Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Mei 2013

PERKEMBANGAN PERKERETAAPIAN DI JAWA MASA KOLONIAL BELANDA



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Teknologi merupakan salah satu produk budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan guna mencapai suatu tujuan tertentu (Tim dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Malang, 2009: 166). Pembangunan juga tak bisa lepas dari perkembangan teknologi. Pembangunan teknologi  juga dapat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, pola pemikiran, serta adat kebudayaan di suatu tempat.
Di Indonesia yang pada masa-masa kolonialisme dikuasai oleh imperealisme Barat, khususnya Belanda juga sangat membawa dampak yang luas, apalagi dengan pembangunan-pembangunan berbagai teknologi di Indonesia yang mereka lakukan. Entah itu karena bertujuan untuk memang membangun Indonesia ataupun hanya untuk memperlancar mobilitas mereka di Indonesia.
Masyarakat Indonesia menganggap bahwa penjajahan oleh Belanda sangat membawa dampak buruk karena merasa dijajah. Banyak yang berpendapat atau banyak ditulis di buku-buku sekolah atau pun banyak dikatakan bahwa Belanda menjajah di Indonesia selama 350 tahun. Namun juga banyak yang mempertanyakan pernyataan tersebut. Benarkah Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab dan juga merupakan suatu yang relatif tergantung dilihat dari mana. Namun, apabila selama sekitar itu seharusnya Bahasa Belanda juga dikuasai oleh masyarakat Indonesia. Tapi dalam kenyataannya kita tidak menguasai atau tidak mau tahu dengan bahasa Belanda.
Rasa benci kepada Belanda ditanamkan kepada generasi penerus Bangsa Indonesia, sehingga pada kenyataannya kita menganggap bahwa Belanda di Indonesia hanya mengeruk kekayaan Indonesia. Hanya kekejaman yang terngiang diwariskan kepada generasi penerus Bangsa Indonesia. Sehingga, kebanyakan kita tidak sadar bahwa banyak pembangunan teknologi yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Padahal, sampai sekarang hasil pembangunan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda masih dapat kita rasakan atau masih banyak yang kita pergunakan.
Banyak warisan-warisan pembangunan teknologi dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia yang sampai saat ini masih kita gunakan, salah satunya adalah kereta api. Kereta api yang pada saat itu dijadikan sebagai alat transportasi massal, pada masa sekarang juga merupakan alat transportasi massal juga yang juga merupakan alat transportasi umum yang banyak digunakan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa.
Kereta api yang merupakan sebuah sarana transportasi massal yang sampai sekarang pun masih kita temui dan masih beroperasi di Jawa pada umumnya. Pembangunan jalur-jalur kereta api di Jawa tersebut kemungkinan merupakan salah satu cara dari Pemerintah Kolonial Belanda untuk memperlancar arus lalu lintas jalan dan perdangangan melalui transportasi kereta api. Serta kemungkinan untuk memperlancar mobilitas mereka di Jawa, karena juga Jawa merupakan pusat atau dianggap sebagai pulau yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan.

1.2.Rumusan Masalah
1.      Apa yang menjadi latar belakang pembangunan teknologi perkertaapian di Jawa?
2.      Bagaimana sejarah awal pembangunan teknologi perkeretaapian di Jawa?
3.      Bagaimana pengaruh adanya kereta api di Jawa pada masyarakat Jawa?

1.3.Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui latar belakang pembangunan teknologi perkertaapian di Jawa.
2.      Mengetahui sejarah awal pembangunan teknologi perkeretaapian di Jawa.
3.      Mengetahui pengaruh adanya kereta api di Jawa pada masyarakat Jawa.


















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Latar Belakang Pembangunan Teknologi Perkertaapian di Jawa.
Karena kepadatan penduduknya, kepadatan populasi di enam pusat konsentrasi penduduk, dan jarak antara pusat-pusat konsentrasi penduduk ini, pulau Jawa mempunyai potensi yang besar untuk layanan angkutan penumpang dengan kereta api. Layanan angkutan penumpang Pulau Jawa saat ini mencakup 95 persen dari total arus penumpang dalam jaringan kereta api Indonesia. Satu indikasi dari kinerja kereta api dalam angkutan penumpang pulau Jawa dapat dilihat dari pertumbuhan jarak (dalam kilometer) yang ditempuh oleh penumpang (Joris Van der Ven, 2009: 3).
Pada tahun 1840 keadaan transportasi di Jawa sempat mengkhawatirkan, karena banyak sapi dan kerbau yang mati akibat menarik beban melebihi kemampuannya dan terlalu jauhnya jarak yang harus ditempuh. Sebagai konsekuensinya, harga sapi nka i dengan drastis, juga dengan semakin naiknya biaya transportasi. Pada tahun 1833 ongkos angkut satu pikul kopi dari Kedu ke Semarang hanya F 3,3. Banyaknya sapi dan kerbau yang mati serta naiknya ongkos transporatsi tersebut, jelas hanya berpengaruh terhadap kelancaran pengangkutan pada waktu itu (Oma Sutarma, 1988: 18).
Menghadapi kenyataan ini, pemerintah Hindia-Belanda tidak tinggal diam. Ia meminta bantuan kepada menteri urusan penjajahan untuk mengatasi masalah transportasi ini. Atas permintaan itu, menteri urusan jajahan, J.C. Baud mendatangkan 40 ekor unta dari Teneriffe (sebuah kota di pinggir Afrika Barat) dan sejumlah keledai ke Jawa. Binatang-binatang tersebut dimaksudkan sebagai penarik kereta. Selain mendatangkan unta dan keledai, Baud juga mendatangkan 20 buah roda-roda bergerigi ke Jawa, lengkap dengan rel-relnya (Oma Sutarma, 1988: 19).
Sehubungan dengan kesulitan angkutan barang ini, maka pada tanggal 15 Agustus 1840, Kolonel Jhr. Van der Wijk mengajukan memo kepada pemerintah Hindia-Belanda, untuk membangun jaringan jalan kereta api. Dengan memasang jalur kereta api sepa njang pulau Jawa akan sangat menguntungkan baik dari segi ekonomi maupun segi militer. Jalur kereta api yang diusulkannya ini, akan membentang dari Surabaya melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung, terus ke Jakarta. Sebagai seorang militer, Wijk memandang perlu pembangunan kereta api untuk pertahanan. Ia mengajukan rencana ini sehubungan dengan masih banyaknya pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, khususnya di Jawa. Kemungkinan lain ialah adanya trauma dari  perang Diponegoro yang sempat merepotkan militer dan membobolkan keuangan Belanda. Usul Wijk ini mendapat dukungan dari J. Trom sebagai insinyur kepala bagian pengairan dan pembangunan yang menyarankan agar dibuatnya jalan kereta api dari Surabaya ke Cilacap (Oma Sutarma, 1988:21).

2.2.Sejarah Awal Pembangunan Teknologi Perkeretaapian di Jawa.
Menurut Siti Khoirun Nikmah dan Valentina Sri Wijiyati (2008: 4), Sejarah kereta api di Indonesia awalnya dibangun pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J. Baron Sloet van den Beele tahun 1864, di Desa Kemijen, Semarang. Lahirnya kereta api sekaligus juga menandai awal industrialisasi di Indonesia yang melahirkan kelas buruh perkebunan dan buruh pabrik, beriringan dengan masa awal perkembangan industri modern di Eropa. Ketika mengalami kebangkrutan ekonomi akibat perang Diponegoro (1825 – 1830), Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dengan mewajibkan penduduk pribumi menanam tanaman untuk pasar Eropa (tebu, kopi, nila, kapas, tembakau), disertai dengan pendirian pabrik gula. Saat itulah, kereta api dibangun dengan fungsi utama sebagai alat angkut (lori) tebu dan hasil perkebunan lainnya sampai tiga tahun pertama.
Menurut Rudolf Mrazek (2006: 10-11), dalam tahun 1842, tahun yang sama dengan terbitnya artikel Kopiist, dalam alur optimisme rekayasa yang sama, raja Nederland Belanda: “ Guna memajukan transportasi produk dan benda lain dari Semarang ke Kedoe, Wilayah Voorsten Landen di Jawa, dan sebaliknya, akan dibangun sebuah jalur rel kereta api dari besi “. Sebetulnya, dibutuhkan dua puluh lima tahun, setelah dekrit kereta api pertama dari raja untuk Hindia Belanda untuk membangun rel besi 25 kilometer yang pertama di tanah jajahan itu, dan dibutuhkan sepuluh tahun lagi untuk membangun 300 kilometer berikutnya---semuanya di Jawa. Dengan langkah-langkah berat dan lambat, bukan dengan nyaman sebagaimana disarankan oleh Kopiist, kereta api di Hindia Belanda akhirnya muncul.
Di tahun 1888, delapan jalur utama kereta telah beroperasi, semuanya di Jawa, dan kelima belas kota besar di pulau itu telah memiliki sambungan kereta api. Dalam bulan April 1899, sebuah trem listrik dibangun di Batavia, dan dalam tahun 1909, jalur-jalur trem di kota itu sudah sepanjang 14 kilometer. Seluruh tahun itu hanya ada satu kecelakaan fatal dilaporkan di jalur-jalur trem Batavia (Rudolf Mrazek (2006: 11).
Pelaksanaan pembangunan jaringan jalan kereta api ini baru dapat dilaksanakan pada tanggal, 7 Juni 1864, yang diawali dengan pencangkulan pertama oleh Gubernur Jenderal Sloet van der Beele di Semarang. Mengingat sarana dan prasarana yang untuk pembuatan jalur jalan ini masih sangat sederhana, ditambah lagi dengan keadaan medan yang cukup berat, maka pembangunannya berjalan lambat. Pada tahun 1867 baru selesai dibangun jalur jalan Semarang-Tanggung sepanjang 25 kilometer, dan pada tahun itu juga jalur tersebut dibuka untuk umum. Pada tahun yang sama telah selesai pula jalur Jakarta-Bogor yang dibangun sejak tahun 1869 (PNKA, 1970: 21-22).
Gambar 1. Jalur jalan Kereta Api pertama di Jawa antara Semarang dan Kedung Jati. Terlihat pada gambar stasiun Kereta api darurat, yang pertama di Jawa antara th. 1871.
Sumber: Handinoto. 1999. Perletakan Stasiun Kereta Api Dalam Tata Ruang Kota-kota Di Jawa (Khususnya Jawa Timur) Pada Masa Kolonial. Dimensi Teknik Arsitektur, 2 (27): 48-56.

Menurut Handinoto (1999: 48-49), Jaringan jalan kereta api di Jawa dibangun antara tahun 1870-an sampai tahun 1920-an. Sebenarnya gagasan pembangunan jalan kereta api di Jawa sudah muncul sejak th. 1840, tapi gagasan tersebut baru menjadi kenyataan pada tahun 1871. Jalur pertama jalan kereta api di Jawa adalah antara Semarang dengan Kedung Jati, yang diresmikan pada th. 1871. Kemudian disusul dengan jalur Batavia-Buitenzorg (Jakarta-Bogor) yang dibuka pada tahun 1873 dan menyusul jalur Surabaya-Pasuruan pada th. 1878. Pada th. 1884, diselesaikan jalur Buitenzorg-Bandung (Bogor-Bandung), dan kemudian disusul hubungan Surabaya-Solo dan Semarang. Sepuluh tahun kemudian pada tahun 1894, jalur jalan kereta api Surabaya-Batavia melalui Maos, Yogyakarta dan Solo berhasil diselesaikan. Dan pada tahun 1912 jalur alternatif kedua antara Surabaya-Batavia, melalui Cirebon dan Semarang berhasil diselesaikan. Sesudah itu jalur-jalur sekunder juga mulai dibangun. Di sebelah barat, diselesaikan jalur dari Anyer ke Labuan. Sedangkan di sebelah timur sampai Panji dan Banyuwangi.
Sudah sejak pertengahan 1920-an, bahkan rel-rel untuk  Jawatan Kereta Api Hindia Belanda diimpor dari Eropa. Pada awal 1940-an, sampai akhir era penjajahan Belanda, praktis semua peralatan teknis datang dari barat. Hanya beberapa bagian badan kereta, dan bantalan rel, terbuat dari katu jati dan kayu Asia lain. Banyak dan kebanyakan di sejumlah besar pekerja terampil jawatan kereta api dan pembangunan jalan adalah orang-orang Cina Hindia Belanda atau orang-orang pribumi yang didatangkan dari pulau lain atau bagian lain Pulau Jawa (Rudolf Mrazek, 2006: 16).
Dalam pembangunan jalan kereta api, kuli yang terlibat dapat dikatagorikan dalam tiga bentuk, yaitu kuli wajib, kuli bebas tetap dan kuli musiman. Orang-orang Cina pada umumnya bekerja sebagai kuli bebas tetap dan kuli musiman. Sedangkan orang-orang pribumi, selain menjadi kuli bebas tetap dan kuli musiman, mereka menjadi pula kuli wajib (Agus Mulyana, 2006: 8). Berbagai golongan tenaga kerja terlibat, mulai dari orang pribumi, Cina dan orang Eropa. Orang pribumi dan Cina kebanyakan mereka bekerja sebagai kuli. Sedangkan orang Eropa sebagai kepala cabang, mandor pekerja, pemborong dan teknisi (Agus Mulyana, 2006: 12).
Menurut Tjahjono Rahardjo (2008: 4) Semarang adalah satu-satunya kota besar di Jawa yang tidak dilayani Staatsspoorwegen (SS). Tapi sebaliknya Semarang dilayani oleh tiga perusahaan kereta api swasta terkemuka di masa itu: selain Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) juga Samarang- Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).
Jaringan kereta api di Jawa merupakan salah satu jaringan yang terlengkap di Asia 1 (Lombard, 1996: 139). Langkah selanjutnya dengan adanya jaringan kereta api tersebut adalah penempatan stasiun kereta api pada kota-kota yang dilewatinya. Kecenderungan yang paling mudah untuk perletakan stasiun kereta api adalah di pusat kota, supaya mudah di jangkau oleh penumpang dari berbagai penjuru kota. Tapi peruntukkan tanah dan lalu lintas ditengah kota yang sudah ada kadang-kadang merupakan kendala bagi perletakan bangunan stasiun yang belum terpikirkan sebelumnya. Penempatan stasiun kereta api di kota-kota di Jawa masa lalu pada umumnya berhasil dengan baik. Seperti stasiun kota di Bandung, Tegal, Probolinggo, Pasuruan, Malang, Jombang dan sebagainya. Keberhasilan penempatan ini juga didukung dengan sosok bangunannya sendiri yang berhasil memancarkan pesannya keseluruh penjuru kota sesuai dengan misi stasiun itu sendiri.
Gambar 2. Jaringan jalan Kereta Api pada th. 1888 dan th. 1925, di P. Jawa seperti yang terlihat di peta. Jaringan jalan Kereta Api di Jawa merupakan salah satu jaringan yang terlengkap di Asia pada jamannya.
Sumber: Handinoto. 1999. Perletakan Stasiun Kereta Api Dalam Tata Ruang Kota-kota Di Jawa (Khususnya Jawa Timur) Pada Masa Kolonial. Dimensi Teknik Arsitektur, 2 (27): 48-56.
Tiga tahun setelah mulai beroperasi di Indonesia, kereta api mulai digunakan untuk mengangkut penumpang. Pada masa itu, jaringan rel dibangun dengan cepat, sehingga tahun 1939, panjang rel telah mencapai 6.811 km. Pada tahun yang sama, jaringan kereta api telah melebar ke Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan (PT KAI 2007: 03), sehingga kereta api berkembang menjadi tulang punggung utama dalam sistem transportasi darat untuk mengangkut penumpang dan barang.
Rel sepanjang 26 km antara Keminjen-Tanggung yang dibangun tahun 1864 oleh Belanda, sebagai titik awal perkembangan kereta api di Indonesia. Seiring dengan kebutuhan angkutan hasil perkebunan dan distribusi barang, jaringan kereta api mulai merambat ke berbagai kota di pulau Jawa, bahkan di beberapa kota di pulau Sumatera (Soegijapranata, 2004: 1).











Gambar 3. Peta Jalur Kereta Api pada tahun 1925.
Sumber: www.google.co.id.
Menurut Soegijapranata (2004: 1) Sejak dioperasikan tahun 1864 hingga kemerdekaan 1945, pengelola kereta api di bumi Nusantara dikendalikan trio yakni Staat Spoorwegen (SS), Verenigde Spoorwegenbedrifj (VS) dan Deli Spoorwegen Mastschappij (DSM). Mereka berhasil menghantar kereta api sebagai salah satu alat transportasi yang dapat menjangkau banyak tempat dan kota. Serta yang terpenting, menjadi tulang punggung perekonomian yang mengandalkan ekspor hasil perkebunan waktu itu.

Gambar 4. Lintas utama kereta api terpenting dan jalan kereta api antar kota di Jawa Timur.
Sumber: www.google.co.id.

2.3.Pengaruh adanya kereta api di Jawa pada masyarakat Hindia Belanda.
Pada tahun 1882, menurut kata-kata sebuah komisi khusus dari Indisch Genootschap yang terpelajar, kereta api dan rel-rel kecil, yakni trem-trem, juga di Hindia Belanda, terbukti merupakan “yang paling bermanfaat dari temuan-temuan sekarang ini, kemenangan paling mengagumkan oleh manusia atas waktu dan jarak, intensif paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban (Rudolf Mrazek, 2006: 11).
Tetapi kereta api di Hindia Belanda, seperti di mana pun di dunia, memiliki daya tarik yang menajubkan. Barangkali kuda-kuda boleh dibuat tidak panik. Tetapi, segera setelah rel-relnya dipasang dan kereta api muncul, orang, di seluruh bentang alam, berbalik dan bergerak ke arah kereta. Di tahun 1883, sebuah terbitan resmi Belanda tentang jajahan Hindia Belanda zaman itu mengatakan: “Terutama penduduk asli sangat memanfaatkan keberadaan kereta api”. Ini menjadi sebuah apendiks tak terelakkan dari optimisme jalanan. Paling sering, ini sekedar tekanan yang ditaruh secara canggung (Rudolf Mrazek, 2006: 16-17).
Rudolf Mrazek (2006: 17) menjelaskan bahwa dalam 1904, sebuah komisi penyelidikan khusus pemerintah melaporkan bahwa jumlah penumpang di kelas satu (Eropa) kereta api Hindia Belanda naik sebesar 4.000 selama 3 tahun terakhir; di kelas dua (orang Eropa yang berpendapatan rendah dan pribumi kelas atas) jumlah penumpang naik 33.000, tidak begitu banyak sebenarnya. Di kelas tiga (Pribumi), bagaimanapun (atau kelas kambing, sebagaimana biasa disebut), kenaikan adalah 550.000! Komisi itu tidak menyembunyikan keterkejutannya: “Pemanfaatan kereta api dan trem oleh orang kecil/kleine man (istilah Belanda untuk rakyat, orang jalanan, pribumi) naik lebih cepat dari dugaan semula”.
Orang-orang kecil, pria dan wanita, dan anak-anak, tampaknya tidak gugup sewaktu jalur kereta menyentuh habitat mereka, tetapi tampaknya mereka pun tidak takjub pula atas teknologi modern itu. Sungguh, mereka tampak tidak terlalu banyak mengubah cara-cara tradisional mereka. Tampaknya mereka sekedar menambah sedikit pada tradisi itu. Secara pragmatis, secara massal, dan dengan pemanfaatan kereta secara efisien, logisnya, mereka tampaknya bergerak: alasan-alasan bepergian yang sifatnya ekonomis (pasar, mencari kerja) 69, 5 %; alasan-alasan bepergian yang sifatnya pribadi 30, 5 %; kunjungan kepada anggota keluarga lain 20, 8 %; hukum dan tatanan (panggilan ke kantor pemerintah atau pengadilan) 3,6 %; iman dan tradisi (kunjungan ke makam dan tempat suci lain) 3 %; bersenang-senang 3,1 % (Rudolf Mrazek, 2006: 17).
Menurut Rudolf Mrazek (2006: 17-18), Pribumi, sebagaimana didapati oleh keempat kondektur itu, memilih kereta api, terutama, karena memungkinakan mereka membawa bagasi gratis seberat 50 kilo atau lebih. Rakyat kecil Hindia Belanda bepergian bersama dengan kambing dan terkadang ayam mereka seperti biasanya, dan dengan berkantung-kantung pakaian serta makanan. Orang Madura (pulau di lepas pantai utara Jawa), menurut laporan itu, senantiasa dikenal sebagai echte zwerver, “pengelana sejati”. Namun sekarang, seperti dikatakan laporan itu, “semua pribumi sangat ingin menggunakan kereta dan trem untuk tujuan mereka sendiri”. Komisi itu menemukan pula bahwa pribumi dari kelas bawah, “rakyat sederhana”, massa sejati, lebih sering bepergian dan lebih bersemangat daripada pribumi kelas lebih atas, bangsawan pribumi, pribumi yang menjadi pegawai kolonial, elite yang didukung Belanda, yang menurut rencana ideal kerajaan itu, akan mewariskan cara-cara modern dengan cara teratur kepada rakyat koloni itu: “pemuka-pemuka pribumi (ternyata) jauh lebih hokvaster (lebih menyukai tinggal di rumah, harfiahnya: menyukai sisi perapiannya) daripasa rakyat kecil ... Rakyat kecil ... jauh lebih sering berpindah tempat tinggal daripada yang biasa dipikirkan orang”. Santri, murid dan pengajar Islam Hindia Belanda—yang lama dicurigai oleh pemerintah kolonial sebagai unsur subvertif dalam masyarakat pribumi, calon-calon pemimpin kerusuhan---sesungguhnya terbukti, menurut laporan para kondektur itu, merupakan salah satu segmen penduduk asli Hindia Belanda yang secara radikal lebih kerap menggunakan kereta dan trem daripada sisanya.










BAB III
PENUTUP
Di Indonesia yang pada masa-masa kolonialisme dikuasai oleh imperealisme Barat, khususnya Belanda juga sangat membawa dampak yang luas, apalagi dengan pembangunan-pembangunan berbagai teknologi di Indonesia yang mereka lakukan. Entah itu karena bertujuan untuk memang membangun Indonesia ataupun hanya untuk memperlancar mobilitas mereka di Indonesia. Salah satunya adalah dengan membangun sarana dan prasarana transportasi kereta api.
Pada tahun 1840 keadaan transportasi di Jawa sempat mengkhawatirkan, karena banyak sapi dan kerbau yang mati akibat menarik beban melebihi kemampuannya dan terlalu jauhnya jarak yang harus ditempuh. Sebagai konsekuensinya, harga sapi nka i dengan drastis, juga dengan semakin naiknya biaya transportasi. Pada tahun 1833 ongkos angkut satu pikul kopi dari Kedu ke Semarang hanya F 3,3. Banyaknya sapi dan kerbau yang mati serta naiknya ongkos transporatsi tersebut, jelas hanya berpengaruh terhadap kelancaran pengangkutan pada waktu itu
Sehubungan dengan kesulitan angkutan barang ini, maka pada tanggal 15 Agustus 1840, Kolonel Jhr. Van der Wijk mengajukan memo kepada pemerintah Hindia-Belanda, untuk membangun jaringan jalan kereta api. Dengan memasang jalur kereta api sepa njang pulau Jawa akan sangat menguntungkan baik dari segi ekonomi maupun segi militer. Jalur kereta api yang diusulkannya ini, akan membentang dari Surabaya melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung, terus ke Jakarta. Sebagai seorang militer, Wijk memandang perlu pembangunan kereta api untuk pertahanan. Ia mengajukan rencana ini sehubungan dengan masih banyaknya pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, khususnya di Jawa. Kemungkinan lain ialah adanya trauma dari  perang Diponegoro yang sempat merepotkan militer dan membobolkan keuangan Belanda. Usul Wijk ini mendapat dukungan dari J. Trom sebagai insinyur kepala bagian pengairan dan pembangunan yang menyarankan agar dibuatnya jalan kereta api dari Surabaya ke Cilacap.
Sejarah kereta api di Indonesia awalnya dibangun pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J. Baron Sloet van den Beele tahun 1864, di Desa Kemijen, Semarang. Lahirnya kereta api sekaligus juga menandai awal industrialisasi di Indonesia yang melahirkan kelas buruh perkebunan dan buruh pabrik, beriringan dengan masa awal perkembangan industri modern di Eropa. Ketika mengalami kebangkrutan ekonomi akibat perang Diponegoro (1825 – 1830), Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dengan mewajibkan penduduk pribumi menanam tanaman untuk pasar Eropa (tebu, kopi, nila, kapas, tembakau), disertai dengan pendirian pabrik gula. Saat itulah, kereta api dibangun dengan fungsi utama sebagai alat angkut (lori) tebu dan hasil perkebunan lainnya sampai tiga tahun pertama.
Pada tahun 1882, menurut kata-kata sebuah komisi khusus dari Indisch Genootschap yang terpelajar, kereta api dan rel-rel kecil, yakni trem-trem, juga di Hindia Belanda, terbukti merupakan “yang paling bermanfaat dari temuan-temuan sekarang ini, kemenangan paling mengagumkan oleh manusia atas waktu dan jarak, intensif paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban.
Tetapi kereta api di Hindia Belanda, seperti di mana pun di dunia, memiliki daya tarik yang menajubkan. Barangkali kuda-kuda boleh dibuat tidak panik. Tetapi, segera setelah rel-relnya dipasang dan kereta api muncul, orang, di seluruh bentang alam, berbalik dan bergerak ke arah kereta. Di tahun 1883, sebuah terbitan resmi Belanda tentang jajahan Hindia Belanda zaman itu mengatakan: “Terutama penduduk asli sangat memanfaatkan keberadaan kereta api”. Ini menjadi sebuah apendiks tak terelakkan dari optimisme jalanan. Paling sering, ini sekedar tekanan yang ditaruh secara canggung.












DAFTAR RUJUKAN
Handinoto. 1999. Perletakan Stasiun Kereta Api Dalam Tata Ruang Kota-kota Di Jawa (Khususnya Jawa Timur) Pada Masa Kolonial. Dimensi Teknik Arsitektur, 2 (27): 48-56.
Lombard, Denys. 1996.  Nusa Jawa, Silang Budaya Jilid 1. Jakarta:  PT Gramedia Pustaka Utama.
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineer of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyana, Agus. 2006. KULI DAN ANEMER : Keterlibatan Orang Cina Dalam Pembangunan Jalan Kereta Api Di Priangan (1878-1924). Disajikan dalam Konferensi Nasional Sejarah Ke VIII yang dilaksanakan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jakarta 14- 17 November 2006.
PNKA. 1970. Sekilas Lintas 25 Tahun Perkeretaapian Indonesia. Bandung: Balai Grafika.
PT. KAI. 2007. Profil Perusahaan. Bandung: PT KAI.
Rahardjo, Tjahjono. 2008. Kilas Sejarah Stasiun-Stasiun di Semarang. Bulletin Internal Komunitas Pelestari Kereta Api Indonesia, (3): 4-6.
Siti Khoirun Nikmah dan Valentina Sri Wijiyati. 2008. Kereta Apiku Sayang, Kereta Apiku Malang: Proyek Efisiensi Perkeretaapian. Jakarta: International NGO Forum On Indonesia Development.
Soegijapranata. 2004. Dari Semarang, Membangun Kembali Kejayaan Kereta Api. Kronik UNIKA, (44): 1-2.
Sutarma, Oma. 1988. Studi Tentang Pembangunan dan Perkembangan Kota 1868-1900. Skripsi tidak diterbitkan.Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Malang. 2009. Aktualisasi Pendidikan Islam: Respon Terhadap Problematika Kontemporer. Surabaya: Hilal Pustaka.
Ven, Joris Van der. 2009. Potensi Pasar Kereta Api Di Indonesia: Indonesia Infrastructure Intiative. Jakarta: Kemitraan Australia Indonesia.
www.google.co.id.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar