah melanjutkan langkah-langkah yang tidak menghasilkan apa-apa. Rezim Belanda memasuki tahapan paling menindas dan paling konservatif dalam sejarahnya pada abad XX. Rakyat daerah pedesaan tidak lagi memainkan peranan politik yang aktif karena dikecewakan oleh pengalaman mereka dengan SI dn PKI pada tahun-tahun sebelumnya dan juga karena mulai tahun 1930 dan seterusnya mereka lebih disibukkan dengan usaha untuk mengatasi masa-masa sulit yang ditimbulkan oleh depresi (Ricklefs, 2008: 288).
Pada tanggal 8 Desember 1941 (7 Desember di Hawaii), Jepang menyerang Pearl Harbour, Hongkong, Filipina, dan Malaysia. Negeri Belanda segera mengikuti jejak sekutu-sekutunya dengan menyatakan perang terhadap Jepang. Pada tanggal 10 Januari 1942, penyerbuan Jepang ke Indonesia dimulai. Pada tanggal 15 Februari, pangkalan Inggris di Singapura yang menurut dugaan tidak mungkin terkalahkan, menyerah. Pada akhir bulan itu, balatentara Jepang menghancurkan armada gabungan Belanda, Inggris, Australia, dan Amerika dalam pertempuran di laut Jawa. Tidak mengherankan apabila rakyat Indonesia memberikan sedikit sekali bantuan kepada pasukan kolonial yang terancam dan kadang-kadang dengan senang hati berbalik melawan orang-orang sipil dan serdadu-serdadu Belanda. Pada tanggal 8 Maret 1942, pihak Belanda di Jawa menyerah dan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ditawan oleh pihak Jepang, berakhirlah kekuasaan Belanda di Indonesia (Ricklefs, 2008; 418).
Dari sisi lain, Belanda adalah bagian dari blok Sekutu pada Perang Dunia II dan negara terdekat dari Indonesia yang juga anggota blok Sekutu adalah Australia. Australia dapat dikatakan memiliki perang penting di Indonesia. Australia adalah bagian dari negara-negara blok Sekutu termasuk Belanda, Inggris, dan Amerika yang juga ikut terlibat dalam Perang Asia Pasifik termasuk di Indonesia. Ketika Belanda menyerah kepada Jepang dan menduduki Indonesia, Jepang adalah ancaman utama bagi Australia karena posisi Indonesia sangat dekat dengan Australia. Dari pemaparan tersebut menarik untuk dikaji tentang peran dan keterlibatan Australia di Indonesia sejak akhir Perang Dunia II hingga pengakuan kedaulatan Indonesia dari Belanda.
Australia di Indonesia Pada Perang Dunia II
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang kepada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC). Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI), serta bertugas melucuti bala tentera Jepang (Mari Mengenal Sejarah, 2012).
Peta Pembagian Kekuasaan Sekutu di Asia Tenggara Pada akhir Perang Dunia II
Sumber: http://mustaqimzone.files.wordpress.com201002hindia-belanda.gif
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten kemudian mendapat bantuan dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie J. Morsehead, yang karena kekejamannya mendapat julukan “Ming the merciless” (Ming yang tak kenal ampun). Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur lainnya. Ketika Perang Dunia II pecah, Morsehead ditugaskan di Afrika sebagai komandan Brigade AIF 18, dan pada tahun 1941, dia menjadi Panglima Divisi 9. Tahun 1944 Morsehead diangkat menjadi Panglima Tentara Australia 1 (1st Australian Corps), yang membawahi Papua sampai Kalimantan. Jenderal MacArthur menugaskan Morsehead untuk menyerbu pertahanan Jepang di Kalimantan, dan kemudian membantu Belanda untuk memperoleh Indonesia kembali sebagai jajahan, sesuai dengan janjinya kepada van Mook dalam pertemuan di pulau Tacloban, Filipina pada 10 Desember 1944. Dengan nama sandi Oboe 1, penyerangan atas Kalimantan dimulai dengan penyerbuan pasukan Brigade 26 pada 1 Mei 1945 atas Pulau Tarakan. Pada 6 Mei kota Tarakan dan bandaranya jatuh ke tangan tentara Australia, dan pada 22 Juni perlawanan tentara Jepang di seluruh Pulau Tarakan berakhir. Pada 1 Juli 1945, Divisi 7 tentara Australia mendarat di Balikpapan. Pendaratan ini merupakan pendaratan pasukan amphibi terbesar dan terakhir yang dilakukan oleh tentara Australia pada Perang Dunia II. Sasaran utamanya adalah menguasai ladang-ladang minyak yang sangat dibutuhkan untuk keperluan perang tentara Sekutu (Hutagalung, 2006).
Latar Belakang Peran Australia dalam Penyeleseian Konflik Indonesia-Belanda pada Masa Revolusi Fisik 1945-1949
Australia merupakan negara yang terdekat dengan Indonesia, posisi Indonesia yang strategis di antara dua samudra, yaitu Samudra Atlantik dan Samudra Hindia, dan dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Posisi Indonesia yang dekat dengan Australia dapat dikatakan sangat berpengaruh bagi Australia yang dapat menjadi ancaman bagi Australia.
Ketika tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan memulai penyerbuan ke Pulau Jawa tanggal 1 Maret 1942, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan Gubernur Jenderar Hindia Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Simon Hendrik Spoor. Tahun 1946 Spoor, menggantikan Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia. Tahun 1942 jumlah tentara Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang dari Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang –termasuk orang Indonesia yang menjadi serdadu KNIL seperti Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo (Hutagalung, 2006).
Setelah Perang Dunia II usai yang dimenangkan oleh Sekutu, pada awal tahun 1945, pihak Sekutu telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di Jepang. Dengan demikian, pada saat terakhir, tanggung jawab atas Indonesia dipindahkan dari Komando Pasifik Barat Daya Amerika kepada Komando Asia Tenggara Inggris di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten. Tentu saja Belanda ingin sekali menduduki kembali Indonesia dan menghukum yang telah bekerja sama dengan pihak Jepang, tetapi mereka tidak sanggup melakukan hal itu sendirian pada tahun 1945, sehingga harapan mereka kini tertumpu pada pihak Inggris. Akan tetapi, Mountbatten nanti menunjukkan bahwa dia tidak berniat menaklukkan Indonesia untuk Belanda; dia pun memang tidak memiliki cukup banyak serdadu untuk melakukan itu. Dia menetapkan sasarannya secara terbatas: membebaskan para tawanan bangsa Eropa dan menerima penyerahan pihak Jepang. Hal-hal lainnya terserah kepada pihak Belanda; sebenarnya Mountbatten memperlakukan pemerintahan-pemerintahan Republik yang ada di daerah-daerah sebagai kekuasaan de facto (Ricklefs, 2008: 453-454).
Di wilayah yang dikuasai angkatan laut Jepang, revolusi terhenti pada awalnya ketika pihak Sekutu bergerak masuk. Pasukan-pasukan Australia menerima penyerahan Jepang di sana (terkecuali untuk Bali dan Lombok) dan bersama mereka datanglah pasukan-pasukan dan pejabat-pejabat Belanda. Antara pertengahan bulan September dan pertengahan Oktober 1945, Australia menduduki kota-kota besar di Indonesia Timur, yang pada umunya terjadi sebelum pemerintahan Republik terbentuk di daerah-daerah tersebut. Demonstrasi-demonstrasi dipadamkan dan beberapa pejabat yang pro-Republik ditangkap. Raja-raja di Sulawesi Selatan yang pro Republik memutuskan bahwa akan tidak bijaksana melawan tentara Australia, sehingga dengan berat hati terpaksa membiarkan saja kembalinya orang-orang Belanda (Ricklefs, 2008: 454).
Hubungan Indonesia dengan Australia sejak kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tidaklah pernah benar-benar baik. Bahkan di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda 1945 – 1949, semula pemerintah Australia mendukung Belanda. Akan tetapi serikat buruh Australia ternyata tidak mendukung kebijakan pemerintahnya. Para buruh pelabuhan menolak untuk memuat logistik yang akan dikirim untuk kepentingan tentara Belanda di Indonesia. Setelah menilai bahwa Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan oleh Belanda dengan kekuatan militer, maka sejak akhir tahun 1947 Australia kemudian berbalik haluan dan bersikap seolah-olah membantu Indonesia setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia (Hutagalung, 2006).
Peran Australia dalam Penyeleseian Konflik Indonesia-Belanda pada Masa Revolusi Fisik 1945-1949
Menurut George (1980) dalam Siboro (1989: 166) mencatat bahwa pada waktu Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaannya, pemerintah dan rakyat Australia memberikan rasa simpati dan dukungan terhadap Republik Indonesia yang baru lahir itu. Bagi Indonesia, sikap Australia itu dirasakan sebagai dukungan moral yang cukup berarti. Pihak Indonesia pun mengetahui bahwa dua kali agresi militer Belanda terhadap Indonesia, Australia selalu mencela Belanda.
Pada saat pertempuran masih terus berlangsung di Jawa dan Sumatera, pada tanggal 30 Juli, Pemerintah Australia dan Pemerintah India secara resmi menuntut agar Dewan Keamanan menghentikan pertikaian senjata itu sebagai “suatu pelanggaran perdamaian” berdasarkan pasal 39 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga dengan demikian Australia menjadi pemerintah pertama dalam sejarah yang menggunakan suatu pasal dari Bab VII yang memberi kekuasaan kepada Dewan Keamanan untuk bertindak bila perdamaian terancam atau dilanggar. Berdasarkan rencana resolusi Australia, pada tanggal 1 Agustus Dewan Keamanan menyerukan penghentian permusuhan dengan segera dan penyelesaian pertikaian melalui perantara atau cara-cara damai lainnya (Critchley, 2011).
Ketika Belanda melakukan Agresi Militer I, Australia-lah yang menasehatkan kepada pihak Indonesia untuk meminta bantuan langsung kepada Sekretaris Jenderal PBB atau dengan perantaraan India. Pada waktu Belanda melaksanakan Agresi Militer II, Australia meminta kepada Dewan Keamanan PBB agar serangan Belanda itu segera dihentikan (Siboro, 1989: 166).
The action of the Netherlands cannot be condone. To ignore is to condone; to delay is to condone. The Council....should immediately measures it can within its authority to bring peace to Indonesia.... Tindakan dari Belanda tidak dapat dimaafkan. Mengabaikan berarti mengampuni; menunda bearti membiarkan. Dewan....harus secepatnya bertindak dengan kewenangannya untuk membawa perdamaian untuk Indonesia......(George, 1980: 128) dalam Siboro (1989: 167).
Melihat sikap Australia seperti itu, kiranya sangat beralasan pilihan Indonesia terhadap Australia ketika PBB membentuk Komisi Jasa-jasa Baik atau lebih terkenal dengan nama Komisi Tiga Negara, untuk menengahi perselisihan antara Indonesia dengan Belanda. Agar dapat melaksanakan tugasnya lebih efektif, komisi ini kemudian ditingkatkan menjadi United Nations Commission on Indonesia (UNCI). UNCI terus mengawasi perundingan antara Indonesia dengan Belanda; mulai dari perundingan di atas kapal Renville sampai dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) (Siboro, 1989: 167).
Meskipun Australia bukan menjadi Anggota Dewan melainkan hanya menjadi Anggota Komisi Jasa Baik atau Komisi Tiga Negara bentukan Dewan Keamanan, Australia mengerahkan semua kemampuannya dengan memanfaatkan hak-hak yang ada utuk ikut berdebat dengan anggota Dewan (Adil, 1993:84). Akhirnya, AS pada tanggal 21 Agustus 1947 melalui Departemen Luar Negeri AS memberitahukan kepada Belanda bahwa AS akan mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB agar menawarkan jasa-jasa baiknya kepada pihak yang bersengketa (Said, 1984: 39).
Usul tersebut diterima oleh DK-PBB tanggal 25 Agustus 1947 yang selanjutnya menjadi keputusan PBB untuk membentuk suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik) yang kemudian dikenal sebagai KTN (Komisi Tiga Negara) (Sabir, 1983: 104). KTN adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga anggota yaitu Australia (dipilih oleh Indonesia), Belgia (dipilih oleh Belanda) dan Amerika Serikat yang dipilih oleh Australia dan Belgia. Panitia ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan tanggal 25 Agustus 1947 sesudah pada tanggal 21 Juli tahun itu juga Belanda atas anjuran Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, menyerang R.I (Critchley, 2011).
Menghadapi sengketa Indonesia-Belanda yang semakin memuncak, maka Komisi Tiga Negara mengambil beberapa langkah penyelesaian dengan mengusulkan kepada forum PBB melalui DK PBB untuk membahas dan mengambil tindakan yang dianggap perlu atas segaka kejadian di Indonesia. Namun demikian, usaha KTN melalui PBB menemui banyak perbedaan persepsi tentang keadaan yang terjadi di Indonesia, sehingga usul tersebut tidak mendapat tanggapan. Berkali-kali KTN mengirimkan laporan ke DK PBB tetapi tidak pernah mendapat jawaban (Moedjanto, 1991: 26).
Komisi Tiga Negara merasa bahwa ia berhak mengambil inisiatif. Tanpa menunggu tibanya kapal perang Amerika “Renville” di mana akan dilangsungkan perundingan, KTN mulai berusaha agar gencatan senjata terlaksana. Pada tanggal 14 Nopember KTN bertemu dengan Panitia-panitia Khusus dari pihak Indonesia dan pihak Belanda. Dr. Leimena memimpin Panitia Indonesia, dan Jhr. Van Vredenburg memimpin Panitia Belanda (Critchley, 2011).
Setelah peristiwa Agresi Belanda II, forum PBB mulai gencar memperhatikan permasalahan yang ditangani KTN. Muncullah resolusi yang mengecam tindakan Belanda. Selama terbentuknya KTN hingga berakhirnya sengketa pada tanggal 27 Desember 1949, selama kurang lebih tiga setengah tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan sidang mengenai sengketa itu lebih dari 90 kali (Kustiniyati, 1989: 8).
Pada tanggal 28 Januari 1949, PBB mengeluarkan suatu resolusi yang menyerukan kepada kedua pihak untuk menghentikan tembak-menembak dan lain-lain yang berhubungan dengan sengketa tersebut. Akhirnya resolusi itu menetapkan perubahan KTN menjadi Komisi PBB untuk Indonesia, yaitu UNCI (United Nations Commission for Indonesia) (Said, 1984: 57).
Ketika kemerdekaan Indonesia mencapai pengakuan internasional pada akhir tahun 1949—dalam bentuk RIS sesudah KMB—barang kali Australia berada pada posisi yang lebih tinggi dalam memberikan penghargaan dibandingkan dengan negara-negara lain. Bahkan Australia beranggapan, bahwa Australia-lah “sponsor” kemerdekaan dan keanggotaan Indonesia di PBB. Berkaitan dengan inilah barangkali, Partai Buruh Australia yang memerintah tahun 1941-1949 menganggap Indonesia hasil KMB itu sebagai “hampir ciptaannya sendiri”, sehingga ada yang menganggap bahwa menteri luar negeri Australia pada waktu itu, Evatt, sebagai “bidan kemerdekaan Indonesia” itu (George, 1980) dalam Siboro (1989: 167).
Simpulan
Indonesia yang pernah dikuasai oleh beberapa negara sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, antara lain secara tidak langsung pernah dikuasai Prancis, Inggris, dan secara langsung dikuasai oleh Belanda dan merupakan negara yang menguasai Indonesia paling lama di antara negara-negara lain. Belanda adalah bagian dari blok Sekutu pada Perang Dunia II dan negara terdekat dari Indonesia yang juga anggota blok Sekutu adalah Australia. Australia dapat dikatakan memiliki peran penting di Indonesia. Australia adalah bagian dari negara-negara blok Sekutu termasuk Belanda, Inggris, dan Amerika yang juga ikut terlibat dalam Perang Asia Pasifik termasuk di Indonesia.
Namun, kekuasaan Belanda di Indonesia pada 1942 dapat direbut oleh Jepang yang akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang dan Indonesia dapat berhasil diduduki oleh Pemerintah Militer Jepang. Ketika Belanda menyerah kepada Jepang dan menduduki Indonesia, Jepang adalah ancaman utama bagi Australia karena posisi Indonesia sangat dekat dengan Australia. Namun pada akhir Perang Dunia II, Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan Indonesia pun berusaha diambil alih lagi oleh Belanda.
Pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, namun Belanda masih tetap ingin menguasai Indonesia. Di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda 1945 – 1949, semula pemerintah Australia mendukung Belanda. Akan tetapi serikat buruh Australia ternyata tidak mendukung kebijakan pemerintahnya. Para buruh pelabuhan menolak untuk memuat logistik yang akan dikirim untuk kepentingan tentara Belanda di Indonesia. Setelah menilai bahwa Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan oleh Belanda dengan kekuatan militer, maka sejak akhir tahun 1947 Australia kemudian berbalik haluan dan bersikap seolah-olah membantu Indonesia setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia.
Australia yang berubah haluan dari mendukung Belanda menjadi mendukung kemerdekaan Indonesia. Salah satu peran Australia dalam mendukung kemerdekaan Indonesia adalah mewakili Indonesia dalam Komisi Tiga Negara (KTN) untuk penyeleseian konflik Indonesia-Belanda. KTN adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga anggota yaitu Australia (dipilih oleh Indonesia), Belgia (dipilih oleh Belanda) dan Amerika Serikat yang dipilih oleh Australia dan Belgia. Selama terbentuknya KTN hingga berakhirnya sengketa pada tanggal 27 Desember 1949, selama kurang lebih tiga setengah tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan sidang mengenai sengketa itu lebih dari 90 kali. Australia beranggapan bahwa Australia-lah yang menjadi sponsor kemerdekaan Indonesia dan keanggotaan Indonesia dalam anggota PBB.

Daftar Rujukan
Adil, H. 1993. Hubungan Australia dengan Indonesia 1945-1962. Jakarta: Djambatan.
Kustiniyati, Mochtar (ed). 1989. Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI. Jakarta: Gramedia.
Moedjanto. 1991. Indonesia Abad ke-20 Jilid I. Yogyakarta: Kanisius.Said, Tribuana. 1984. Indonesia dalam Politik Global Amerika. Medan: PT. Waspada.
Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Sabir. 1983. Politik Bebas Aktif. Jakarta: Haji Masagung.
Siboro. 1989. Sejarah Australia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Critchley, Thomas Kingston. 2011. Dr. Leimena dan Komisi Tiga Negara, (Online), (http://www.leimena.org/en/page/v/421/dr.-leimena-dan-komisi-tiga-negara, diakses tanggal 22 November 2012).
Hutagalung, Batara R. 2006. Menyingkap Sejarah Konspirasi Australia – Belanda di Indonesia, (Online), (http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/menyingkap-sejarah-konspirasi.html, diakses tanggal 3 Desember 2012).
Mari Mengenal Sejarah. 2012. Kembalinya Belanda Bersama Sekutu, (Online), (http://www.sejarah.indah.web.id/2011/02/sejarah-indonesia-1945-1949.html, diakses tanggal 3 Desember 2012).


[1] Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Australia/Oceania yang dibina oleh Najib Jauhari, S.Pd, M.Hum.
[2] Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2009 Offering A, NIM 109831416506.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar