Total Tayangan Halaman

Selasa, 14 Mei 2013

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INDONESIA DALAM TIGA ZAMAN: PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA, PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH PENDUDUKAN JEPANG, HINGGA PENDIDIKAN MASA AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA



PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INDONESIA DALAM TIGA ZAMAN: PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA, PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH PENDUDUKAN JEPANG, HINGGA PENDIDIKAN MASA AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA
Rendy Wahyu Satriyo Putro[1]
Abstrak          : Sejarah sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari pendidikannya, begitu pula bangsa Indonesia. Perjalanan bangsa Indonesia dalam tiga zaman, yaitu zaman pemerintah kolonial Belanda, pemerintah pendudukan Jepang, hingga masa awal kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari peran pendidikan. Masing-masing zaman atau pemerintahan memiliki ciri khas kebijakan dalam pendidikan. Pendidikan dari masing-masing zaman memberikan pengaruh bagi perkembangan bangsa yang selalu berkembang sampai saat ini. Kurikulum pendidikan yang selalu berganti seiring dengan pergantian zaman maupun pergantian kebijakan.
Kata Kunci    : Pendidikan Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda, Pemerintah Pendudukan Jepang, Masa Awal Kemerdekaan Indonesia.
Pendahuluan
Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang dienyam oleh rakyatnya. Maju atau tidaknya suatu bangsa juga dapat dilihat dari maju atau tidaknya pendidikan suatu bangsa. Begitu pula dengan Indonesia yang memiliki sejarah perkembangan pendidikan dari masa klasik hingga masa sekarang yang terus selalu berkembang. Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan juga selalu berkembang secara dinamis. Namun, tidak ada bangsa yang berkembang secara dinamis tanpa adanya proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya.
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya juga bergerak dengan proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya. Yang kita ketahui sendiri bahwa tokoh-tokoh pemimpin bangsa Indonesia juga merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila kita lihat perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu bangsa, begitu pula bangsa Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Pada masa penjajahan bangsa asing, tanpa disadari oleh pihak penjajah bahwa sistem pendidikan yang diberikan dapat menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pemuda-pemuda pribumi yang mendapatkan pendidikan dari penjajah justru berbalik menyusun kekuatan untuk memerdekakan bangsanya. Dan setelah merdeka, sistem pendidikan penjajah ada yang ditinggalkan dan ada yang masih dipertahankan.
Dalam pembahasan artikel ini akan lebih dibahas tentang pendidikan Indonesia pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, masa Pemerintahan Pendudukan Jepang, dan masa awal kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya, pendidikan pada masing-masing zaman atau pemerintahan tersebut memiliki ciri khas tersendiri dalam kebijakan pendidikan.
Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Pada 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe-ordonnantie[2] yang menetapkan bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para pengikut agama Islam (Rifa’i, 2011: 56).
Komisaris Jenderal pada masa tersebut cukup menaruh perhatian di bidang pendidikan. Terbukti setelah beberap waktu berselang dari proses serah terima daerah jajahan dari pihak Inggris ke pihak Belanda, ia menunjuk CGC Reinwardt sebagai Direktur Pengajaran (Najamuddin, 2005). Pada tahun terakhir di masa pemerintahannya, dikeluarkan peraturan persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan penyelenggaraan pengajaran. Sayangnya, ide-ide Daendels pada masa sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk jajahan tidak dilanjutkan pada masa ini. Hal tersebut sangat jelas karena dalam ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan pada masa ini sangatlah sedikit yang membahas masalah pengajaran untuk penduduk jajahan. Salah satunya adalah peraturan umum tentang pendidikan sekolah yang berisi bahwa pendidikan hanya untuk orang Belanda saja (Said dan Affan, 1987). Dan bahkan peraturan ini berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen. Meski pada tahun 1818 telah dikeluarkan Regeringsreglement untuk Hindia Belanda yang isinya antara lain membahas bahwa semua sekolah di Hindia Belanda dapat dimasuki baik orang Eropa maupun penduduk jajahan (Watson dalam Supriadi, 2003). Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah sekolah tersebut hanya sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi.
Pada tahun 1817, didirikan sekolah dasar khusus untuk anak-anak dari golongan bangsa Belanda (Europeese Lagere School). Bahasa pengantar di sekolah-sekolah tersebut adalah bahasa Belanda dan sistem maupun kurikulumnya disesuaikan dengan yang berlaku di Belanda agar tetap sinergis dengan sekolah lanjutan di Belanda (Boone dalam Supriadi, 2003). Sekolah ini semakin banyak didirikan di berbagai daerah sejalan dengan semakin banyak pula orang Belanda yang datang ke bumi nusantara sambil membawa keluarganya ikut serta. Pendirian ELS ini tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, melainkan juga pihak swasta seperti NZG atau yang dikenal dengan zending[3] (Supriadi, 2003).
Menurut Kartodirdjo (1987) sistem pendidikan yang dualitas pada masa ini[4] juga membuat garis pemisah yang tajam antara dus subsistem: sistem sekolah Eropa dan sistem sekolah pribumi. Tetapi pada tahun 1892[5] akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan karena kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda, sebagaimana berikut:
1.      Sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi dengan pelajaran bahasa Belanda;
2.      Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pelajaran bahasa Belanda.
Menurut Soemanto dan Sooyarno dalam Rifa’i (2011: 59) konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja atau kantor-kantor yang lain.
Di zaman pemerintahan Hindia-Belanda ini, terdapat tiga jenis tingkatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Rifa’i, 2011: 59). Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit (Ricklefs, 2001).
Menurut Ary Gunawan dalam Rifa’i (2011: 67), prinsip kebijakan pendidikan kolonial yaitu:
1.      Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
2.      Pendidikan diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah.
3.      Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.
4.      Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda.
5.      Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan barat.
Kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan kepada anak-anak bengsawan bumiputera serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial yang diharapkan kelak akan menjadi kader pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan atau condong ke Belanda dan merupakan kelompok elite yang terpisah dengan masyarakatnya sendiri. Mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia (Rifa’i, 2011: 67-68).
Dengan adanya Politik Etis, terjadi perubahan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bahasa Belanda mulai diberikan pula di sekolah Kelas I dan sekolah-sekolah guru. Mr. JH. Abendanon menginginkan kursus/sekolah kejuruan (vak), termasuk juga sekolah bagi kaum wanita (bersama dengan Van Deventer, Abendanon, menaruh perhatian pada usaha R.A. Kartini). Sekolah teknik pertama kali dibuka pada 1909. Untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi anak-anak bumiputera ke sekolah-sekolah atau melanjutkan sekolah, di antaranya dibuka sekolah voorklas di MULO (kelas persiapan ke MULO). Sekolah-sekolah desa diperbanyak. Namun demikian, masih ada perbedaan pelayanan bagi anak-anak bumiputera dengan anak-anak Belanda, yaitu diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia diterima di sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu sehingga dengan dalih yang dibuat-buat akhirnya anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di sekolah-sekolah Belanda (Rifa’i, 2011: 73-74).
Secara tegas, tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak pernah dinyatakan, tetapi dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda, di samping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga-tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang dianggap sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga (Rifa’i, 2011: 76-77).
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa Politik Etis penjajah sepertinya akan lunak dengan kemajuan pendidikan pribumi, tetapi tetap saja pola kebijakan pendidikan kolonial tersebut menunjukkan sifat intelektualis, alitis, individualis dan materialis (Rifa’i, 2011: 83).
Setelah 1870, tak ada lagi pusat-pusat karena pendidikan dan pengajaran semakin diperluas. Pada 1871, keluarlah UU Pendidikan yang pertama, yaitu pendidikan dan pengajaran makin diarahkan kepada kepentingan penduduk bumiputra. Secara tidak langsung, pengaruh Politik Etis terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi munculnya kaum pendidik dan pergerakan Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kemajuan bagi rakyat Indonesia dapat ditengarai dengan kemunculan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh yang memerhatikan pendidikan bagi rakyat (Rifa’i, 2011: 80).
Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang
Meski zaman pendudukan Jepang di bumi Nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia untuk membantu kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan mendekati tokoh-tokoh kiai yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan sandaran politik mereka. Pertemuan antara 32 ulama gerakan Gunseikan pada 7 Desember 1942 berisi tukar pendapat mengenai ke-Islam-an dan komitmen Jepang untuk melindungi adat dan agama Islam, tidak mencampuri lembaga keagamaan bahkan diperkenankan secara resmi untuk meneruskan pekerjaannya, serta memberi kedudukan yang baik pada mereka yang telah mendapatkan pendidikan agama tanpa membeda-bedakannya dengan golongan lain (Assegaf, 2005).
Bangsa Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia. Ketika kondisi dunia saat terjadi perang, Jepang tak tinggal diam dan menampilkan diri ikut dalam peperangan tersebut. Jepang mendapatkan prestasinya ketika menghadapi Rusia. Jepang bercita-cita besar, yaitu menjadi pemimpin Asia Timur Raya dan berhasil menakhlukkan Belanda yang telah lama menjajah Indonesia. Sekolah-sekolah yang ada di zaman Belanda diganti dengan sistem Jepang. Selama Jepang menjajah Indonesia, hampir sepanjang hari hanya diisi dengan kegiatan latihan perang atau bekerja. Jika ada kegiatan-kegiatan sekolah, hal tersebut tidak jauh dengan konteks Jepang sedang berperang. Kegiatan yang dikatakan berhubungan dengan sekolah tersebut antara lain:
1.      Mengumpulkan batu dan pasir untuk kepentingan perang.
2.      Membersihkan bengkel-bengkel dan asrama-asrama militer.
3.      Menanam ubi-ubian dan sayur-sayuran di pekarangan sekolah untuk persediaan bahan makanan.
4.      Menanam pohon jarak untuk bahan pelumas (Rifa’i, 2011: 83-84).
Di samping itu, murid setiap pagi wajib mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Ada tiga macam sekolah guru di zaman Jepang, yaitu:
1.      Sekolah guru 2 tahun = Syoto Sihan Gakko,
2.      Sekolah guru menengah 4 tahun = Guto Sihan Gakko, dan
3.      Sekolah guru tinggi 6 tahun = Koto Sihan Gakko (Rifa’i, 2011: 84).
Pelajaran-pelajaran yang diberikan meliputi Sejarah Ilmu Bumi, Bahasa Indonesia (Melayu), Adat Istiadat, Bahasa Jepang, Ideologi Jepang, dan Kebudayaan Jepang. Untuk menyebarluaskan ideologi dan semangat Jepang, para guru ditatar secara khusus oleh pemimpin-pemimpin Jepang selama tiga bulan di Jakarta. Mereka diharuskan dan diwajibkan meneruskan materi yang telah diterima kepada teman-temannya. Untuk menanamkan semangat Jepang itu kepada murid-murid, diajarkan bahasa Jepang, nyanyian-nyanyian perjuangan, atau nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran kepada murid-murid (Rifa’i, 2011: 84-85). Menurut Soemanto dan Soeyarno dalam Rifa’i (2011: 85) memang kehadiran Jepang di Indonesia dapat menanamkan jiwa berani pada bangsa Indonesia. Akan tetapi semua itu demi kepentingan Jepang.
Menurut Rifa’i (2011: 85) sebenarnya tujuan pendidikan Jepang di zaman penjajahan Jepang tidaklah banyak yang dapat diuraikan sebab murid disibukkan dengan peperangan sehingga perhatian terhadap pendidikan sangat sedikit. Rayuan Jepang kepada bangsa Indonesia mengatakan bahwa Jepang adalah saudara tua yang akan datang ke Indonesia untuk mencapai kemakmuran bersama di Asia Timur Raya atau yang terkenal dengan hakko ichiu sebagai landasan utama pendidikan pada zaman pendudukan Jepang.
Penjajah Jepang mengambil kebijakan bahwa bahasa Belanda dilarang dipergunakan sama sekali. Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar resmi, baik di kantor-kantor maupun di sekolah-sekolah. Bahasa Jepang menjadi bahasa kedua. Selama masa kependudukan Jepang inilah bahasa Indonesia berkembang dan dimodernkan sehingga menjadi bahasa pergaulan dan bahasa ilmiah (Rifa’i, 2011: 85).
Menurut Gunawan dalam Rifa’i (2011: 86) dari sudut lain, dapat kita lihat bahwa secara konkret tujuan pendidikan pada zaman Jepang di Indonesia adalah menyediakan tenaga kerja cuma-cuma yang disebut romusha dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan demi kepentingan Jepang. Pengaruhnya adalah para pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi ketat. Hal ini terbukti dengan pelaksanaan senam pagi yang disebut taiso sebelum belajar (juga bagi para pegawai sebelum bekerja) mengikuti komando dengan radio. Mengikuti latihan kemiliteran yang disebut kyoren bagi para pelajar dengan barisannya yang disebut seinendan, barisan keamanan rakyat yang disebut keibodan, dan barisan prajurit yang disebut heiho.
Dengan adanya penyederhanaan sistem pendidikan dan sekolah di zaman Jepang, kesempatan belajar terbuka lebar bagi semua golongan penduduk di Indonesia, semua mendapat kesempatan yang sama. Jalur-jalur sekolah dan pendidikan menurut penggolongan keturunan bangsa, strata, ataupun strata sosial telah dihapuskan (Rifa’i, 2011: 89).
Kebijakan di bidang pendidikan yang dikeluarkan oleh Jepang memang banyak yang terlihat seolah-olah ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (mulai dari pemberlakuan sekolah gratis, pemberian tambahan insentif guru, hingga penyederhanaan sistem persekolahan), tetapi pada kenyataannya kebijakan tersebut sarat dengan muatan politis yang membawa misi Nipponisasi dan pemberdayaan bangsa Indonesia untuk perburuhan dan mobilisasi militer.
Pendidikan Pada Masa Awal Kemerdekaan Indonesia
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, perubahan-perubahan tidak hanya terjadi dalam bidang pemerintahan saja, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita suatu bangsa yang merdeka dan negara yang merdeka. Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-cita bangsa Indonesia yang medeka itulah, bidang pendidikan mengalami perubahan, terutama dalam landasan utamanya, tujuan pendidikan, sistem persekolahan, dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat Indonesia (Rifa’i, 2011: 122).
Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950, bangsa Indonesia mengalami kesusahan di berbagai bidang, mulai dari sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan. Namun, tekad bangsa Indonesia sudah bulat dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 untuk menata kehidupan bersama, berbangsa, mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, lepas dari penindasan. Salah satu sasaran dan caranya adalah dengan memajukan dunia pendidikan untuk mencerdaskan rakyat Indonesia (Ri’fai, 2011: 130).
Pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia, situasi politik belum stabil hingga menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan pendidikan Indonesia. Pada awal kemerdekaan pemerintah Republik Indonesia (RI) telah membentuk kementerian yang mengurus dunia pendidikan disebut sebagai “Kementerian Pengajaran.” Ketika terjadi agresi Belanda, Kementerian Pengajaran ditempatkan di Surakarta, pemindahan tersebut terjadi pada Januari 1946. Pada waktu itu juga nama kementerian diubah menjadi “Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan” atau yang disingkat menjadi Kementerian PP dan K (Sjamsudin, 1993: 9).
Menurut Edi Subkhan (2010), lebih dari itu, ketika Belanda menyerang pada Desember 1948, banyak kantor kementerian dipindahkan, termasuk Kementerian PP dan K. Waktu itu organisasi kementerian berjalan sebagaimana mestinya dan terkenal dengan sebutan “Kementerian Gerilya.” Ketika sudah pulih, maka pada Juni 1949, Kementerian PP dan K dipindah lagi dari Surakarta ke Yogyakarrta dan dibentuk tiga jawatan baru: Jawatan Inspeksi Pengajaran, Jawatan Pendidikan Masyarakat, dan Jawatan Kebudayaan. Pada awal masa kemerdekaan itulah, dan juga tahun-tahun menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, seorang tokoh pergerakan nasional dan pejuang pendidikan yang besar sekali perannya adalah Ki Hadjar Dewantara. Sekarang tanggal kelahirannya, 2 Mei diperingati sebagai hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk penghormatan dari pemerintah dan masyarakat Indonesia kepada beliau yang telah begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar pendidikan nasional. Sumbangannya bagi Indonesia, terutama dalam dunia pendidikan adalah hadirnya Perguruan Taman Siswa dengan substansi ideologis kebangsaan, keindonesiaan dan kerakyatan. Gagasan dan pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan dan kebudayaan sampai sekarang masih selalu dikaji dan dianggap relevan diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional. Salah satunya adalah prinsip Tut Wuri Handayani yang menjadi semboyan resmi dari implementasi sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian hal utama yang harus diingat adalah: pendidikan sekadar sebagai tuntunan di dalam hidup dan tumbuh kembangnya anak-anak kita. Hal itu artinya kehidupan anak-anak tersebut berada di luar kemampuan dan kehendak kita kaum pendidik, anak-anak harus dilihat sebagai manusia yang memiliki kehendak dan fitrahnya sendiri, hingga biarkanlah mereka untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kehidupannya sendiri (Dewantara, 2004: 21).
Menurut Edi Subkhan (2010), pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar adalah pendidikan yang nir-paksaan. Ia menyatakan bahwa istilah opvoeding atau pedagogiek sebenarnya tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa kita secara tepat. Istilah yang hampir mendekati adalah momong, among dan ngemong. Di Taman Siswa kemudian dikenal dengan sistem Among sebagai dasar pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru baru diharuskan mengintervensi kehidupan si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam sistem Among inilah familiar metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di depan harus dapat memberi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus dapat memberi gagasan yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri Handayani (ketika di belakang harus dapat memberikan dukungan atau dorongan).
Tata sekolah sesudah Indonesia kemerdekaan yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiap tingkatan seperti  pada zaman Jepang tetap diteruskan, sedangkan rencana pelajaran pun pada umumnya sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk seluruh sekolah (Rifa’i, 2011: 135). Pada tahun 1945-1950 juga menghasilkan kurikulum nasional, yaitu pendidikan rendah, pendidikan guru, pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan teknik, dan pendidikan tinggi.
Berkaitan dengan keperluan bangunan sekolah, tindakan utama adalah mengatasi bangunan rusak atau hancur lebur akibat revolusi fisik atau bangunan tersebut dipakai oleh pemerintah. Di samping dilakukannya usaha-usaha pemerintah dalam mengatasi kekurangan bangunan sekolah tersebut, juga tidak ketinggalan partisipasi masyarakat yang bergotong royong membangun bangunan sekolah dengan peralatannya dan yang kemudian disumbangkan kepada pemerintah (Rifa’i, 2011: 151-152).
Pendidikan zaman kemerdekaan ini, dalam kondisi sulit tersebut hebatnnya mampu menghasilkan produk hukum tentang pendidikan, yaitu Undang-Undang Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950. Itulah produk hukum pendidikan nasional pertama, terlepas kemudian kita memandang bahwa produk hukum tersebut kurang terang memberikan definisi tentang konsep dan sistem pendidikan nasional (Rifa’i, 2011: 148).
Selain itu di masa ini guru juga menunjukkan darma baktinya bagi pendidikan nasional. Peran para guru salah satunya bisa kita lihat pada 25 November 1945. Pada tanggal tersebut berdirilah Persatuan Guru Republik Indonesia. PGRI mempunyai asas-asas perjuangan sebagai berikut:
1.      Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia,
2.      Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, dan
3.      Membela hak dan nasib buruh pada umumnya dan guru pada khususnya (Soegarda Poerbakawatja dalam Rifa’i, 2011: 149-150).
Kita bisa menyimpulkan bahwa usaha-usaha nyata yang pernah dilakukan pemerintah berkaitan dengan pendidikan antara tahun 1945-1950 adalah seputar bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem kerja, serta biaya (Rifa’i, 2011: 151).
Penutup
Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja atau kantor-kantor yang lain. Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit. Secara tidak langsung, pengaruh Politik Etis terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi munculnya kaum pendidik dan pergerakan Indonesia.
Meski zaman pendudukan Jepang di bumi Nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia untuk membantu kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan mendekati tokoh-tokoh kiai yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan sandaran politik mereka. Kebijakan di bidang pendidikan yang dikeluarkan oleh Jepang memang banyak yang terlihat seolah-olah ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, tetapi pada kenyataannya kebijakan tersebut sarat dengan muatan politis yang membawa misi Nipponisasi dan pemberdayaan bangsa Indonesia untuk perburuhan dan mobilisasi militer.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, perubahan-perubahan tidak hanya terjadi dalam bidang pemerintahan saja, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita suatu bangsa yang merdeka dan negara yang merdeka. Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-cita bangsa Indonesia yang medeka itulah, bidang pendidikan mengalami perubahan, terutama dalam landasan utamanya, tujuan pendidikan, sistem persekolahan, dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat Indonesia. usaha-usaha nyata yang pernah dilakukan pemerintah berkaitan dengan pendidikan antara tahun 1945-1950 adalah seputar bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem kerja, serta biaya.
DAFTAR RUJUKAN
Sjamsudin. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Subkhan, Edi. 2010. Ki Hajar Dewantara Peletak Dasar Pendidikan Indonesia.
K.H. Dewantara. 2004.  Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Najamuddin. 2005. Perjalanan Pendidikan Di Tanah Air (Tahun 1800-1945). Bandung: Rineka Cipta.
Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi. Jakarta: Depdikbud.
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik dari Zaman Ke Zaman. Bandung: Jemmars.
Assegaf, Abd. Rachman. 2005. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta: Kurnia Kalam.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.



[1] Mahasiswa Pendidikan Sejarah Off  A. NIM: 109831416506.
[2] Peraturan guru Jawa yang menyatakan bahwa sebelum pengajaran agama dapat diberikan harus izin tertulis dari pihak penguasa dan harus ada daftar muridnya.
[3] Pihak swasta Kristen.
[4] Masa Pemerintahan Hindia Belanda pada pertengahan hingga akhir abad  ke-19.
[5] Sesuai dengan Keputusan Raja tanggal 25 September 1892 yang dimuat dalam Lembaran Negara 1883 No. 125. Lihat Rifa’i (2011: 60).

2 komentar: