Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Mei 2013

PERANAN ULAMA ISLAM DALAM BIDANG POLITIK SEJAK MASA MAJAPAHIT HINGGA AWAL BERDIRINYA KERAJAAN ISLAM DI JAWA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Membahas tentang politik, sebenarnya dengan jelas mulai hal yang terkecil memang ada pada diri manusia rasa untuk berkuasa. Dan konsep berkuasa tersebut ada hubungannya dengan politik. Profesor Miriam Budiardjo (2008: 13) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loj jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life.
Menurut Abdul Mu’in Salim (1994: 34-35), Politik diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negaral lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. Ada dua kecenderungan pendefisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah; kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau dengan konflik.
Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1971: 13) menjelaskan bahwa tata aturan Islam itu adalah tata-aturan yang bersifat politik dan bersifat agama. Hal itu adalah karena hakikat Islam melengkapi segi-segi kebendaan (maddijah) dan segi-segi kejiwaan (ruhijah) dan dia mencakup segala amal insani dalam kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah. Sebenarnya falsafah Islam adalah falsafah yang mencampurkan antara urusan-urusan dunia dengan urusan akhirat yang jalin-menjalin yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Karena itu, kedua segi itu menyusun suatu kesatuan yang harmonis.
Menurut Profesor Miriam Budiarjo (2008: 25-27), sejak dahulu kala ilmu politik erat hubungannya dengan sejarah dan filsafat. Sejarah merupakan alat yang paling penting bagi ilmu politik, oleh karena menyumbang bahan, yaitu data dan fakta dari masa lampau, untuk diolah lebih lanjut. Perbedaan pandangan antara ahli sejarah dan sarjana ilmu politik ialah bahwa ahli sejarah selalu meneropong masa lampau dan inilah yang menjadi tujuannya, sedangkan sarjana ilmu politik biasanya lebih melihat ke depan (future oriented): Bahan mentah yang disajikan oleh ahli sejarah, teristimewa sejarah kontemporer, oleh sarjana ilmu politik hanya dipakai untuk menemukan pola-pola ulangan (recurrent partterns) yang dapat membantu untuk menentukan suatu proyeksi masa depan. Ilmu politik terutama sekali erat hubungannya dengan filsafat politik, yaitu bagian dari filsafat yang menyangkutn kehidupan politik terutama mengenai sifat hakiki, asal mula dan nilai (value) dari negara.
Kuntowijoyo (2003: 174) menjelaskan bahwa pada mulanya politik adalah tulang punggung sejarah (politics is the backbone of history). Oleh karenanya, buku-buku teks sejarah berisi rentetan kejadian-kejadian mengenai raja, negara, bangsa, pemerintahan, parlemen, pemberontakan, kelompok-kelompok kepentingan (militer, partai, ulama, bangsawan, petani) dan interaksi antara kekuatan-kekuatan itu dalam memperebutkan kekuasaan.
Salah satu kerajaan yang besar di Nusantara pada masa lampau selain Kerajaan Sriwijaya adalah Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menjadi besar memiliki raja-raja yang besar juga sampai pada akhirnya runtuhlah kekuasaan Kerajaan Majapahit dan lahirlah Kerajaan-kerajaan Islam mulai dari Demak sampai Mataram. Dalam perjalanan kehidupan Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram Islam, peran ulama dalam bidang politik kemungkinan berperan besar, walaupun pada dasarnya Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang beragama Hindu dan memang setelah Kerajaan Majapahit runtuh, muncullah Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam berdiri juga sangat dipengaruhi oleh peran besar dari para ulama-ulama Islam, yang pada waktu itu yang terkenal dengan ulama Wali Songo.
Peranan Ulama Islam dalam bidang politik sejak awal Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram dapat dikatakan tidak bisa dipandang sebelah mata dan dapat dikatakan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam pemerintahan. Pada makalah ini dibatasi hanya pada kerajaan Majapahit dan perkembangannya, serta kerajaan-kerajaan Islam yang dibatasi pada kerajaan-kerajaan Islam khususnya di Jawa. Karena apabila kita lihat, dari Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram sangat berkaitan dan berhubungan sekali. Raja-raja yang menjabat juga masih ada ikatan saudara. Raja-raja Islam di Jawa pada dasarnya juga adalah keturunan dari raja-raja Majapahit, dapat dikatakan bahwa kerajaan-kerajaan Islam di Jawa adalah pewaris tahta Kerajaan Majapahit.
Dari paparan di atas, perlu dikaji tentang peranan Ulama Islam sejak Masa Awal Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram Islam. Dan yang mungkin kurang banyak kita ketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada sejak masa awal Kerajaan Majapahit, hal ini mungkin dikarenakan bahwa Kerajaan Majapahit terkenal sebagai kerajaan Hindu yang besar. Padahal, apabila kita lihat dari berbagai sumber sejarah, peranan Ulama Islam tidak dapat dikatakan kecil dalam pemerintahan Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh yang kemudian diteruskan oleh Kerajaan Demak dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang dapat dikatakan merupakan pewaris Kerajaan Majapahit.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peranan Ulama Islam pada Masa Awal Kerajaan Majapahit?
2.      Bagaimana peranan Ulama Islam pada Masa Akhir Kerajaan Majapahit?
3.      Bagaimana peranan Ulama Islam pada Masa Awal Berdirinya Kerajaan Islam di Jawa?
1.3.Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui peranan Ulama Islam pada Masa Awal Kerajaan Majapahit.
2.      Mengetahui peranan Ulama Islam pada Masa Akhir Kerajaan Majapahit.
3.      Mengetahui peranan Ulama Islam pada Masa Awal Berdirinya Kerajaan Islam di Jawa.















BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Peranan Ulama Islam pada Masa Awal Kerajaan Majapahit.
Tanpa kita sadari bahwa sebenarnya Islam telah datang ke Nusantara sudah sejak zaman Rosulullah atau sejak zaman Islam lahir. M.C. Ricklefs (2008: 3) menjelaskan bahwa tampaknya para pedagang Muslim sudah ada di sebagian wilayah Indonesia selama berabad-abad sebelum Islam menjadi agama yang mapan dalam masyarakat-masyarakat lokal. Kapan, mengapa, dan bagaimana konversi penduduk Indonesia ini mulai terjadi telah diperdebatkan oleh beberapa ilmuan. Tetapi kesimpulan pasti tidak mungkin dicapai karena sumber-sumber sejarah yang ada tentang islamisasi sangat langka dan sering tidak informatif.
Bukti yang paling dapat dipercaya mengenai penyebaran Islam dalam suatu masyarakat lokal Indonesia adalah berupa prasasti-prasasti Islam (kebanyakan batu-batu nisan) dan sejumlah catatan para musafir (M.C. Ricklefs, 2008: 4). Serangkaian batu nisan yang sangat penting ditemukan di kuburan-kuburan di Jawa Timur, yaitu di Trawulan dan Tralaya, di dekat situs istana Majapahit yang Hindu-Budha. Batu-batu itu menunjukkan makam orang-orang Muslim, tapi dengan satu pengecualian, semua tarikhnya menggunakan tahun Saka India bukan tahun Hijriah Islam dan menggunakan angka-angka Jawa Kuno bukannya angka-angka Arab. Tarikh Saka dipakai oleh istana-istana Jawa dari zaman Jawa Kuno hingga tahun 1633 M. Digunakannya tarikh ini dan angka-angka tahun Jawa Kuno pada batu-batu nisan itu menunjukkan bahwa makam-makam itu, hampir dapat dipastikan, merupakan tempat dimakamkannya orang-orang Muslim Jawa, bukan Muslim non-Jawa (M.C. Ricklefs, 2008: 6). Apabila kita kaji dari paparan tersebut, kemungkinan masyarakat Muslim Jawa sudah ada pada zaman Majapahit dan adanya sikap toleransi beragama pada masa Majapahit, dalam arti Majapahit memberikan kebebasan memeluk agama Islam di kerajaan Majapahit di tengah masyarakat Majapahit yang beragama Hindu-Buddha.
Gambar 1. Surya Majapahit yang juga banyak ditemukan di situs-situs Trowulan.
Sumber: www.google.co.id.
Menurut M.C. Ricklefs (2008: 7-8) batu-batu nisan Trawulan dan Trayala membuat kita harus meragukan pendapat yang pernah dikemukakan oleh para ilmuan bahwa agama Islam berasal dari daerah pesisir Jawa, dan pada mulanya merupakan suatu kekuatan agama dan politik yang menentang Majapahit. Tidak perlu disangsikan bahwa Majapahit yang mempunyai hubungan politik dan perdagangan yang sangat luas di luar Jawa, telah berjumpa dengan pedagang asing yang beragama Islam.
Mari kita kembali mengingat sejarah awal berdirinya Kerajaan Majapahit. Raja pertama Kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya yang merupakan anak menantu dari Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari. Yang di kemudian hari Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit di hutan Tarik atau sekarang kemungkinan bernama Krian. Dalam berbagai sumber sejarah dijelaskan bahwa Raden Wijaya membelot dengan Raja Kertanegara, namun dalam berbagai sumber juga tidak dijelaskan alasan apa mengapa Raden Wijaya membelot kepada Raja Kertanegara. Seandainya Raden Wijaya tidak membelot, kemungkinan besar Raden Wijaya dapat menggantikan mertuanya sebagai Raja Singhasari, namun anehnya Raden Wijaya malah membelot.
Apabila kita kaji jauh lebih dalam dengan gaya yang berbeda dari sumber-sumber sejarah tersebut, kemungkinan kita mendapatkan pandangan baru tentang alasan Raden Wijaya membelot dengan ayah mertuanya. Abdurrahman Wahid (2010: 2) menjelaskan bahwa dalam setiap sumber sejarah, selalu disebutkan bahwa ia (Raden Wijaya) mendirikan negara Majapahit dengan bantuan Angkatan Laut China yang mengirimkan perahu-perahunya melalui sungai Brantas ke Tarik[1]. Padahal kita juga tahu bahwa Angkatan Laut China sepenuhnya diisi oleh orang-orang Muslim. Karena itu, salahkah kita kalau lalu menyimpulkan bahwa pertentangan Raden Wijaya dan mertuanya (Raja Kertanegara) karena perbedaan agama?
Kemungkinan saja itu benar dan dapat juga kita nalarkan, bahwa mengapa Raden Wijaya harus membelot kepada ayah mertuanya sendiri padahal Raden Wijaya pun dapat juga menggantikan tahta Kerajaan Singhasari dari mertuanya yaitu Raja Kertanegara, baik karena memang menggantikan menjadi Raja Singhasari dengan legitimasi dari Raja Kertanegara maupun seandainya Raden Wijaya tidak dapat menjadi Raja Singhasari, Raden Wijaya pun dapat melakukan pemberontakan dan menjadi Raja Singhasari dan selanjutnya dapat meneruskan kebesaran kerajaan Singhasari yang sudah terkanal kebesarannya sampai mancanegara. Namun, mengapa Raden Wijaya setelah memberontak tidak melanjutkan kebesaran Kerajaan Singhasari namun malah mendirikan Kerajaan Majapahit di daerah Tarik, yang memang pada mulanya daerah Tarik tersebut adalah tanah perdikan yang dihadiahkan Raja Kertanegara kepada Raden Wijaya.
Kita tahu, bahwa Kertanegara adalah penganut paham Bhairawa (dalam istilah sekarang Birawa, yaitu campuran antara Agama Buddha dan Hindu). Campuran itu adalah hasil pertempuran/pertemuan antara Kerajaan Hindu Kalingga di Jawa Tengah dan Kerajaan Syailendra yang beragama Buddha. Dinasti Syailendra adalah pembangun Candi Borobudur. Dari perbenturan Hindu dan Buddha itu, lahirlah budaya campuran dengan agamanya sendiri, seperti tampak pada Candi Prambanan, dekat Klaten. Ketika mereka dimusuhi kekuasaan yang ada (tidak jelas kaum Syailendra yang beragama Buddha atau kaum Kalingga yang beragama Hindu), maka pengikut agama campuran itu berpindah ke Jawa Timur di bawah pimpinan Darmawangsa di Kediri. Padahal kita tahu, Kerajaan Singhasari adalah kelanjutan dari kekuasaan Jenggala dan Daha di Kediri. Jadi, tak heran tradisi yang berkembang di Singhasari adalah Hindu dan Buddha (Abdurrahman Wahid, 2010: 2-3).
Apabila kita hubungkan dengan masalah perbedaan agama seperti yang dijelaskan di atas, kemungkinan kalau dilihat dari sisi agama dapat juga benar, namun hal ini hanyalah hipotesis sementara[2]. Kita lihat juga tentang kerjasama Raden Wijaya dengan Angkatan Laut China yang sepenuhnya diisi oleh orang-orang Muslim dalam pemberontakan kepada Raja Kertanegara, kemungkinan juga terjadi hubungan atau pengaruh Islam dari Angkatan Laut China kepada Raden Wijaya. Dan tidak mungkin juga seandainya masih baru mengenal namun sudah berani kerjasama dalam melakukan pemberontakan, jelas kepercayaan belum timbul seandainya baru mengenal. Abdurrahman Wahid (2010: 21-22) menjelaskan bahwa untuk mendirikan kerajaan baru itu, Raden Wijaya haruslah dibantu Angkatan Laut China yang saat itu menguasai Laut Jawa. Mereka adalah pelaut-pelaut Muslim dan mustahil mereka mau membantu Raden Wijaya meriskir kemarahan Kerajaan Singhasari, jika bahkan karena alasan agama yang mendorong mereka untuk malakukan hal itu. Yaitu, Raden Wijaya adalah juga seorang Muslim[3]. Memang tidak ada prasasti yang membuktikan hal ini, tapi pertimbangan-pertimbangan akal mendorong kita ke arah penafsiran tersebut.
Gambar 1. Laksamana Cheng Ho yang merupakan Angkatan Laut Cina yang seorang Muslim yang datang ke Nusantara.
Sumber: www.google.co.id.
Menurut Boechori dalam Abdurrahman Wahid (2010: 22), dalam abad ke-10 telah ada komunitas Muslim di Gresik, tak jauh dari Desa Tarik. Masyarakat itu didirikan oleh Fatimah binti Maimun di Desa Leran, dekat Gresik. Mustahil dalam masa tiga abad tidak ada perkembangan Islam sama sekali. Apalagi dalam kitab Al-Kawatib al-Lammaah juga disebutkan bahwa ada Sayyid Jamaluddin Husain, kakek dari Sunan Ampel, yang sekurun dengan masa sekitar hidupnya Gadjah Mada. Tentu Sayyid Jamaluddin Hisain ini—pembangunan Surau yang kemudian didampingi Klentheng di Gunung Kawi—adalah pejuang yang mengingingkan tegaknya masyarakat Islam di Tanah Jawa.
Dari paparan di atas, dapat kita ketahui bahwa berarti ternyata sudah ada komunitas Muslim di tengah-tengah mayoritas masyarakat Hindu-Buddha (Bhairawa) dalam Kerajaan Majapahit. Walaupun pada masa ini kemungkinan masyarakat Muslim masih minoritas di kalangan masyarakat Kerajaan Majapahit. Namun juga kemungkinan masyarakat Muslim telah berbaur atau berhubungan baik dengan masyarakat Hindu-Buddha (Bhairawa) Majapahit.
Ini berarti, telah marasuknya masyarakat baru yang mendambakan kemajuan negeri dan perkembangan teknologi, di tengah-tengah kesibukan para raja Majapahit untuk memperluas kekuasaan mereka melalui peperangan. Jadi pantas jika masyarakat Muslim yang menjadi alternatif itu tampak menarik bagi masyarakat Majapahit pada saat itu. Jadi dugaan bahwa orang banyak bosan dengan sikap Raja-raja Singhasari dan beberapa Raja Majapahit, serta mencari alternatif dengan menyusupnya sejumlah kaum Muslimin ke dalam istana Majapahit merupakan sebuah hipotesis yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis. Apalagi kalau dihubungkan dengan bantuan Angkatan Laut China yang beragama Islam yang menguasai perairan antara Madagaskar, dekat Benua Afrika, dan Ascension (Pulau Tahiti) yang terletak di kawasan Pasifik (Abdurrahman Wahid, 2010: 23).

2.2.Peranan Ulama Islam pada Masa Akhir Kerajaan Majapahit.
Menurut Abdurrahman Wahid (2010: 65) menjelaskan bahwa tanah pekuburan Troloyo berada tak jauh dari tanah pekuburan Trowulan, dekat Brangkal (Mojokerto). Pekuburan tanah Trowulan menyimpan kuburan Brawijaya V, permaisurinya, Kencana Wungu, dan istri selirnya, Putri Cempa. Ternyata, menurut cerita tutur, Prabu Brawijaya V itu adalah seorang Muslim karena istri selirnya, yang berkebangsaan China dan berasal dari Cambodia itu adalah seorang Muslim pula. Dia adalah ibu dari Raden Fatah (Tan Eng Hoat), yang belakangan mendirikan Kesultanan Demak bersama dengan Maulana Ishak at-Tabarqi. Sebaliknya, tanah pekuburan Troloyo yang hanya satu kilometer jauhnya, juga menyimpan kuburan Syaikh Abdul Qahar (Maling Cluring), Kiai Usman Ngundung, Tan Kim Han (menantu Puteri Cempa) yang juga beragama Islam dan memiliki nama Arab Abdul Qadir Jaelani, dan masih banyak lagi pejuang-pejuang Muslim lainnya. Mereka gugur di tempat itu ketika menahan serbuan seorang Adipati Majapahit di Kediri, Kusuma Wardani, yang juga anak Brawijaya V. Adipati yang beragama Hindu-Buddha ini adalah orang yang tidak rela jika istana Majapahit dikuasai orang Islam, karenanya ia berusaha merebut tahkta dari tangan Brawijaya V dengan kekerasan. Adipati inilah yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Brawijaya VI, raja terakhir Majapahit. Sedangkan Prabu Brawijaya V meninggalkan istana dan bertapa di Gunung Lawu dan sekarang terkenal dengan nama Sunan Lawu. Data sejarah yang dikemukakan cerita tutur ini kemudian diperkuat dengan data sejarah lain, yaitu prasasti yang ditemukan Dr. Habib dari IKIP Malang. Menurut prasasti ini, pada tahun sangkala sirna ilang kertaningbumi (tahun 1400 Saka, menurut empu Prapanca), telah diberikan gelar Romo Bayan Ampel oleh Brawijaya V atas meninggalnya seorang dari Desa Ampel di Surabaya. Ini berarti gelar yang diberikan kepada Sunan Ampel (salah satu wali sembilan) oleh seorang Muslim pula.
Namun, menurut Dr. Noorduyn dalam H. J. De Graaf (2004: 194) tentang raja-raja dan ratu Majapahit bahwa dinasti itu tidak berakhirpada tahun 1478 (Shaka 1400) dengan jatuhnya ibukota seperti yang biasa diduga. Dinasti ini masih tetap ada sampai tahun 1527, tahun akhir penyerbuan terakhir yang dipimpin oleh tokoh Muslim fanatik dari Kudus terhadap keraton raja dan para pangeran yang setia terhadap Majapahit.
Menurut Suharni (1991: 10) keberadaan Islam semakin lama makin mantap karena situasi politik pada saat itu sangat memungkinkan Islam berkembang. Untuk mempercepat proses Islamisasi maka didirikanlah masjid-masjid atau langgar dan pesantren untuk dibekali dengan masalah-masalah keagamaan. Kondisi politik pada akhir kekuasaan Majapahit membantu mempercepat Islam berkembang di pulau Jawa, Majapahit sudah mulai melemah. Dengan demikian, maka kondisi politik Pulau Jawa menjadi labil. Kondisi yang demikian ini dimanfaatkan dengan baik oleh para penguasa pesisir untuk mendirikan pemerintahan sendiri.
Setelah jatuhnya Majapahit, kondisi keraton Majapahit menjadi terlantar. Hal tersebut mendorong Pati Unus untuk memindahkan pusaka-pusaka kerajaan Majapahit ke Demak, di antaranya berupa 8 tiang pendapa yang kemudian ditempatkan dalam serambi Masjid Demak (Imron Abu Amar, 1996: 19).
Gambar 3 . Tiang-tiang Serambi Masjid Demak yang Berasal dari Keraton Majapahit.
Sumber: Amar, Abu Imron. 1996. Sejarah Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus.
Magnis-Suseno (2001: 30) mengemukakan bahwa pada tahun 1475 Masehi Majapahit diserang oleh Demak yang beragama Islam. Sehingga pada permulaan abad 16 Masehi jejak terakhir Majapahit menghilang dalam kegelapan sejarah.

2.3.Peranan Ulama Islam pada Masa Awal Berdirinya Kerajaan Islam di Jawa.
Suharni (1991: 12) menjelaskan bahwa pada abad XV di Pulau Jawa terjadi pergeseran pusat aktivitas politik dari daerah pedalaman yang bercorak Hindu-Budha bergeser ke daerah pesisir utara Pulau Jawa dengan corak Islam. Bagi kepala-kepala pemerintahan wilayah pesisir utara Pulau Jawa, Islam bukan saja dipandang sebagai agama, tetapi juga sebagai sarana untuk mendapatkan legitimasi politik. Hal ini terbukti dengan pemakaian gelar yang disesuaikan dengan Islam, misalnya Sultan, Sunan, Adipati, atau gelar yang lain. Di samping itu, pada zaman Hindu-Budha pelantikan (penobatan) raja dilaksanakan oleh seorang Biksu atau Brahmana tetapi pada zaman Islam hal-hal semacam itu dilaksanakan oleh para Ulama atau Kyai. Masalah-masalah politik diseleseikan dengan jalan agama, begitu juga masalah-masalah kehidupan yang lain.
Perkembangan politik pesisir utara Pulau Jawa di bawah kekuasaan Islam mulai tampak jelas pada abad XV, yaitu ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak di Jawa Tengah (Suharni, 1991: 12). Kerajaan Demak semula adalah sebuah kadipaten yang  merupakan kadipaten wilayah kerajaan Majapahit (pada masa pemerintahan Brawijaya V/Kertabumi). Sebelum berstatus kadipaten Demak lebih dikenal orang dengan nama “Glagah Wangi” yang menjadi wilayah kadipaten Jepara dan merupakan satu-satunya kadipaten wilayah Majapahit yang adipatinya memeluk agama Islam (Imron Abu Amar, 1996: 13-14).
Kerajaan Islam di Jawa dalam hal ini Demak, tidak lepas dari peranan Ulama Islam, yaitu Wali Songo. Dan Raja pertama Demak pun juga merupakan anggota dari Wali Songo. Menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid M.A., (1993: 14) pada tahun 1466 M diangkat dua wali yang menggantikan dua wali yang telah wafat, yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Al-Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya adalah Raden Hasan atau Raden Fattah (Raden Patah) yang merupakan murid Sunan Ampel dan putra Raja Brawijaya Majapahit[4], beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M, kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 M dan dinobatkan menjadi Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.
Elit politik dan elit agama menduduki tempat yang khusus dalam pemerintahan kerajaan Demak. Penyebutan gelar “Sultan” bagi raja-raja Demak sebagaimana diceritakan oleh babad-babad tradisi, memberi petunjuk bahwa raja, keculi sebagai pimpinan politik, juga sebagai pimpinan agama (Supratikno R. dan Wiwin D.R., 1997: 61). Sedangkan dalam Babad Tanah Jawi Patih Demak diberi nama “Mangkurat”.
Bahwa Demak merupakan tempat penting dilihat dari segi agama Islam dapat disimpulkan berdasarkan cerita bahwa wali-wali di Jawa berpusat di masjid keramat Demak, yaitu yang menurut cerita tersebut didirikan oleh wali itu secara bersama-sama” (Supratikno R. dan Wiwin D.R., 1997: 62).
De Graaf dan Pigeaud (1986:77) menjelaskan bahwa sebagai ahli dan penegak hukum fiqh (= fakih) di demak yang beragama Islam itu, sudah tentu bertindak seorang kiai dari kalangan alim ulama. Jabatan pemangku hukum syariat dan fungsi pemimpin masjid (imam), sudah sejak permulaan zaman Islam di Jawa berhubungan erat. Gelar “panghulu” (kepala), yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak, mungkin suatu bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh juga di bidang hukum.
Dapat dikatakan bahwa pada  pertengahan abad ke-16, Demak telah menguasai seluruh Jawa. Bagian pedalaman dari kerajaan Majapahit hampir semua telah menjadi daerah tahkluknya, sedangkan di bagian barat sebagian daerah Pajajaran, telah menjadi daerah yang ada di bawah pengaruhnya. Meskipun tidak mutlak, Cirebon juga ada di bawah Demak (Nugroho dan Marwati, 1984: 35).
De Graaf dan Pigeaud (1986:63) menjelaskan bahwa berdasarkan cerita-cerita tutur Jawa dari Cirebon, lebih-lebih dari buku-buku sejarah Banten, dapat diambil kesimpulan bahwa ibu kota Islam Demak telah menjadi titik tolak perjuangan pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16, untuk menyebarkan agama Islam, bahasa, dan kebudayaan Jawa di sepanjang pantai utara Jawa Barat.
Dalam bidang politik peranan Wali Songo  yang sangat kelihatan adalah tentang Wali Songo yang menghukum Syaikh Siti Jenar. Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa Syaikh Siti Jenar telah dikenakan hukuman bakar karena dituduh menyelewengkan ajaran agama Islam, membeberkan rahasia yang seharusnya disimpan baik-baik. Terbukti bahwa pembesar-pembesar di wilayah kerajaan Majapahit yang memeluk Islam aliran Syi’ah tidak mau tunduk kepada Sultan Demak. Mereka membentuk kekuatan  baru yang mengincar Kesultanan Demak. Mereka menguasai daerah-daerah sempit beserta rakyatnya, bebas dari kekuasaan Demak.










BAB III
PENUTUP
Penyebaran Agama Islam di Nusantara ternyata tidak hanya sejak masa-masa berdirinya Kerajaan-kerajaan Islam, namun ketika Kerajaan Majapahit berdiri bahkan akan berdiri, Ulama Islam juga sangat berperan dalam kehidupan politik kerajaan. Ulama Islam pun juga bebas menyebarkan agama Islam di tengah kehidupan beragama Hindu dan Buddha di Kerajaan Majapahit, dan kemungkinan sudah ada beberapa komunitas Islam dalam Kerajaan Majapahit. Dan apabila kita kaji, tidak mungkin suatu agama dapat berkembang pesat kalau tidak jauh-jauh sebelumnya ada dalam suatu komunitas. Keturunan dari Kerajaan Majapahit pun pada akhir kekuasaan Majapahit beragama Islam, yaitu Raden Patah yang beragama Islam dan mendirikan Kerajaan Demak.
Dari perjalanan Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Demak tidak jauh dari peranan Ulama Islam yang mempengaruhi kehidupan politik Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Demak tersebut. Jadi, Ulama Islam tidak hanya menyebarkan agama Islam namun juga berperan penting dalam kekuasaan politik kerajaan, baik Kerajaan Majapahit maupun Kerajaan Demak.











DAFTAR RUJUKAN
Amar, Abu Imron. 1996. Sejarah Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. 1971. Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
H.J. de Graaf, dkk. 2004. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Magnis-Suseno, F. 2001. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Salim, Abdul Mu’in. 1994. Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Supratikno Rahardjo dan Wiwin Djuwita Ramelan. 1997. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Suharni. 1991. Peran Adipati Pesisir Utara Pulau Jawa Dalam Penyebaran Islam Di Jawa Abad XVI. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.
Wahid, Abdurrahman. 2010. Membaca Sejarah Nusantara 25 Kolom Sejarah Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
www.google.co.id.


[1] Angkatan Laut China Muslim inilah yang—menurut perkiraan penulis membantu Raden Wijaya (dari Marga Oey atau Wie?)—mendirikan Kerajaan Majapahit. Mungkinkah Desa Tarik di kawasan Man yang didirikannya itu berasal dari kata-kata 77 tariqoh, yang berarti berarti sekte tasawuf (di negeri ini lebih dikenal dengan nama tarekat)? Baca Abdurrahman Wahid, 2010. Membaca Sejarah Nusantara 25 Kolom Sejarah Gus Dur. LkiS. Halaman 26.
[2] Bahwa bertentangan dengan mertuanya, Kertanegara, dari Singhasari hanya karena ambisi politik pribadi, bukan karena perbedaan agama, sejarahlah yang nanti akan menjawabnya. Baca Abdurrahman Wahid, 2010. Membaca Sejarah Nusantara 25 Kolom Sejarah Gus Dur. LkiS. Halaman 26.

[3] Jika Raden Wijaya adalah seorang Muslim, apakah ia tidak berasal dari keturunan Tionghoa, alias dari kaum Peranakan? Jika benar, nama Wijaya tentu menunjukkan marga yang dimilikinya, yaitu marga Oey atau Wie, yang dalam cabangannya juga disebut Wong atau Wang. Dan jika ini benar, tentu sangat menarik bahwa raja-raja terkemuka selalu menggunakan gelar Brawijaya (raja-raja Wijaya). Baca Abdurrahman Wahid, 2010. Membaca Sejarah Nusantara 25 Kolom Sejarah Gus Dur. LkiS. Halaman 26.

[4]Raja Brawijaya V. Baca M. Hariwijaya, (2007: 26). Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Insan Muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar