Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Mei 2013

PERANAN POLITIK WALI SONGO DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Politik sangat erat sekali hubungannya dengan kenegaraan atau pemerintahan. Dalam kehidupan kita sekali pun juga tidak jauh-jauh dari urusan politik, atau dengan kata lain kita mungkin juga menjalani kehidupan politik. Namun, politik tersebut juga memiliki tujuan tertentu yang pada umumnya bertujuan demi kebaikan, namun baik untuk siapa atau untuk apa, hal tersebut merupakan penilaian yang relatif. Adapun dalam kenegaraan atau pemerintahan, politik tersebut digunakan untuk kebaikan rakyat. Namun pada penerapannya, tokoh-tokoh atau pelaku politik kemungkinan juga dapat menyelewengkan wewenangnya yang kemungkinan bertujuan untuk kebaikannya sendiri maupun golongannya.
Adapun pengertian dari politik menurut berbagai ahli memiliki arti atau makna yang bermacam-macam, namun intinya juga adalah sama. Profesor Miriam Budiardjo (2008: 13) menjelaskan bahwa ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loj jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Dan sedangkan menurut Menurut Kuntowijoyo (2003: 173), pada umumnya definisi politik menyangkut semua kegiatan yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Perbedaan pokok dari ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial (termasuk ilmu politik) ialah bahwa sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial meluas dalam ruang. Sedangkan menurut Abdul Mu’in Salim (1994: 34-35), Politik diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negaral lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. Ada dua kecenderungan pendefisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah; kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau dengan konflik.
Namun, apabila kita kaji menurut kajian Islam, menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1971: 13) menjelaskan bahwa tata aturan Islam itu adalah tata-aturan yang bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu adalah karena hakikat Islam melengkapi segi-segi kebendaan (maddijah) dan segi-segi kejiwaan (ruhijah) dan dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah. Sebenarnya falsafah Islam adalah falsafah yang mencampurkan antara urusan-urusan dunia dengan urusan akhirat yang jalin-menjalin yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Karena itu, kedua segi itu menyusun suatu kesatuan yang harmonis.
Dalam perpolitikan Islam di Indonesia, dalam hal ini adalah masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara khususnya di Nusantara, dalam penyelenggaraan pemerintahannya juga tidak lepas dari kehidupan politik. Politik kenegaraan pada masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara pun pasti berbeda dengan politik kenegaraan pada masa saat ini, namun hakekatnya juga adalah sama tujuannya, yaitu demi kehidupan yang lebih baik. Kemungkinan hanya caranya saja yang berbeda atau jiwa zamannya yang berbeda.
Dalam bidang kenegaraan dan pemerintahan pada masa Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa juga tidak lepas dari peranan para Ulama Islam dalam penyenggaraannya. Ulama Islam Nusantara dalam hal ini sering disebut dengan Wali Songo. Wali Songo selain juga sebagai Ulama Islam yang menyiarkan Agama Islam juga sebagai tokoh yang berperan dalam hal kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara.
Suatu yang mungkin terdengar asing bagi kita yang masih awam adalah peranan Wali Songo dalam bidang politik, padahal yang kita tahu pada umumnya peranan Wali Songo adalah sebagai Ulama Islam atau penyebar Agama Islam. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang peranan politik Wali Songo dalam kehidupan bernegara Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Siapakah Wali Songo tersebut?
2.      Bagaimana posisi Wali Songo pada Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa?
3.      Bagaimana peranan politik Wali Songo dalam kehidupan bernegara Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa?
1.3.Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui tentang Wali Songo.
2.      Mengetahui posisi Wali Songo pada Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
3.      Mengetahui peranan politik Wali Songo dalam kehidupan bernegara Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.














BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Wali Songo
Pada umumnya, kita mengenal Wali Songo adalah sembilan orang wali yang menyebarkan Agama Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Kesembilan wali tersebut yaitu Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Namun, sebenarnya apabila kita kaji apakah mungkin Wali Songo tersebut dapat hidup bersamaan dengan perbedaan umur yang sampai puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Dan kemungkinan Wali Songo tersebut merupakan sekedar sebuah nama organisasi ulama atau dewan ulama Islam pada masa itu.
Berikut ini adalah nama dari Wali Songo dan tempat dakwahnya, yaitu:
NO
NAMA SUNAN
TEMPAT DAKWAH
1
Sunan Maulana Malik Ibrahim
Gresik
2
Sunan Ampel
Ampel Denta-Surabaya
3
Sunan Giri
Giri Kedaton Gresik
4
Sunan Bonang
Lasem sampai Tuban
5
Sunan Kalijaga
Kadilangu (Demak)
6
Sunan Kudus
Kudus
7
Sunan Drajad
Drajad (Lamongan)
8
Sunan Muria
Gunung Muria
9
Sunan Gunungjati
Cirebon
Tabel 1. Walisongo dan Daerah Dakwahnya.
Gambar 1. Silsilah Walisongo dan Periode Penyebarannya.
Sumber: www.google.com
Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 254) dalam masyarakat Islam Jawa, dikenal sembilan wali yakni Sunan Giri, Sunan Cirebon, Sunan Gesang, Sunan Majagung, Syaikh Lemah Abang, Sunan Undung, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Sunan Kalijaga.
Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 136) sebenarnya Wali Songo adalah nama suatu dewan dakwah atau dewan mubaligh. Apabila salah seorang dari dewan tersebut pergi atau meninggal dunia, maka akan segera diganti oleh wali lainnya. Seperti tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yang penulisnya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Wali Songo melakukan sidang tiga kali, yaitu: tahun 1404 M adalah sembilan wali, tahun 1436 M masuk tiga wali mengganti yang wafat, tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi.
Menurut KH. Dachlan Abd. Qohar dalam MB. Rahimsyah AR. (2006: 136), pada tahun 1466 M, Wali Songo melakukan sidang lagi membahas berbagai hal. Di antaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar, meninggalnya dua orang wali, yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi anggota Wali Songo.
Wali Songo yang merupakan nama sebuah dewan wali atau ulama dalam peranannya di Nusantara memiliki beberapa periode. Dan setiap periode pun juga memiliki anggota dewan wali yang memiliki perbedaan keanggotaan maupun jumlah anggota. Dan dari periode awal sampai akhir periode Wali Songo pun juga memiliki nama-nama tokoh yang berbeda pula. Dalam hal ini, periode Wali Songo dibagi menjadi lima periode.
Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 136-137) pada waktu Sultan Muhammad I memerintah Kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan Agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat (India). Dari mereka, Sultan mendapat kabar berita bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu, yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan. Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada para pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke Pulau Jawa. Maka berkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta mempunyai karomah.
Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006:137) pada tahun 808 Hijriah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1.      Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilo meter dari sebelah utara Pabrik Semen Gresik.
2.      Maulana Ishak, berasal dari Samarqand (dekat Buhara- Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesei, Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
3.      Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir. Beliau dakwah keliling. Makamnya di Trowulan, Mojoketo Jawa Timur.
4.      Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko), beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5.      Maulana Malik Isro'il, berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
6.      Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran), ahli pengobatan. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gnung Santri.
7.      Maulana Hasanudin, berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat tahun 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
8.      Maulana Aliyudin, berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya di samping Masjid Banten Lama.
9.      Syekh Subakir, berasal dari Persia, Ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Dengan adanya tumbal itu jin-jin tadi akan menyingkit dan tanah yang ditumbali dijadikan Pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali, maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir meninggal dunia ketika beristirahat di daerah Blitar. Hingga sekarang makam pengikut Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar Jawa Timur. Di sana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
Pada periode kedua, masuklah tiga orang wali yang menggantikan tiga wali yang wafat, yaitu Raden Ahmad Ali Rahmatullah yang berasal dari Cempa yang datang ke Jawa pada tahun 1421 menggantikan Malik Ibrahim; Sayyid Ja’far Shodiq yang berasal dari Palestina yang datang di Jawa tahun 1436 M menggantikan Malik Isro’il, beliau tinggal di Kudus dan dikenal dengan Sunan Kudus; Syarif Hidayatullah yang berasal dari Palestina yang datang di Jawa pada tahun 1436 M menggantikan Maulana Ali Akbar. Sidang Wali Songo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya (MB. Rahimsyah AR., 2006: 138).
Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Wali Songo, yaitu Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin, karena tinggal di Giri maka beliau lebih dikenal dengan Sunan Giri; Raden Said atau Sunan Kalijaga yang merupakan putra Adipati Wilatikta dan beliau menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia; Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang yang merupakan putra Sunan Ampel menggantikan Maulana Hasanuddin; Raden Qasim atau Sunan Drajad  yang juga putra Sunan Ampel menggantikan Maulana Allyuddin. Sidang Wali Songo yang ketiga ini berlangsung di Ampel Denta (Asnan Wahyudi dan Abu Khalid M.A., 1993: 13-14).
Pada periode keempat, menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid M.A., (1993: 14) pada tahun 1466 M diangkat dua wali yang menggantikan dua wali yang telah wafat, yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Al-Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya adalah Raden Hasan atau Raden Fattah (Raden Patah) yang merupakan murid Sunan Ampel dan putra Raja Brawijaya Majapahit[1], beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M, kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 M dan dinobatkan menjadi Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468; Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati yang dipilih sebagai anggota Wali Songo untuk membantu ayahnya yang telah berusia lanjut.
Pada periode kelima, menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 140) dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat. Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah seorang anggota Wali Songo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama, maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah bertobat dan menjadi murid Sunan Kalijaga.
Namun, pada masyarakat umum, Wali Songo yang dikenal adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Namun lebih menekankan kembali bahwa Wali Songo adalah sebuah dewan ulama atau dewan wali yang sebenarnya keanggotaannya pun tidak selalu sama dari periode ke periode, tidak hanya sembilan wali yang umumnya kita ketahui, padahal wali-wali sebelumnya sudah ada dan merupakan dewan wali atau ulama Islam.
2.2.Posisi Wali Songo pada Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Wali Songo dalam posisinya dalam kerajaan dapat dikatakan juga sebagai ulama kerajaan, namun juga adalah sebagai juga penentu atau penasihat agama Islam. Selain itu juga ketika penyebaran Islam dengan merebut kekuasaan, para wali juga ikut berperan dalam bidang politik kenegaraan.
De Graaf dan Pigeaud (1986:77) menjelaskan bahwa Sebagai ahli dan penegak hukum fiqh (= fakih) di Demak yang beragama Islam itu, sudah tentu bertindak seorang kiai dari kalangan alim ulama. Jabatan pemangku hukum syariat dan fungsi pemimpin masjid (imam), sudah sejak permulaan zaman Islam di Jawa berhubungan erat. Gelar “panghulu” (kepala), yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak, mungkin suatu bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh juga di bidang hukum.
Tentang Sunan Gunung Jati yang merupakan seorang Panglima Tentara Demak. Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan panglima Demak itu adalah orang yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati, menjadi jelas karena adanya berita dari kronik Tionghoa dari klenteng Talang yang bertarikh tahun 1552. Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa Faletehan atau Sunan Gunung Jati pada tahun 1526, ketika dikirim oleh Sultan Trenggono ke Cirebon dan Sunda Kelapa adalah panglima perang. Sama sekali ia bukan seorang ulama.
Tentang agama Islam di Demak, menurut Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa Sultan Demak beserta pengikutnya memeluk agama Islam madzhab Hanafi, seperti yang diajarkan oleh Sunan Ngampel alias Bong Swi Hoo.
Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 258) menjelaskan tentang Sunan Giri, diceritakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa ia dalam menghadapi bala tentara Majapahit hanya melemparkan kalamnya. Dalam Serat Kanda, diceritakan bahwa Sunan Cirebon memberikan badong kepada panglima tentara Demak yang melawan tentara Majapahit. Tentang Sunan Bonang, diceritakan bahwa ia berupa empat memenuhi kiblat, ketika ia menghadapi Raden Said yang membegalnya di tengah jalan.

2.3.Peranan politik Wali Songo dalam kehidupan bernegara Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

Bahwa Demak merupakan tempat penting dilihat dari segi agama Islam dapat disimpulkan berdasarkan cerita bahwa wali-wali di Jawa berpusat di masjid keramat Demak, yaitu yang menurut cerita tersebut didirikan oleh wali itu secara bersama-sama” (Supratikno R. dan Wiwin D.R., 1997: 62).
Peranan Wali Songo dalam politik Kerajaan Demak salah satunya, Imron Abu Amar (1996: 23-24) menjelaskan bahwa dalam buku Babad Demak disebutkan, bahwa Sunan Giri tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto sendiri telah tercemar pribadinya karena tertuduh membunuh Pangeran Sedo Lepen. Sedang suara Sunan Kudus lain lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati Jipang), karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) lansung Sultan Demak dari garis keturunan yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani. Lain halnya dengan Sunan Kalijaga, beliau ini mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga dengan nama “Djoko Tingkir”, ia adalah manantu Sultan Trenggono. Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap diri Pangeran Hadiwijaya ini disertai alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan (kerajaan) Islam Demak akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada di pedalaman (di Pajang). Sikap dan pendapat Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena Sunan yang satu ini berpendapat apabila kegiatan pengembangan Islam berpusat di pedalaman (di Pajang) sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia , terutama menyangkut bidang Tasawwuf besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “Mistik” atau Klenik. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Pangeran Hadiwijaya.
De Graaf dan Pigeaud (1986: 263-264) menjelaskan bahwa, mengenai asal riwayat hidup Sultan Pajang, yang telah melanjutkan kekuasaan dinasti Demak atas Jawa Tengah, buku-buku cerita (serat kandha) dan babad memuat banyak cerita. Pada pokoknya, isinya mengatakan bahwa ia putra raja Pengging terakhir yang dibunuh oleh Sunan Kudus. Waktu masih kecil bernama Mas Karebet karena pada saat lahirnya wayang beber[2] sedang  dipertunjukkan di rumah ayahnya. Pada masa remaja ia bernama Jaka Tingkir, sesuai dengan nama Tingkir, tempat ia dibesarkan.
Menurut cerita Mataram, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan Kalijaga dari Kadilangu, yaitu orang suci yang di Jawa Tengah bagian selatan dianggap yang terpenting di antara sembilan wali” (De Graaf dan Pigeaud, 1986: 265).
Dalam bidang politik peranan Wali Songo  yang sangat kelihatan adalah tentang Wali Songo yang menghukum Syaikh Siti Jenar. Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa Syaikh Siti Jenar telah dikenakan hukuman bakar karena dituduh menyelewengkan ajaran agama Islam, membeberkan rahasia yang seharusnya disimpan baik-baik. Terbukti bahwa pembesar-pembesar di wilayah kerajaan Majapahit yang memeluk Islam aliran Syi’ah tidak mau tunduk kepada Sultan Demak. Mereka membentuk kekuatan  baru yang mengincar Kesultanan Demak. Mereka menguasai daerah-daerah sempit beserta rakyatnya, bebas dari kekuasaan Demak.
De Graaf (1985: 97) menjelaskan bahwa satu-satunya petunjuk kronologis yang mungkin dapat diperoleh dalam Babad Tanah Jawi ialah fakta bahwa pemimpin Demak yang turut serta dengan ekspedisi terhadap Giri (1589?) masih bergelar Adipati, sedangkan orang yang turut serta dengan ekspedisi ke Kediri (1591) hanya disebut sebagai Bupati. Maka, tahun 1590 dapat diperkirakan sebagai jatuhnya Kerajaan Demak.












BAB III
PENUTUP
Wali Songo yang merupakan nama sebuah dewan wali atau ulama dalam peranannya di Nusantara memiliki beberapa periode. Dan setiap periode pun juga memiliki anggota dewan wali yang memiliki perbedaan keanggotaan maupun jumlah anggota. Dan dari periode awal sampai akhir periode Wali Songo pun juga memiliki nama-nama tokoh yang berbeda pula. Dalam hal ini, periode Wali Songo dibagi menjadi lima periode. Dari beberapa periode tersebut, nama-nama wali dalam Wali Songo banyak sekali dan dari periode ke periode juga selalu ada pengganti wali yang meninggal dunia atau pergi. Nama-nama Wali Songo tersebut adalah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al Maghrobi, Maulana Malik Isro'il, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanudin, Maulana Aliyudin, Syekh Subakir, Raden Ahmad Ali Rahmatullah, Sayyid Ja’far Shodiq, Syarif Hidayatullah, Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin, Raden Said atau Sunan Kalijaga, Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Qasim atau Sunan Drajad, Raden Hasan atau Raden Fattah (Raden Patah), Fathullah Khan, Sunan Muria atau Raden Umar Said.
Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah seorang anggota Wali Songo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama, maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah bertobat dan menjadi murid Sunan Kalijaga.
Namun, pada masyarakat umum, Wali Songo yang dikenal adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.
Peranan Wali Songo dalam bidang politik sebenarnya sangat menonjol, namun juga pada akhir hayatnya kemungkinan lebih berperan dalam menyiarkan agama Islam dari pada politik, sehingga dalam kenyataan sekarang banyak orang yang tahu hanya bahwa Wali Songo tersebut merupakan penyebar agama Islam di Nusantara khususnya di Jawa. Namun juga pada mulanya Wali Songo sendiri memang bertujuan untuk mengislamkan Jawa, dan seiring dengan perkembangan, Wali Songo juga berperan dalam politik Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.

















DAFTAR RUJUKAN
Amar, Abu Imron. 1996. Sejarah Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus.
AR., MB. Rahimsyah. 2006. Kisah Syekh Siti Jenar. Surabaya: Gali Ilmu.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. 1971. Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Asnan Wahyudi dan Abu Khalid M.A.1993. Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam Di Tanah Jawa. Surabaya: Karya Ilmu.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Graaf , H. J. De. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafiti Pers.
Hariwijaya, M. 2007. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Insan Muda.
H. J. Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
Salim, Abdul Mu’in. 1994. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Supratikno Rahardjo dan Wiwin Djuwita Ramelan. 1997. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.



[1]Raja Brawijaya V. Baca M. Hariwijaya, (2007: 26). Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Insan Muda.
[2] Wayang Beber adalah suatu pertunjukan yang berfungsi sebagai upacara suci karena pada umumnya, wayang dianggap sebagai ciptaan orang-orang suci dalam agama Islam.

2 komentar: