Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 Juni 2015

Hermeneutika: Esksistensi, Peran, Kelebihan dan Kekurangannya dalam Eksplanasi Sejarah



Hermeneutika:
Esksistensi, Peran, Kelebihan dan Kekurangannya dalam Eksplanasi Sejarah[1]
Rendy Wahyu Satriyo Putro[2]
Pendahuluan
Sejarah merupakan ilmu karena dapat disusun secara sistematis dengan metodologi yang ilmiah untuk mendapatkan kebenaran mengenai peristiwa masa lampau. Sehingga, mempelajari metodologi sejarah sangatlah penting dalam mempelajari sejarah. Namun juga, pemahaman sejarah merupakan modal awal dalam penulisan sejarah. Sejarah memang tidak lepas dari masa lalu, namun banyak cara pandang orang atau peneliti sejarah dalam memahami sejarah.
Dengan memahami sejarah, orang akan belajar memahami hidupnya sehingga dapat menempatkan diri dengan baik dalam menjalani hidup yang baik. Sejarah merupakan sebuah cermin kehidupan yang dengannya kita dapat belajar dari masa lalu. Masa lalu bukan untuk dilupakan, namun masa lalu dapat dijadikan sebuah pelajaran. Sebuah pelajaran yang diambil sisi positifnya dan sisi negatifnya dijadikan sebuah pelajaran yang jangan pernah lagi diulangi pada masa yang akan datang.
Dalam memahami sejarah, banyak jalan dan banyak cara pandang yang sangat mungkin berbeda antar orang. Sehingga, diperlukan pemahaman yang luas dalam mempelajari sejarah. Tidak hanya satu pemahaman saja atau percaya pada satu sumber saja namun juga dari banyak sumber dan tidak boleh menjustice kebenaran. Kebenaran dalam sejarah memang sangat rumit dan relatif, ibarat koran, halaman yang kita baca di depan berbeda jika dilihat orang dari arah pandangannya (koran bagian belakang maupun dilihat dari samping hanya terlihat sebuah tumpukan kertas). Bendanya satu, namun banyak yang memaknainya. Sama halnya juga sejarah, peristiwanya satu namun banyak yang menafsirkannya berbeda-beda.
Dalam meneliti sejarah, keberadaan sumber merupakan suatu hal yang penting dalam eksplanasi sejarah. Sumber dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sedapat mungkin sumber primer harus didapatkan sebagai legitimasi untuk mencari sumber sejarah. Sumber dapat berupa arsip, prasasti, artefak, maupun sumber lisan atau pun tradisi lisan.
Banyak teori yang digunakan untuk menjelaskan suatu peristiwa sejarah, mulai dari strukturasi, fenomenologi, narativistisme, postmodernisme, hermeneutika, dan lain sebagainya yang digunakan sebagai teori yang membantu memahami suatu peristiwa sejarah. Dalam kajian kali ini akan lebih dibahas mengenai hermeneutika sebagai teori yang mendukung untuk memahami suatu peristiwa sejarah. Pentingnya memaknai lebih mendalam dalam menafsirkan suatu peristiwa sejarah dibutuhkan jam terbang yang tinggi dengan pemahaman yang luas untuk memahami suatu peristiwa dengan berbagai perspektif agar lebih mampu memahami dengan pemahaman yang mendalam. Dalam pembahasan selanjutnya akan dibahas tentang eksistensi hermeneutika, peran hermeneutika dalam sejarah, serta kelebihan dan kekurangan hermeneutika dalam eksplanasi sejarah.

Eksistensi Hermeunitika
Pengertian Hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan pelaku sejarah (Madjid, 2014: 249). Hermeunitika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Hermeunitik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan Eropa yang menyatakan bahwa hermeunitika merupakan titik fokus dari isu-isu teologis sekarang (Parlmer, 1969: 3). Hermeneutika memiliki tradisi yang panjang berawal dari studi penafsiran Kitab Suci Agama Kristen dan Yahudi (Judaism): The critical interpretation and the science of the interpretive principles of the Bible. Pada perkembangan kemudian, hermeneutika menjadi studi tentang prinsip-prinsip metodologis dalam penafsiran dan penjelasan berkenaan dengan teks, filologis, literasi, ragam bentuk, tradisi, alegoris hingga kondisi historis yang membawa kita sampai kepada penafsiran dan penjelasan (Lohanda, 2011: 96).
 Istilah hermeunitika itu sendiri tercatat hanya dari abad ke 17, penerapan penafsiran tekstual dan teori-teori interpretasi—keagamaan, sastra, hukum—telah mulai sejak zaman klasik (Palmer, 1969: 40). Bagi Hirsch dalam Palmer (1969: 3), hermeunitika dapat dan akan menjadi sebuah pengetahuan dasar dan fondasional untuk semua penafsiran literatur. Secara etimologi kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari Yunani, hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Ia merupakan sebuah proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah sebagaimana menafsirkan sebuah teks klasik dan asing menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat berbeda (Umiarso, 2011: 193).
Menurut Attamimi (2012: 276-277) sebagai sebuah praktek interpretasi dan pemikiran dalam filsafat, hermeneutika sesungguhnya telah muncul sejak awal lahirnya sejarah peradaban manusia. Berbagai peradaban besar yang pernah berkembang sejak dulu pada umumnya memiliki kitab suci yang tentu saja berwujud teks. Karena kitab suci tidak mungkin bisa berbicara sendiri, maka agar bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata, diperlukan pemahaman, pembacaan, penafsiran, dan penafsiran ulang yang pada umumnya dilakukan oleh para ahli agama. Selain itu dapat dipahami juga bahwa terdapat jarak yang panjang antara masa kelahiran teks dan masa penafsiran. Oleh karena itu diperlukan jembatan metodologis untuk memahami teks tersebut. Metodologi itulah salah satunya yang disebut kemudian dengan hermeneutika.
Hermeunitik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu peristiwa pemahaman teks dan persoalan yang lebih mengarah mengenai apa pemahaman dan interpretasi itu (Palmer, 1969: 8). Hermeunitika merupakan studi bentuk terakhir pemahaman ini. Ia mencoba menggerakkan bersama-sama dua wilayah teori pemahaman: persoalan tentang apa yang terlibat dalam peristiwa pemahaman sebuah teks, dan persoalan tentang pemahaman itu sendiri dalam pengertian yang sangat fondasional dan eksistensial itu sendiri (Palmer, 1969: 10). Sehingga, dalam hal ini hermeunitik dapat diartikan sebagai hubungan mengenai perpaduan pemahaman sumber tertulis dengan persoalan dan pemahaman suatu peristiwa dalam artian membawa suatu sumber dan peristiwa untuk dipahami. Hermeunitika adalah sistem tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks (Palmer, 1969: 41).
Teks tidaklah berbicara di dalam makna yang biasa dari kata tersebut. Namun, oposisi diametrik sesederhana apa pun menegaskan pada satu sisi antara ujaran (speech) yang terikat oleh situasi, dan referensi, serta pada sisi lain teks sebagai pintasan atau suspensi (penundaan) dari keduniawian teks (Said, 1983: 40). Sebuah teks mempunyai situasi yang khas, yang menempatkan pengendalian atas diri penafsir dan tafsirannya bukan lantaran situasinya disembunyikan di dalam teks sebagai sebuah misteri, tetapi lebih lantaran situasi ada pada level yang sama dari kekhasan permukaan sebagaimana objek tekstual itu sendiri (Said, 1983: 47).
Teks sebagai hasil komunikasi sebenarnya muncul dalam sekali waktu ketika proses komunikasi terjadi. Namun demikian, ketika teks mula-mula muncul dalam bentuk oral diproduksi kembali ke dalam teks tertulis, keberadaan teks menjadi lebih mapan dan tahan lama (Ibrahim, 2014: 28). Teks diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri, dilepaskan dari pengarangnya, waktu penciptanya, dan konteks kebudayaan pengarang maupun kebudayaan yang berkembang dalam ruang dan waktu ketika teks itu di ciptakan (Mahfudz, 2013: 5).  Sedangkan, kalangan strukturalis memandang bahasa sebagai sistem tanda-tanda yang tidak hanya berupa suara atau teks-teks tertulis, melainkan juga semua praktik sosial yang bermakna dan fenomena kultural yang dapat menyusun berbagai macam bahasa (Barthes, 1968: 15).
Menurut Hermes dalam Palmer (1969: 15), ada tiga bentuk makna dasar dalam hermeneuin dan hermeneia, tiga bentuk ini menggunakan bentuk verb dari hermeneuin, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya, “to say”; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris “to interpret”, namun masing-masing ketika makna itu membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi.
Menurut Wilhelm Dilthey dalam Palmer (1969: 45), dia melihat hermeunitika adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Untuk menafsirkan ekspresi hidup manusia, apakah itu berkaitan dengan hukum, karya sastra, maupun kitab suci, membutuhkan tindakan pemahaman historis.
Menurut Josef Bleicher dalam Ulumuddin (2006: 81), Habermas memperkenalkan pemikiran hermeneutik kepada metodologi ilmu-ilmu sosial untuk menunjukkan kelemahan pendekatan- pendekatan interpretatif yang langsung. Strategi yang diadopsi Habermas merupakan usaha untuk membedakan batasan-batasan kesadaran hermeneutik dan untuk menjelaskan kerangka teoritis programatis yang akhirnya sebuah kritik idiologi menjadi usaha yang dapat terus hidup dan sah (Ulumuddin, 2006: 84).
Menurut Gadamer dalam Palmer (1969: 47), hermeunitika adalah pertemuan dengan ada (being) melalui bahasa. Puncaknya, Gadamer menyatakan karakter linguistik realitas manusia itu sendiri, dan hermeunitika larut ke dalam persoalan-persoalan filosofis dari relasi bahasa dengan ada, pemahaman, sejarah, eksistensi, dan realitas. Hermeneutika dialektis Gadamer berlandaskan bukan pada kesadaran diri namun pada keberadaan, pada linguistikalitas manusia, dan untuk itu tentunya berlandaskan pada karakter ontologis peristiwa linguistik (Palmer, 1969: 194). Sedangkan menurut Paul Ricoeur dalam Palmer (1969: 47), yang kita maksudkan dengan hermeunitika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Baik dalam suatu percakapan maupun dalam penafsiran teks-teks, kita harus masuk ke dalam kulit lawan bicara atau pengarang, sambil menimba dari pengalaman hidup sendiri (Ankersmit, 1984: 154).
Tujuan Hermeunitika menurut Friederich August Wolf (1759-1824) dalam Palmer (1969: 91) adalah untuk menangkap pikiran yang ditulis atau bahkan yang dikatakan pengarang seperti yang dia inginkan. Interpretasi adalah dialog, dialog dengan pengarang. Interpreter (seorang penafsir) harus peka dalam memahami maksud itu agar dapat menjelaskannya pada orang lain.
Proses hermeneutis pada hakikatnya tidaklah hadir di dalam pengungkapan ilmiahnya dari apa yang telah diformulasikan dalam teks, ia lebih merupakan proses pemikiran orisinal di mana makna hadir untuk diungkapkan yang sesungguhnya ia tidak secara eksplisit nampak (Palmer, 1969: 183). Sedangkan menurut Ankersmit (1984: 155) proses hermeneutika itu (menghayati dari dalam jalan pikiran orang lain), tidak hanya berguna untuk menafsirkan teks-teks atau maksud seorang lawan bicara. Bermakna sekali menghayati dari dalam jalan pikiran orang lain, kalau kita ingin mengerti, mengapa ia berbuat begini atau begitu. Hermeneutika dianggap sebagai pendekatan yang tepat karena ia mampu mendekatkan pemahaman pembaca dengan teks yang sudah jauh melampaui zamannya (Mahfudz, 2013: 2).
Peran Hermeunitika dalam Sejarah
Menurut Kuntowijoyo (2008: 10), penjelasan sejarah adalah hermeneutics dan verstehen, menafsirkan dan mengerti, penjelasan tentang waktu yang memanjang dan penjelasan tentang peristiwa tunggal. Sejarah berhubungan dengan gejala yang unik, sekali terjadi, dan terkait dengan konteks waktu dan tempat (ideographic) (Kuntowijoyo, 2008: 117). Dalam disiplin ilmu sejarah, penafsiran dan penjelasan berawal dari pemahaman akan masalah dan kemampuan menafsir sumber sejarah. Dalam kenyataannya, sumber sejarah itu bisa berarti teks, bisa berarti ragam bentuk, alegori, sampai kepada tradisi dan kondisi historis yang melahirkan sumber sejarah tersebut (Lohanda, 2011: 96-97). Sebagai sebuah ilmu sosial yang dialektis, hermeneutika kritis Habermas berusaha menengahi antara objektivitas proses-proses historis dan motif-motif mereka yang bertindak di dalamnya (Ulumuddin, 2006: 80).
Bila seorang ahli sejarah menerangkan dan melukiskan masa silam, ia melakukan itu dengan menerima masa silam seperti adanya. Tetapi, seorang filsuf sejarah spekulatif tidak merasa puas dengan sikap seperti itu, ia mencari suatu struktur dalam yang tersembunyi di dalam proses historis yang menerangkan mengapa sejarah berlangsung demikian dan hanya dapat berlangsung demikian (Ankersmit, 1984: 3-4). Dengan demikian, perlu adanya telaah sejarah yang mampu menjawab sebuah makna dari peristiwa masa lampau dengan pemaknaan yang mendalam guna penafsiran sejarah yang diharapkan sesuai dengan bagaimana peristiwa sejarah tersebut terjadi, sehingga dalam hal ini hermeneutika digunakan dalam memahami sejarah.
Menurut Paul Ricoeur (1965) dalam Palmer (1969: 47-48) yang dimaksudkan dengan hermeunitika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain , sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Dengan kata lain, hermeunitika merupakan proses penguraian isi dan makna yang nampak ke arah makna yang terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol masyarakat atau sastra.  Sehingga, dalam pemaknaan sejarah, hermeunitika sangat dibutuhkan dalam memahami suatu peristiwa sejarah yang tidak saja hanya dijelaskan melalui suatu peristiwa saja melainkan juga melalui simbol-simbol yang terdapat pada masyarakat, dalam hal ini adalah pola pikir dalam masyarakat.
Rudolf Bultmann (1941) dalam Palmer (1969: 57) menjelaskan bahwa secara objektif ia bisa terjerembak ke dalam subjektivitas, sejarawan tidak bisa lari dari pemahamannya: dalam pilihan sudut pandang, berlaku apa yang disebut pertemuan eksistensial dengan sejarah. Sejarah dapat bermakna hanya ketika sejarawan itu sendiri berpijak pada sejarah dan mengambil jarak darinya. Dengan kata lain, makna sejarah dapat dipahami ketika sejarawan mampu memaknai sejarah tanpa adanya unsur-unsur kecondongan dalam menulis sejarah, sehingga diperlukan memberikan jarak dalam menafsirkan sebuah sejarah. Jarak yang dimaksudkan di sini adalah memberi batasan diri pada kemungkinan-kemungkinan keberpihakan dalam menafsirkan sejarah. Sehingga, sejarah dapat dimaknai secara mendalam dan sesuai dengan peristiwa yang terjadi.
Ankersmit (1984: 233) menjelaskan bahwa, interpretasi historis yang paling baik ialah penafsiran yang paling berhasil memperlihatkan keberkaitan antara sebanyak mungkin gejala historis. Namun, penafsiran sejarah yang paling berhasil pun, dan yang paling berhasil menunjukkan keberkaitan antara gejala-gejala yang diteliti, tidak merekam keberkaitan di dalam masa silam sendiri. Rupanya, masa silam sendiri merupakan wasit antara berbagai penafsiran historis dan memberi kesan bahwa penafsiran-penafsiran historis memang menunjukkan struktur-struktur tertentu yang secara objektif dapat kita tampilkan.
Menurut Ankersmit (1984: 369-370) makna sejarah memiliki empat tafsiran. Pertama, kita dapat menafsirkan pertanyaan mengenai makna sejarah, sebagai sebuah pertanyaan mengenai tujuan terakhir yang dilaksanakan dalam perjalanan proses sejarah. Kedua, sebagai pertanyaan mengenai arti proses sejarah. Ketiga, sebagai pertanyaan mengenai tujuan dan gunanya pengkajian sejarah. Empat, sebagai pertanyaan mengenai arti pengkajian sejarah.
Dalam menafsirkan sejarah, menurut Gadamer dalam Kau (2014: 6-7), intensi teologis penafsir sangat mempengaruhi dalam pengambilan makna. Maksudnya, sejarah sebagai sebuah peristiwa masa lalu manusia diberi makna proyektif untuk memandang masa depan, dengan kerangka berpikir hari ini. Oleh karenanya obyektifitas historis menjadi kabur. Yang ada adalah sebuah intensi ke depan berdasarkan asumsi-asumsi dan sistem nilai yang diwariskan oleh tradisi.
Dalam teori hermeneutika, manusia dilihat sebagai orang yang bergantung pada pengalaman konstan masa lalu dan untuk itu hampir dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk hermeunitis yang memahami dirinya sendiri dalam term penginterpretasian warisan sejarah dan secara bersama-sama pengeksplorasi warisan tersebut, suatu warisan yang secara konstan ada dan aktif dalam keseluruhan tindakan dan keputusannya. Dalam historitas, hermeneutika modern mendapatkan pijakan teoritisnya (Palmer, 1969: 133).
Makna merupakan sesuatu yang bersifat historis, ia merupakan suatu hubungan keseluruhan kepada bagian-bagiannya yang kita lihat dari sudut pandang tertentu, pada saat tertentu, bagi kombinasi bagian-bagian tertentu. Makna bukanlah sesuatu yang berada di atas atau pun di luar sejarah, namun merupakan bagian dari lingkungan hermeneutis yang selalu bermakna secara historis (Palmer, 1969: 134). Makna bersifat historis: ia berubah selaras dengan waktu, merupakan persoalan hubungan yang selalu berkenaan dengan suatu perspektif di mana peristiwa itu dilihat. Makna tidak bisa dibakukan dan diatur (Palmer, 1969: 135). Sehingga, dalam memaknai sejarah haruslah total dengan mengkombinasikan bagian demi bagian sejarah dari berbagai perspektif berpikir dan pemaknaan setiap orang bisa saja menjadi berbeda sesuai dengan pola pikir atau pemahaman orang tersebut.
Tugas sejarawan bukanlah menginjeksi perasaan pribadinya ke dalam sejarah, melainkan masuk secara total ke dalam dunia sejarah di mana ia ingin memberikan suatu pemahaman (Palmer, 1969: 209). Pemahaman sejarah tidaklah terletak dalam totalitas penyingkiran, pengalaman diri seseorang, akan tetapi terletak di dalam kesadaran bahwa seseorang tersebut merupakan sebuah keberadaan sejarah, terutama ia terletak dalam partisipasi umum seseorang dengan lainnya dalam kehidupan (Palmer, 1969: 210).
Kesadaran mencakup suatu hubungan dengan sejarah di mana teks tidak pernah sepenuhnya dan secara obyektif merupakan hal lain, karena pemahaman bukanlah rekognisi pasif dari keberlainan masa lalu namun lebih dari itu merupakan suatu penempatan diri seseorang sehingga dimungkinkan klaim oleh yang lain. Ketika sebuah teks historis dibaca semata historis, maka suasana kekinian telah menjadi dogmatis dan ditempatkan di luar pertanyaan dan persoalan akan diajukan (Palmer, 1969: 228). Menurut Stephen Strasser dalam Palmer (1969: 228-229) kesadaran hemeneutis mendapatkan pemenuhan dan kepuasannya tidak dalam kebertentuan diri yang metodis tetapi dalam kesiapan eksperensial dan keterbukaan di mana seseorang yang memiliki pengalaman berlawanan dengan seseorang yang bersifat dogmatis. Inilah yang memberikan karakter kepada kesadaran operatif historis.
Sejarawan mencoba menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau dengan empati, menempatkan dirinya dalam alam pemikiran pelaku sejarah. Hermeneutika mencoba memasuki diri pelaku dan berupaya memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat pelaku sejarah. Ada semacam dialog batin antara batin sejarawan yang menggunakan pengalaman hidupnya sendiri dan sumber-sumber sejarah yang digunakan (Madjid, 2014: 250).
Maka dari itu, istilah hermeneutika dapat dipergunakan dalam dua arti, yaitu menafsirkan teks-teks dari masa silam, dan menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah (Ankersmit, 1984: 156). Alhasil, seorang peneliti sejarah memang harus menafsirkan masa silam dengan menunjukkan kesatuan dan koherensi, tanpa keharusan menerima cara kerja seseorang yang menafsirkan teks-teks (Ankersmit, 1984: 157). Menurut Ankersmit (1984: 158-159) hermeneutika naik banding pada pengalaman hidup sendiri, untuk merekonstruksi kembali gagasan-gagasan dan ide-ide seorang pelaku sejarah, itulah sebabnya, hermeneutika dapat disebut suatu cabang dari idealisme.

Kelebihan Hermeneutika dalam Eksplanasi Sejarah
Hermeneutika dalam eksplanasi sejarah sangat dibutuhkan dalam menafsirkan dan memaknai suatu peristiwa sejarah yang berkaitan dengan pemaknaan teks, maupun bahasa. Sehingga dengan hermeneutika, akan didapatkan suatu pemaknaan sejarah yang mendalam. Pentingnya bagi sejarawan adalah sejarawan akan mampu menyelami masa lalu dengan kekuatan batinnya. Pemaknaan mendalam akan dapat digunakan dengan menggunakan sumber-sumber sejarah dan sesuai dengan pengalaman hidup sejawaran.
Dengan hermeneutika, suatu peristiwa sejarah yang menjadi misteri akan dapat dipahami dengan baik. Dengan kata lain, suatu peristiwa sejarah akan dapat ditelusuri dan dimaknai yang dapat menjelaskan suatu peristiwa sejarah. Hermeunitika merupakan proses penguraian isi dan makna yang nampak ke arah makna yang terpendam dan tersembunyi. Hermeneutika dianggap sebagai pendekatan yang tepat karena ia mampu mendekatkan pemahaman pembaca dengan teks yang sudah jauh melampaui zamannya (Mahfudz, 2013: 2).

Kekurangan Hermeneutika dalam Eksplanasi Sejarah
Interpretasi eksplanatif membuat kita sadar bahwa eksplanasi bersifat konstekstual, horizonal. Eksplanasi harus dibuat dalam horizon makna dan intensi yang pasti. Di dalam hermeunitika, area pemahaman yang diasumsikan ini disebut pra-pemahaman (pre-understanding). Seseorang dapat menanyakan apakah pra-pemahaman dibutuhkan agar dapat memahami teks (Palmer, 1969: 28). Menurut Wolf dalam Palmer (1969: 91-92), eksplanasi harus didasarkan pada pemahaman, dan pemahaman dibedakan dari eksplanasi. Makna citra secara langsung ditangkap dalam pemahaman. Langkah selanjutnya diambil dalam memberikan eksplanasi lisan atau tulisan terhadapnya.
Penerjemah membuat kita sadar akan kenyataan bahwa bahasa itu sendiri memuat interpretasi tentang dunia, di mana penerjemah harus sensitif seperti ia menerjemahkan ekspresi individu. Penerjemah hanya membuat kita betul-betul sadar akan cara di mana kata-kata sebenarnya membentuk pandangan-pandangan tentang dunia, bahkan persepsi-persepsi kita (Palmer, 1969: 31).
Bultmann dalam Palmer (1969: 57) menyatakan bahwa masing-masing interpretasi historis atau dokumen historis dikendalikan oleh kepentingan tertentu, yang pada gilirannya didasarkan pada pemahaman awal tertentu dari subyek. Terlepas dari kepentingan dan pemahaman ini, pertanyaan yang diajukan padanya mulai terbentuk. Tanpa hal itu, tiada pertanyaan yang dapat muncul, dan tidak akan ada interpretasi. Dengan demikian, semua interpretasi dikendalikan oleh pra-pemahaman penafsir.
Keseluruhan interpretasi ada dalam kebenaran spekulatif. Untuk itu hemeneutika harus melihat keseluruhan keyakinan dogmatis dalam makna yang tak terbatas dalam dirinya sendiri, sebagaimana filsafat kritis telah melihat dogmatisme pengalaman. Dengan demikian, interpretasi teks bukanlah keterbukaan pasif tetapi merupakan interaksi dialektis dengan teks, ia bukanlah perolehan yang hampa tetapi merupakan suatu kreasi baru, sebuah peristiwa baru dalam pemahaman (Palmer, 1969: 251-252).
Bahasa harus mengarahkan seseorang dalam memahami teks, tugas hemeneutika dengan demikian adalah secara serius berpijak pada linguistikalitas bahasa dan pengalaman dan mengembangkan hermeneutika yang benar-benar historis (Palmer, 1969: 254). Menurut individualisme metodologis, suatu keterangan historis baru dapat diterima, bila keterangan itu dapat dirumuskan dengan istilah-istilah yang berkaitan dengan pikiran dan perbuatan orang perorangan. Kritik terhadap hermeneutika dapat dirumuskan kembali dalam pernyataan bahwa hermeneutika tergelincir dalam individualisme metodologis (Ankersmit, 1984: 185).
Sehingga, hermeneutika menuntut individu dalam memahami sebuah peristiwa sejarah. Sedangkan apabila individu-individu memiliki tingkat pemahaman yang berbeda, maka hasil penafsiran setiap individu juga akan berbeda. Sehingga kebenaran suatu penafsiran sejarah tidak dapat dikatakan tunggal namun akan muncul berbagai versi. Selain itu, pengalaman sejarawan menjadi tolok ukur dalam memahami peristiwa sejarah.

Penutup
Hermeneutika merupakan bagian dari eksplanasi sejarah yang digunakan sebagai alat untuk memahami suatu peristiwa masa lampau dari sumber yang ada berupa teks tertulis maupun bahasa yang dapat digunakan untuk menjelaskan suatu peristiwa masa lampau secara mendalam. Dalam menggunakan hermeneutika, perlu adanya pemahaman-pemahaman yang lain yang mendukung dalam menafsirkan sebuah peristiwa sejarah. Dengan kata lain, sejarawan harus banyak-banyak menguasai sumber-sumber lain yang saling mendukung.
Semakin mendalam kajian sejarawan dalam memahami suatu peristiwa sejarah, akan semakin mendalam pula penafsiran sejarah yang mampu dijelaskan oleh sejarawan. Sehingga, peristiwa sejarah akan semakin memiliki makna yang mendalam dengan penjelasan yang mendalam pula. Suatu teks dapat memiliki makna yang mendalam ketika teks tersebut dimaknai oleh sejarawan yang memiliki pemahaman yang mendalam pula. Dan akan sebaliknya, suatu teks akan kurang mendalam apabila penafsir juga kurang mendalam dalam memaknainya.
Hermeneutika sangat membantu dalam memahami sejarah secara mendalam. Namun, sejarawan harus menguasai ilmu tafsir dalam membantu memahami peristiwa sejarah. Apabila masih lemah, maka penafsirannya pun akan diragukan. Sedangkan penafsiran setiap orang akan berbeda satu sama lain. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya penafsiran dalam suatu peristiwa sejarah yang sama.

Daftar Rujukan
Ankersmit, F.R. 1984. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Terjemahan oleh Dick Hartoko. 1987. Jakarta: Gramedia.
Attamimi, Faisal. 2012. Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik. Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol. 9, No. 2: 275-297.
Barthes, Roland. 1968. Elemen-elemen Semiologi. Terjemahan oleh M. Ardiansyah. 2012. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ibrahim, Sulaiman. 2014. Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana dalam Metode Tafsir Al Quran?. Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol. 11, No.1: 23-41.
Kau, Sofyan A.P. 2014. Hermeneutika Gadamer dan Relevansinya dengan Tafsir. Jurnal Farabi, Vol 11. No 1: 1-18.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lohanda, Mona. 2011. Membaca Sumber Menulis Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Madjid, M. Dien dan Johan Wahyudi. 2014. Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media Group.
Mahfudz, Muhsin. 2013. Hermeneutika: Pendekatan Alternatif dalam Pembacaan Teks. Jurnal Al-Fikr. Vol. 17, No. 2: 1-9.
Palmer, Richard E. 1969. Hermeunitika: Teori Baru Mengenal Interpretasi. Terjemahan oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Said, Edward. 1983. The World, the Text, and the Critic. Terjemahan oleh Sunaryono Basuki Ks. 2012. Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa.
Ulumuddin. 2006. Jurgen Habermas dan Hermeneutika Kritis (Sebuah Gerakan Evolusi Sosial). Jurnal Hunafa Vol. 3 No. 1:73-90.
Umiarso, Hasan Hanafi. 2011. Pendekatan Hermeneutik dalam Menghidupkan Tuhan: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.



[1] Ilmu-ilmu Sosial dalam Eksplanasi Sejarah
[2] S2 Pendidikan Sejarah, NIM: 140731807518

1 komentar: