Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 Juni 2015

PEMBELAJARAN SEJARAH YANG MENARIK DENGAN SEGALA KETERBATASANNYA DAN TANTANGAN MASA DEPAN



PEMBELAJARAN SEJARAH YANG MENARIK DENGAN SEGALA KETERBATASANNYA DAN TANTANGAN MASA DEPAN[1]
Rendy Wahyu Satriyo Putro[2]
Pendahuluan
Mata pelajaran sejarah dalam sekolah sering diidentikkan dengan mata pelajaran hafalan yang menuntut siswa untuk hafal nama, peristiwa, tahun kejadian, tempat dan lain sebagainya. Hal-hal seperti itu dirasa sangat membosankan, sehingga pembelajaran sejarah menjadi kurang diminati. Namun, berbeda dengan yang beranggapan bahwa sejarah adalah sebuah hal yang menarik untuk ditelusuri dan diungkapkan. Bagi yang beranggapan seperti itu sejarah jelaslah suatu hal yang menarik, apalagi dengan orang yang suka menghafal maupun ingatan tajam tentang suatu peristiwa sejarah.
Hal-hal tersebut baik yang suka dengan sejarah maupun tidak suka dengan sejarah tergantung bagaimana menyikapi sejarah itu sendiri. Ketika sejarah hanya dimaknai sebuah peristiwa yang telah berlalu dan tidak memiliki arti penting, sejarah akan dianggap sesuatu tidak penting. Namun ketika sejarah dimaknai sebagai sebuah peristiwa yang memengaruhi peristiwa saat ini maupun peristiwa yang akan datang, sejarah akan dianggap sesuatu yang penting untuk dipelajari. Sehingga, sejarah dianggap penting maupun tidak penting merupakan suatu hal yang relatif.
Dalam pembelajaran di sekolah, sejarah sangatlah penting guna untuk menanamkan ingatan kolektif nasionalisme kebangsaan. Sehingga, suka maupun tidak suka dengan mata pelajaran sejarah di sekolah, tetap diajarkan sebagai alat untuk membangun ingatan kolektif bangsa dan negara sebagai bentuk dari rasa nasionalisme. Mata pelajaran sejarah disajikan dalam pembelajaran disekolah digunakan sebagai salah satu alat untuk membentuk karakter pada siswa. Sejarah adalah sebagai media penyaring dalam era globalisasi, sehingga akan tetap mantab dalam mempertahankan sejarah dan budaya bangsa.
Aspek yang Memengaruhi Suasana Pembelajaran Sejarah
1.      Aspek Tenaga Pendidik
Pembelajaran sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal. Pelajaran sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah (Hariyono, 1995: 143). Sejarah dianggap sebuah mata pelajaran yang seolah-olah tidak penting untuk modal kehidupan, sehingga dianggap remeh dan dianggap suatu mata pelajaran yang mudah diajarkan oleh siapa pun. Karena dianggap mudah, guru yang mengajar pun ada yang memang bukan berlatar belakang dari guru pendidikan sejarah.
Kompetensi guru dalam mengajar sejarah kurang diperhatikan, karena dianggap hanya tinggal membaca dan membelajarkan sejarah kepada siswa. Padahal ada yang dilupa bahwa sejarah adalah sebuah pembelajaran dalam menjalani hidup. Dengan belajar sejarah maka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dan dapat memproyeksikan masa depan. Sehingga, dengan pembelajaran sejarah yang menarik dari guru akan membawa siswa untuk selalu bersikap arif bijaksana dalam menjalani kehidupan.
Namun, ketika pembelajaran yang dilakukan guru sejarah yang bukan berlatar belakang sejarah akan membawa dampak kurang baik bagi siswa. Siswa akan menganggap mata pelajaran sejarah tidak penting dan menjadikan siswa belajar sejarah tidak serius atau asal-asalan. Apalagi ketika cara guru sejarah (yang bukan berlatar belakang sejarah) membelajarkan sejarah yang monoton terkesan teksbook atau hanya berkaitan membahas apa yang ada di buku maupun mendewakan buku sebagai sesuatu yang paling benar. Sehingga mata pelajaran sejarah di hadapan siswa dianggap hanya sekedar mata pelajaran hafalan belaka yang tidak memiliki arti sama sekali atau tidak penting bagi kehidupan sekarang.
Selain dari guru sejarah yang bukan kompetensinya atau bukan berlatar belakang sejarah, guru sejarah yang berlatar belakang sejarah pun terkadang bisa membuat sejarah tidak menarik. Guru sejarah yang kurang kreatif dalam membelajarkan sejarah pada siswa juga memberikan pengaruh kepada siswa untuk tidak menyukai atau menganggap remeh terhadap mata pelajaran sejarah. Misalnya, dalam pembelajaran sejarah guru hanya menggunakan metode ceramah (cara ceramah orang yang berbeda-beda ada yang mampu menarik minat namun ada juga yang monoton yang membuat siswa menjadi tidak tertarik—biasanya kurang memahami sejarah maupun penyampaiannya kurang menarik—yang baik adalah yang mampu menyentuh hati siswa atau pun yang mampu dipahami siswa dengan baik) saja terkesan monoton, sehingga siswa kurang aktif dalam berpikir maupun berpendapat. Selain itu pembelajaran sejarah yang dianggap gampang yang biasanya menugaskan kepada siswa untuk mengerjakan lembar kerja siswa (LKS) dan membaca sumbernya pun juga dari LKS yang menyebabkan siswa menjadi diam atau bahkan ramai karena saling mencontoh jawaban. Dalam evaluasinya pun juga ada yang berpaku pada soal-soal pilihan ganda yang membatasi berpikir siswa dalam memahami sejarah dalam arti luas.
Ketika kita melihat bagaimana kondisi guru, kondisi guru juga sangat memengaruhi proses pembelajaran sejarah kepada siswa. Misalnya, ketika guru mengalami masalah pribadi yang dibawa ke kelas atau proses pembelajaran dapat menyebabkan berbedanya suasana pembelajaran yang kebanyakan menjadi tidak menyenangkan. Selain itu juga ketika masih adanya guru yang berpikiran atau terpaku kepada tuntutan jam mengajar dan menjadikan atau menganggap pembelajaran sebagai suatu rutinitas itu-itu saja juga memengaruhi proses pembelajaran sejarah yang dapat menjadikan siswa juga menganggap pembelajaran juga sebagai rutinitas yang akhirnya siswa belajar sejarah hanya untuk mendapatkan nilai atau takut kepada guru hanya karena ancaman nilai.
Dewasa ini banyak guru yang tidak bisa mengembangkan seluruh kemampuannya sebagai guru. Penyebabnya ada beberapa, sebagian hanya karena kebetulan, tapi sebagian lainnya berakar cukup dalam. Dalam kaitan dengan sebab pertama, sebagian besar guru menghadapi kerja yang bertumpuk dan terpaksa menyiapkan murid-muridnya  untuk menghadapi ujian dari pada memberi mereka latihan kekebasan jiwa (Russell, 1988. 11).
Paradigma guru yang berpandangan pada orientasi rutinitas target pembelajaran menjadikan tujuan dari pembelajaran sejarah menjadikan manusia yang arif bijaksana dan mencetak manusia yang berkarakter baik menjadi dilupakan, sehingga pembelajaran sejarah hanya berorientasi pada apa yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sehingga, kurikulum kurang mampu dikembangkan bahkan tidak dikembangkan karena takut salah atau melenceng dari kurikulum atau pun target dari rencana program pembelajaran. Ragu-ragu atau takutnya guru akan target dari kurikulum menyebabkan guru menjadi tidak kreatif mengembangkan pembelajaran sejarah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi baik dari siswa maupun lingkungan pendukung yang mendukung pembelajaran sejarah, misalnya sejarah lokal.
Kurikulum adalah kehidupan itu sendiri, artinya kurikulum tidak dibatasi pada hal-hal yang bersifat akademik saja. Semua pengetahuan adalah merupakan produk berpikir melalui pengalaman. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat. Maka, pendidikan mengupayakan kehidupan sosial yang lebih baik serta sebagai agen pembaruan masyarakat. Etika juga bersumber dari kesepakatan sosial dan akan berubah manakala masyarakat berubah (Pidarta, 2013: 93).
Selain itu juga dalam pemanfaatan waktu atau jam pelajaran dalam pembelajaran sejarah, guru merasa sangat kekurangan jam pelajaran dengan materi sejarah yang banyak namun dibatasi waktu yang kurang atau pun sedikit. Hal tersebut karena kurang mantabnya program dan waktu yang dialokasikan dalam merencanakan pembelajaran sejarah. Sehingga dalam pembelajaran sejarah terkesan hanya mampir saja atau habis waktunya namun tujuannya tidak mengena.
Dalam pembelajaran dalam kelas, ketika guru tidak mampu menguasai kelas akan berpengaruh juga pada hasil dari proses pembelajaran. Apalagi ketika siswa menjadi ramai yang bukan ramai karena mengikuti pembelajaran dengan baik namun ramai karena tidak terkontrol. Hal tersebut dapat menyebabkan guru menjadi tidak mood dalam mengajar yang akhirnya pembelajaran menjadi tidak kondusif, sehingga tujuan dari pembelajaran tidak sampai kepada siswa.
Menjadi pendidik yang menyadari filosofi kebenaran akan nilai-nilai kehidupan, memang butuh waktu perenungan yang cukup lama, dan proses perjuangan yang panjang. Pendidik yang baik adalah pendidik yang mampu mengajarkan kemampuan tertentu untuk dapat hidup menyongsong masa depan di kalangan anak didik. Kemampuan-kemampuan ini meliputi tiga hal pokok, yakni (1) memberikan pengetahuan (knowledge), (2) meneguhkan sikap (attitude), (3) memberikan keterampilan (skill) (Salim, 2007: 29). Kriteria keberhasilan mendidik adalah memiliki sikap suka belajar, tahu tentang cara belajar, memiliki rasa percaya diri, mencintai prestasi tinggi, memiliki etos kerja, kreatif dan produktif, puas akan sukses yang dicapai (Pidarta, 2013: 312).
2.      Aspek Siswa
Siswa merupakan subjek dalam pembelajaran sejarah. Namun, dalam pembelajaran sejarah, tak sedikit siswa yang menganggap remeh pelajaran sejarah. Sejarah masih dianggap pelajaran yang berkaitan dengan menghafal dan banyak membaca, sehingga untuk siswa yang tidak suka membaca sejarah dianggap pelajaran yang membosankan. Namun, tidak sedikit pula siswa yang menikmati sejarah. Mereka menganggap sejarah adalah dongeng yang mampu membuat mereka berimajinasi tentang peristiwa masa lampau. Sehingga, banyak juga siswa yang menganggap pelajaran sejarah adalah suatu pelajaran yang menempatkan guru sebagai pencerita sejarah. Dalam belajar sejarah, memang biasanya siswa akan lebih senang apabila guru yang bercerita, namun juga dengan cerita tersebut dapat juga membuat siswa menjadi mengantuk maupun tidak semangat mempelajari sejarah.
Ketika pandangan-pandangan siswa terhadap sejarah demikian, bukan tidak mungkin bahwa tujuan dari pembelajaran sejarah tidak tercapai dengan baik. Siswa akan menganggap sejarah sebagai suatu pelajaran yang enteng, sehingga tidak mau belajar sejarah dan menganggap sejarah merupakan pelajaran yang tidak begitu penting. Padahal, jika pembelajaran sejarah dikemas menarik dan membuat siswa selalu penasaran, maka pembelajaran sejarah akan dapat mengena pada diri siswa, apalagi ketika pemahaman sejarah meningkat menjadi kesadaran sejarah pada diri siswa. Sehingga, tujuan dari pembelajaran sejarah akan tercapai. Dengan membebaskan siswa untuk bebas berpikir dan bebas mengkaji tentang sejarah dengan dasar yang kuat, bukan tidak mungkin siswa akan memahami sejarah bukan hanya sebagai sebuah peristiwa melainkan mampu dijadikan sebagai pembelajaran hidup.
3.      Aspek Sarana Prasarana dan Lingkungan
Sarana prasarana dan lingkungan juga sangat memengaruhi proses pembelajaran sejarah. Kedua aspek tersebut secara langsung maupun tidak langsung merupakan salah satu aspek yang  mendukung dalam pembelajaran sejarah. Di sinilah pentingnya peran guru dalam pemanfaatannya dalam proses pembelajaran sejarah, baik sarana prasarana yang ada maupun interaksi dengan lingkungan sekitar sekolah yang mendukung dari proses pembelajaran sejarah.
Sarana prasarana sangat memengaruhi proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah, karena sarana prasarana tersebut yang membantu mendukung dalam proses pembelajaran di sekolah. Sarana prasarana juga dapat dijadikan sebagai tolok ukur pendukung utama pembelajaran di sekolah. Namun, ketika sarana prasarana yang kurang mendukung atau tidak memadahi, dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dari keberhasilan pelaksanaan pembelajaran. Hal tersebut juga akan memengaruhi semangat belajar dari siswa.
Akan sangat berbeda ketika sarana prasarana pendukung memadai dan sarana prasarana yang tidak memadai. Ketika guru terbiasa dengan sarana prasarana yang memadahi dan dihadapkan pada sarana prasarana yang tidak memadahi, maka pembelajaran pun akan kurang mengena kepada siswa karena apa yang direncanakan guru belum tentu sesuai dengan kondisi lapangan. Dalam pembelajaran sejarah misalnya, ketika guru terbiasa menjelaskan dengan menggunakan LCD proyektor (misal untuk menjelaskan dengan menggunakan power point  maupun ketika menampilkan sebuah gambaran atau media video) namun di sekolah tidak memiliki atau pun dalam kondisi mati listrik, akan terasa kurang mengena kepada siswa dan guru pun juga akan agak mengalami kesulitan ketika guru tidak siap dengan rencana-rencana lainnya.
Dengan sarana prasarana yang memadahi, guru akan lebih bebas memaksimalkan potensinya dan lebih kreatif dalam melaksanakan proses pembelajaran. Namun juga walaupun ada sarana dan prasarana yang medadai ketika guru tidak mampu menggunakannya juga akan sia-sia saja. Sehingga, sarana dan prasarana akan lebih baik jika sarana dan prasarana yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik.

Pembelajaran Sejarah yang Menyenangkan dan Menarik Minat Belajar Siswa
Kesiapan belajar secara umum adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Sementara itu kesiapan kognisi bertalian dengan pengetahuan, pikiran, dan kualitas berpikir seseorang dalam menghadapi situasi belajar yang baru. Kemampuan-kemampuan ini bergantung pada tingkat kematangan intelektual. Latar belakang pengalaman, dan cara-cara pengetahuan sebelumnya distruktur (Connell, 1974 dalam Pidarta, 2013: 232).
Dengan mempelajari sejarah didapat suatu konstruksi berpikir yang realistis-empirik, sesuai dengan fenomena sejarah yang ada. Seringkali orang lupa untuk belajar sejarah karena tidak memiliki kesadaran bahwa yang bersangkutan telah memihak atau mengembangkan prasangka (prejudice) pada konsepsi kekuasaan politik. Dengan demikian memahami sejarah setidaknya akan mendorong menjadi pribadi yang terbuka (open mind person) dan memiliki hati yang bersih dari berbagai prasangka dan penghakiman dini (early judgment). Memang untuk mempelajari sejarah dibutuhkan sikap kritis dalam memahami fenomenansecara utuh (holistic). Tetapi seringkali sikap ini secara tidak sadar membawa orang untuk menilai dan akhirnya memihak. Mempelajari sejarah, dalam konteks ini dimaknai sebagai pendekatan sejarah, yang tidak saja mengetahui atau menghafal kronologi peristiwa. Konteks sejarah menjurus kepada pengetahuan mengenai mengapa suatu masyarakat tertentu di masa lampau mengambil keputusan tertentu untuk menghadapi suatu masalah. Dengan cara ini sebuah analog dapat diproyeksikan, bagaimana masyarakat di masa depan mau mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapi masa depan (Salim, 2007: 18).
Guru bukan hanya harus tunduk pada suatu keyakinan, tapi ia pun harus menelan kenyataan pahit dan berhati-hati jangan sampai mengungkapkan suara nuraninya atas peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung (Russell, 1988. 5). Tidak ada orang yang bisa menjadi guru yang baik jika ia tidak memiliki rasa kasih yang hangat pada murid-muridnya serta hasrat yang murni untuk menanamkan di dada mereka apa yang mereka sendiri yakini berharga (Russell, 1988. 10).
Pendidik tidak hanya sekedar mengajak peserta didik belajar, melainkan juga mendidik bagaimana belajar untuk belajar. (Hariyono, 1995: 145). Dengan demikian, guru sebagai pendidik adalah sebagai motivator pembelajaran yang mengajak siswa untuk tertarik dengan belajar. Peserta didik tidak hanya dijejali dengan pelbagai kisah atau fakta sejarah sebanyak-banyaknya di dalam kelas, melainkan juga dirangsang untuk mengenali dan mengkaji peristiwa sejarah secara utuh dengan melakukan restrukturisasi pengetahuan dan kesadaran sejarah yang dimiliki (Hariyono, 1995: 145).
Dengan demikian, pendidik tidak akan merasa dikekang oleh kejar target dalam penyeleseian program pembelajaran atau materi sejarah yang ada di kurikulum. Pendidik lebih leluasa untuk mengembangkan pembelajaran sejarah sesuai dengan kemampuan siswa dan mengajak siswa untuk mengeksplorasi dirinya untuk tertarik belajar sejarah. Pembelajaran sejarah dibuat sedemikian rupa yang disesuaikan dengan pola pikir siswa, siswa diajak untuk menyelami dan membayangkan masa lalu yang dihubungkan dengan masa sekarang.
Dalam pembelajaran sejarah, guru menanamkan wawasan kepada siswa tentang pentingnya sejarah dalam kehidupan kini dan kehidupan masa yang akan datang. Sehingga di sini guru mengajak siswa dan mengarahkan siswa untuk menyadari pentingnya sejarah. Sejarah memberi wawasan, sehingga setiap orang yang ingin sukses menjadi pemimpin perlu belajar dari sejarah (Hariyono, 1995: 184). Intinya adalah guru tidak hanya mengajarkan sejarah sebagai suatu pelajaran sekolah tapi menekankan pada dengan belajar dari sejarah akan dapat memengaruhi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, siswa akan menyadari pentingnya sejarah bagi kehidupan.
Sejarah seyogyanya dimanfaatkan untuk mengerti masa lampau, sekarang, dan masa depan manusia. Sejarah dapat digunakan untuk menanamkan kekuatan mental seseorang. Melalui proses belajar mengajar sejarah yang menarik, dan memberi peran aktif pada peserta didik dapat mempertajam kesenangan pencarian dan penemuan baru (Hariyono, 1995: 185). Dengan demikian, guru diharapkan mampu mengoptimalkan kemampuan siswa untuk aktif dalam penemuan-penemuan baru dalam bidang sejarah. Bukan sejarah yang seperti dilakukan para ahli, namun minimal guru mampu membuat peserta didik menjadi sejarawan amatir yang mampu mengeksplorasi apa yang diminatinya.
Peserta didik perlu memahami bahwa sejarah merupakan produk manusia dan pada saat yang sama sejarah memengaruhi manusia. Hubungan dialektis realitas sejarah dengan manusia hanya mungkin pada anggota masyarakat yang berani menyikapi tradisi yang diterimanya tidak secara tradisional. Mereka dirangsang untuk berani melakukan dokonstruksi wawasan serta kesadaran yang sudah dimiliki berdasarkan pertimbangan yang didukung oleh nalar dan bukti yang akurat (Hariyono, 2014: 17).
Tantangan Pembelajaran Sejarah di Masa Depan
Era sekarang adalah era globalisasi yang di mana teknologi informasi sangat berkembang pesat. Apa yang kita butuhkan dapat dengan mudah kita jangkau. Perkembangan pergaulan, transformasi kebudayaan, bahkan akses-akses informasi dapat dengan mudah dijangkau. Apa yang terjadi di dunia bagian lain dapat kita ketahui dengan cepat dengan adanya internet, televisi, radio, bahkan gadget yang banyak dimiliki orang. Hal tersebut membuat banyaknya pengaruh asing yang masuk ke Indonesia. Dengan demikian, pentingnya pendidikan adalah untuk menyaring pengaruh-pengaruh asing yang datang. Hal tersebut merupakan tantangan bagi para pendidik dalam mengikuti perkembangan zaman namun tidak sampai terbawa arus zaman.
Seiring pergeseran tuntutan ke arah kebutuhan yang bersifat bendawi dan
diikuti dengan adanya pergeseran budaya insani, mata pelajaran sejarah menjadi kurang popular di masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda. Sikap demikian paling tidak akan menyebabkan pemahaman keliru sebagian guru sejarah ataupun siswa tentang makna pengajaran sejarah di sekolah. Lebih-lebih lagi apabila kenyataan ini dikaitkan dengan dinamika ilmu eksakta. Materi sejarah hanya dilihat sebagai materi hapalan karena berisi muatan materi yang membahas masalah bunuh-membunuh, berebut kekuasaan antar penguasa, ganti bergantinya raja. Hal tersebut akan menurunkan minat pandangan negatif terhadap pembelajaran sejarah. Oleh sebab itu, pentingnya guru memahami dan memahamkan sejarah sebagai sebuah peristiwa yang diambil makna baiknya sangat perlu dilakukan, agar pembelajaran sejarah semakin menarik dan tujuan dari pembelajaran sejarah dapat tercapai.
            Perkembangan teknologi yang begitu cepat adalah mempercepat guru maupun peserta didik dalam mengakses informasi. Banyak tulisan-tulisan sejarah yang diposting di internet, namun banyak juga tulisan-tulisan tersebut tidak memiliki sumber yang jelas. Banyak yang membuat fakta-fakta yang benar maupun juga fakta-fakta yang diada-adakan. Tulisan-tulisan sejarah banyak disampaikan dengan banyak versi sesuai dengan keinginan penulis atau yang memposting di internet tersebut. Apalagi apabila sejarah disangkutpautkan dengan politik, akan banyak yang menafsirkan berbeda-beda dan membuat bingung.
Peran guru dalam pembelajaran masa kini dan masa depan sangat diperlukan dalam hal membentuk sikap yang baik yang tetap menjungjung nilai-nilai kebangsaan. Dalam etika sarjana pendidikan Indonesia tercantum sebagai berikut: (1) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan jujur berdasarkan Pancasila dan UUD 45, (2) menjunjung tinggi harkat dan martabat peserta didik, (3) menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) selalu menjalankan tugas dengan berpegang teguh kepada kebudayaan nasional dan ilmu pendidikan, dan (5) selalu melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Pidarta, 2013: 287). Dengan demikian, pendidik harus tetap menjunjung nilai-nilai kebangsaan dan terus tetap mengembangkan pendidikan.  Pendidikan dituntut untuk mampu memperkenalkan nilai-nilai yang diperluas di masa depan, mengajarkan dan mengembangkannya dalam diri anak didik begitu rupa sehingga mereka kelak tidak saja mampu berdiri sendiri dalam hidupnya, tetapi secara bersama-sama mampu membentuk dan mengembangkan nilai-nilai tersebut menjadi modal sosial (Salim, 2007: 346).
Pembelajaran sejarah yang potensial menjadi salah satu obor dalam membuka wawasan dan menggapai kehidupan secara cerdas justru sering dianggap membosankan. Padahal perubahan zaman di era informasi dan globalisasi membutuhkan wawasan kesejarahan yang kuat sebagai basis mengembangkan kuasa diri. Untuk itulah pemahaman yang holistik dan dinamis akan makna kekuasaan dalam proses sejarah dapat menjadi peluang dalam menggali dan menumbuhkan kuasa diri pendidik dan peserta didik (Hariyono, 2014: 3). Dengan demikian, pentingnya guru dalam memberikan pemahaman sejarah sangat penting dilakukan melihat banyaknya informasi-informasi yang banyak simpang siur. Di sini peran guru menjadi dominan sebagai penengah dan mengambil sikap positif serta menanamkan sifat-sifat positif terhadap peserta didik dalam memahami sejarah.
Penutup
Mempelajari sejarah tidak hanya sekedar menghafal atau mengungkit-ungkit masa lampau saja. Namun, lebih pada bagaimana memahami hakekat makna suatu peristiwa masa lampau yang dapat digunakan pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dalam pembelajaran sekolah banyak sekali permasalahan yang terjadi di sekolah. Beberapa aspek yang memengaruhinya adalah mulai dari aspek guru, peserta didik, hingga sarana dan prasarana yang ada pada sekolah guna mendukung proses belajar dan pembelajaran di sekolah.
Pelajaran sejarah di sekolah yang terkesan menghafalkan akan membuat peserta didik menjadi bosan dan tidak tertarik dalam mempelajari sejarah. Sehingga, hal tersebut merupakan tantangan bagi guru sejarah untuk membuat pelajaran sejarah menjadi sangat menarik untuk dipelajari. Guru memiliki peranan penting dalam pembelajaran sejarah harus dapat membebaskan peserta didik dalam belajar sejarah, artinya siswa diberi kepercayaan dalam mengeksplorasi penelitian sejarah menurut apa yang peserta didik minati.
Dalam menghadapi perkembangan zaman pada era globalisasi, peranan guru dalam menyaring informasi-informasi sangat penting agar peserta didik tidak bersikap negatif pada peristiwa sejarah. Banyak peristiwa sejarah yang menggambarkan peristiwa perebutan kekuasaan, bunuh-membunuh, peperangan dan lain sebagainya. Hal tersebut akan membuat nilai etika dan estetika sejarah terkesan negatif. Sehingga, guru bertindak sebagai penengah dalam memahami sejarah.
Daftar Rujukan
Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya
Pidarta, Made. 2013. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Russell, Bertrand. 1988. Pergolakan Pemikiran. Jakarta: PT. Gramedia.
Salim, Agus. 2007. Indonesia Belajarlah: Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Hariyono. 2014. Kekuasaan dalam Proses Pembelajaran Sejarah: Membangun Kuasa Diri dan Harapan dalam Dunia yang Terus Berkembang. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Lokakarya Pembelajaran Sejarah di Tengah Perubahan, Fakultas Ilmu Sosial, Malang 27 September 2014.


[1] Mata Kuliah Problematika Pembelajaran Sejarah
[2] Mahasiswa Prodi S2 Pendidikan Sejarah, NIM: 140731807518

Tidak ada komentar:

Posting Komentar