Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 Juni 2015

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam sistem Pendidikan Indonesia



Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam sistem Pendidikan Indonesia[1]
Rendy Wahyu Satriyo Putro[2]
Pendahuluan
Perkembangan sebuah bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikannya. Pendidikan merupakan dasar dari suatu bangsa untuk mengembangkan atau mengubah arah haluan negaranya yang sesuai dengan cita-cita bangsanya. Pendidikan menghasilkan sebuah pemikiran dan pandangan dari setiap individu, kecerdasan sosial maupun sikap dan pandangan ke depan setiap individu juga ditentukan oleh pendidikannya. Sehingga perilaku maupun tata kehidupan masyarakat juga dipengaruhi oleh pendidikannya. Pendidikan juga memengaruhi kebudayaan suatu bangsa. Sehingga bangsa yang berbudaya juga lah bangsa yang berpendidikan.
Pendidikan tidak hanya diartikan sebagai pendidikan formal yang ada dan diselenggarakan oleh sekolah atau lembaga pendidikan saja. Namun juga ada peran pendidikan non-fromal dan juga pendidikan in-formal. Pendidikan non-formal merupakan pendidikan di luar pendidikan formal, yang dalam hal ini adalah pendidikan yang tidak berdasarkan pada suatu lembaga pendidikan yang diakui pemerintah sebagai pendidikan formal. Sedangkan pendidikan informal merupakan pendidikan yang dienyam dari lingkungan yang terdekat yaitu keluarga, sehingga pendidikan informal juga merupakan dasar dari pendidikan.
Keseimbangan antara pendidikan formal, pendidikan non-formal, maupun pendidikan in-formal perlu diselaraskan demi menunjang kemampuan berpikir yang mampu membuat individu menjadi arif bijaksana sebagai pemimpin masa depan bangsa. Namun, pada kenyataannya di kehidupan masyarakat masih banyak yang menganggap pendidikan yang terpenting hanyalah pendidikan formal, dan mengesampingkan pendidikan non-formal dan informal. Sehingga, generasi yang dihasilkan adalah generasi yang cerdas namun tidak memiliki kemampuan bertahan hidup di masyarakat atau cerdas tapi disalahgunakan. Oleh karena itu, pentingnya seluruh elemen pendidikan sangat mendukung perkembangan pendidikan yang mengarahkan bangsa mencapai cita-citanya.
Pendidikan juga tidak lepas dari pengaruh berbagai pandangan di dunia. Selain itu juga, keadaan alam maupun corak kehidupan masyarakat berpengaruh pada perkembangan pendidikan. Di Indonesia sendiri, pendidikan telah banyak mengalami perkembangan yang juga memengaruhi pola kehidupan masyarakat maupun mengubah pandangan hidup masyarakat hingga seperti sekarang. Namun, di sisi lain dari masuknya pengaruh pendidikan dari berbagai belahan dunia ke Indonesia, juga memiliki pendidikan yang diajarkan secara naluri oleh orang tua, yang biasa disebut pendidikan informal. Interaksi dalam masyarakat juga menjadi aspek dalam menyebarkan pendidikan, sehingga interaksi tersebut juga memengaruhi pola pikir maupun pandangan seseorang dalam kehidupan masyarakat. Pola pikir maupun pandangan hidup tersebut dituangkan dalam suatu adat budaya yang kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban. Sehingga, kemajuan sebuah peradaban juga dipengaruhi oleh tingkat kemajuan pendidikan.
Di Indonesia yang telah mengalami banyak perubahan zaman, mulai dari masa pra aksara, kerajaan-kerajaan Nusantara, kolonial, kemerdekaan hingga sekarang, secara otomatis telah mengalami perkembangan pendidikan yang banyak yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu. Watak  pribadi bangsa Indonesia yang mampu berinteraksi yang baik dengan bangsa-bangsa lain memberikan sebuah nilai yang baik bagi perkembangan pendidikan Indonesia. Mulai dari interaksi dalam perdagangan hingga masuknya pengaruh agama dan kolonialisasi hingga merdeka, memberikan konstribusi proses perkembangan pendidikan. Namun, dalam pengelolaannya atau pemahamannya juga tergantung dari masing-masing individu dalam menangkapnya, yang dalam hal ini pentingnya tujuan pendidikan dibangun untuk memberikan jalur yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Pada masa kolonial, pendidikan bagi rakyat Indonesia masih sangat terbatas, dan mulai terbuka semenjak adanya politik balas budi yang mewajibkan memberikan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Namun, pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan, batas-batas pendidikan masih diterapkan. Hal ini dikarenakan kekhawatiran pihak kolonial akan kemajuan pemikiran rakyat Indonesia sehingga mampu memberontak dan menginginkan kemerdekaan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi sesuatu yang penting untuk sebuah revolusi perubahan.
Soewardi Soerjaningrat merupakan keturunan bangsawan yang mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih baik. Namun tidak semudah seperti yang kita bayangkan, perjuangan tetaplah perjuangan dan itu terus diperjuangkan oleh Soewardi Soerjaningrat untuk bangsanya. Untuk lebih mendalami dan dekat dengan rakyat, Soewardi Soerjaningrat tidak memakai kebangsawanannya dan lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Perjungannya melawan kolonialisme di Indonesia beliau tuangkan dengan jalan pendidikan, karena beliau memahami bahwa dengan pendidikan akan mampu membangkitkan rakyat menuju cita-cita lepas dari belenggu penjajahan. Berkat jasa-jasa beliau, beliau dianugrahi sebagai Bapak Pendidikan Indonesia yang diabadikan dengan tanggal lahirnya sebagai hari pendidikan nasional, yaitu 2 Mei.
Kondisi Pendidikan pada masa Kolonial
Pada masa penjajahan, pendidikan Indonesia sangat kurang diperhatikan untuk rakyat Indonesia. Pendidikan formal hanya dapat dienyam oleh orang-orang tertentu dan sangat dibatasi. Namun, pendidikan non-formal tetap berjalan dan berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia, sebatas pendidikan yang diadakan di surau-surau maupun di pesantren. Setelah VOC bubar pada 1799, Indonesia menjadi daerah jajahan belanda dengan nama Hindia-Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Deandles yang agak memberikan perhatian bagi pendidikan rakyat Indonesia pada waktu itu. Pada tahun 1801, Deandles telah menyatakan bahwa perlu diselenggarakan pengajaran bagi anak-anak Jawa (Indonesia) untuk memperkenalkan kepada anak-anak itu tentang kesusilaan, adat istiadat, dan pengertian-pengertian agama, namu tidak dapat terealisasi karena tidak ada anggaran untuk pengajaran bagi rakyat Indonesia (Rifa’i, 2011: 58-59). Pada 1811-1816 pun ketika Indonesia dijajah Inggris pun belum sempat mengusahakan pendidikan untuk rakyat Indonesia. Baru setelah berhasil direbut kembali oleh Belanda, keluarlah surat keputusan tentang anggaran pendidikan bagi orang-orang Indonesia namun masih terbatas pada pegawai. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda ini, terdapat tiga jenis tingkatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Rifa’i, 2011: 59). Namun dalam kenyataannya, Pemerintah Hindia Belanda sampai dengan akhir abad ke-19 belum memikirkan pendidikan menengah umum dan pendidikan tinggi (Rifa’i, 2011: 71). Dasar pendidikannya mengacu semua pada pendidikan barat dan kebudayaan barat, dan bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan.
Pada masa itu juga, pendidikan Islam juga sudah berkembang di pedesaan, beberapa di antaranya telah menjadi besar dan dikenal dan muncul usulan untuk mengembangkannya sebagai pendidikan umum. Namun, Van der Chisj (inspektur pertama pendidikan pribumi) pada tahun 1885 menekankan bahwa tak ada manfaatnya untuk menjadikan lembaga-lembaga Islam tersebut dijadikan sebagai penyelenggara pendidikan umum (Salim, 2007: 199). Pada awal abad ke 20, Pemerintah Belanda mulai memperkenalkan sistem pendidikan barat untuk pribumi, yang sebenarnya model pendidikan barat ini telah berlaku di Indonesia sejak abad 17 namun masih diperuntukkan untuk keluarga Belanda yang tinggal di Ambon, sedangkan untuk golongan pribumi masih tertutup. Konsep pendidikan barat dapat lebih memenuhi kebutuhan untuk mengisi lowongan kerja dalam administrasi modern dengan gaji dan hasil yang lebih baik. Sistem pendidikan barat diadakan sebagai pelestarian status quo bagi anak para bangsawan yang untuk kemudian menjadi kepanjangan dari kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda (Salim, 2007: 199). Kebijakan-kebijakan pendidikan masa lalu tersebut masih memengaruhi konsep-konsep pendidikan di Indonesia pada zaman sekarang. Pendidikan Islam tidak dijadikan sebagai pendidikan umum, sedangkan konsep-konsep pendidikan umum juga mengacu konsep pendidikan yang diberikan Belanda, misalnya masih menggunakan kaidah-kaidah yang sesuai dengan model pendidikan Belanda yaitu sistem persekolahan. Konteks pendidikan yang dicanangkan Belanda merupakan bentuk pengukuhan kekuasaannya untuk menciptakan alat-alat birokrasinya agar diisi oleh kaum terdidik baik pribumi maupun warga non-pribumi (Rifa’i, 2011: 78).
Dengan diberlakukannya politik etis, berdampak pula dengan program pendidikan di Indonesia dengan banyak dibukanya sekolah-sekolah dan memberi banyak kesempatan seluas-luasnya kepada kaum pribumi untuk melanjutkan sekolah. Namun pada kenyataannya juga tidak semua kaum pribumi yang di terima di sekolah-sekolah Belanda dengan berbagai alasan. Walaupun Politik Etis salah satu aspeknya mengedepankan pendidikan bagi kaum pribumi, namun dalam pelaksanaannya Belanda tidak ingin memajukan pendidikan kaum pribumi, dan sekolah lanjut sangat dibatasi, kecuali untuk kaum bangsawan. Namun, pada perkembangannya, dengan pendidikan mampu menggugah semangat nasionalisme kaum pribumi terpelajar dengan banyaknya kaum pribumi terpelajar yang belajar ke luar negeri.

Latar Belakang Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Salah satu dari banyaknya kaum terpelajar pribumi tersebut adalah Soewardi Soerjaningrat yang juga merupakan keturunan kaum bangsawan. Walaupun Soewardi Soerjaningrat merupakan keturunan bangsawan, namun tidak serta merta hidup dalam kecukupan ekonomi, terutama untuk pendidikan. Keterbatasan ekonomi yang menghimpit kehidupan keluarganya di masa kecilnya tidak menghambatnya untuk maju dan berkembang dalam hidup, sekolah, dan belajar. Sementara sesama ningrat lainnya bergembira ria setelah tamat dari sekolah dasar dan meneruskan jenjang yang lebih tinggi, pada 1904 beliau dilanda kebingungan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ia tidak hanya bingung masalah biaya karena keluarganya tidak cukup berada dibandingkan dengan kerabat Pakualaman yang lain dan juga tentang mau ke mana melanjutkan sekolahnya (Samho, 2013: 48). Hal ini juga berarti tidak semua kaum bangsawan dapat mampu mengenyam pendidikan dengan baik, tergantung dengan motivasi belajar dari kaum bangsawan itu sendiri. Sedangkan kaum pribumi banyak yang ingin bersekolah namun tidak dapat bersekolah.
Akhirnya Soewardi Soerjaningrat memilih sekolah guru di Yogyakarta namun tidak sampai tamat, karena menyambut tawaran beasiswa di STOVIA yang ditawarkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo yang bertandang di Pakualaman. Namun di luar dugaan, beliau tidak berhasil menamatkan studinya di STOVIA dikarenakan sakit selama 4 bulan yang menyebabkan beliau tidak naik kelas yang hasilnya dicabut beasiswanya dan akhirnya beliau meninggalkan sekolahnya (Samho, 2013: 48-49). Meskipun gagal naik kelas dan drop out dari STOVIA, ia terus berjuang untuk mewujudkan idealisme dan cita-citanya dengan terus belajar, menulis, dan aktif dalam berbagai organisasi politik. Pengalaman pahit di STOVIA tidak menyurutkan semangatnya untuk terus maju dalam banyak hal, dan ia tetap dikenal oleh gurunya sebagai sosok yang berkualitas dan cerdas yang akhirnya mendorong direktur STOVIA untuk mengeluarkan surat istimewa yang menjelaskan bakatnya itu untuk mencari pekerjaan (Samho, 2013: 51-52). Sekolah yang telah ditempuhnya sekala kurang lebih lima tahun (1905-1910) itu memang memberi bekal berarti baginya terutama dalam hal penguasaan bahasa Belanda. Cita-citanya setelah keluar dari sekolah Dokter Jawa tersebut dicakupkan dalam sebuah kalimat ringkas, “memperjuangkan kemerdekaan manusia Indonesia secara total dan radikal (Samho, 2013: 38).
Sambil bekerja, ia mulai aktif terjun ke bidang jurnalistik yang merupakan awal karier perjuangannya dan menjadi alat perjuangan politik selanjutnya, ia mengungkapkan ide-ide besarnya, cita-cita untuk bangsanya. Bidang jurnalistik dijadikannya sarana atau alat pendidikan politik bagi bangsa Indonesia. Keaktifannya dalam menulis  juga yang menghantarkannya pada persoalan internering (Samho, 2013: 52-53). Internering di negeri Belanda (1913-1919) malah memperkaya dirinya dengan wawasan tentang pendidikan, pengajaran, jurnalistik, dan drama, bahkan berhasil memperoleh Europeesche Akte (Samho, 2013: 21).

Pada 23 Februari 1928, Soewardi Soerjaningrat mengganti namanya yang lebih merakyat, yaitu Ki Hadjar Dewantara dan sejak itu pula tidak menggunakan gelar kebangsawanannya di depan namanya dengan maksud agar dapat bebas dekat dengan rakyat dan merupakan perwujudan kerendahan hatinya (Samho, 2013: 27).
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan Indonesia
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, ia bahkan berhasil memperoleh Europesche Akte. Pada tahun 1915, Soewardi Soerjaningrat berhasil memperoleh akte guru. Dia mempelajari pandangan-pandangan tokoh-tokoh besar dalam pendidikan seperti J.J. Rousseau, Rabindrant Tagore, John Dawey, Kerschensteiner, Dr. Frobel dan Dr. Montessori. Dua tokoh yang terakhir itu sepertinya yang paling memengaruhi konsep pendidikan Soewardi Soerjaningrat yang diterapkan dalam Taman Siswa (Samho, 2013: 21).
J. J. Rousseau mengembangkan pemikiran bahwa pendidikan dilakukan dengan menggunakan pendekatan alami yang disebut sebagai pendekatan naturalistik. Rabinfrant Tagore dan John Dawey mengungkapkan konsep pendidikan imajinasi naratif yang menekankan pentingnya pendidikan seni. George Kerschensteiner mengembangkan cita-cita pendidikan tujuan hidup manusia yang tertinggi adalah mengabdi kepada negara. Pendidikan menurut Frobel adalah apa yang memimpin atau menuntun manusia kepada kepandaian berpikir (segi kognitif dari manusia) dan apa yang menghantar manusia pada  kesadaran diri yang lebih mendalam menuju sesuatu yang murni, tidak tercela (segi afeksi dari manusia). Sedangkan Montessori berpendapat bahwa setiap anak berkehendak untuk mengaktualisasikan bakat yang ada pada dirinya.
Ciri khas Perguruan Taman Siswa adalah memperlakukan anak (peserta didik) sebagai subjek pendidikan dan mengolah potensi-potensi mereka (intelektualitas, emosionalitas, sosialitas, dan spiritualitas) secara integratif. Sebagai embrio pendidikan Indonesia, Perguruan Taman Siswa boleh dipandang sebagai lembaga pendidikan pertama yang mengedepankan kekhasan nilai-nilai luhur dalam praksisnya yang menampilkan ciri khas bangsa Indonesia (Samho, 2013: 23). Ki Hadjar Dewantara memandang pendidikan adalah pilar utama dalam pembangunan kesadaran manusia di Indonesia akan hak-haknya sebagai manusia. Dari sanalah kesadaran mereka sebagai sebuah bangsa terbentuk, bahwa bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang memiliki kebebasan dan dapat menegaskan eksistensi kemanusiaannya ceraca utuh dan penuh. Dalam perspektif itu, pendidikan adalah aktivitas pembentukan kesadaran akan pentingnya menjadi pribadi yang humanis dan bertanggung jawab terhadap eksistensi kemanusisaan sesama manusia (Samho, 2013: 69-70).
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan dan pengajaran adalah daya upaya yang disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia. Pengajaran adalah pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan dan memberi kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian kepada anak-anak, yang dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Pengaruh pengajaran pada umumnya adalah memerdekakan manusia atas hidup lahirnya, sehingga ia menjadi pribadi pintar, cerdas, dan terampil. Sedangkan pendidikan adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak yang menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Samho, 2013: 74-75).
Menurut Ki Hadjar Dewantara, orang yang memiliki kecerdasan budi pekerti adalah orang yang senantiasa memikir-mikirkan, merasa-rasakan dan selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap (dalam perkataan dan tindakannya) yang pantas dan terpuji terhadap sesama dan lingkungannya. Ketika budi (pikiran) dan pekerti (tenaga) seseorang bersatu, maka bersatu jualah gerak, pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauannya yang lalu menimbulkan tenaga kepadanya (untuk bertindak yang selaras dengan nilai-nilai dan menimbulkan relasi yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sosialnya). Kecerdasan budi pekerti berkat pendidikan mengantar seseorang pada kemerdekaan hidup batin yang sifatnya ada tiga macam, yakni berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri (menguasai diri) (Samho, 2013: 75-76).
Berangkat dari keyakinan akan nilai-nilai tradisional, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa pendidikan yang khas Indonesia haruslah berdasarkan citra nilai kurtural Indonesia juga. Maka ia menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni pertama Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan; Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang pendidik selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus memrakarsai/memotivasi peserta didiknya untuk berkarya, membangun niat, semangat, dan menumbuhkan ide-ide agar peserta didiknya produktif dalam berkarya; Tut Wuri Handayani, artinya seorang pendidik selalu mendukung dan menopang (mendorong) para muridnya berkarya ke arah yang benar bagu hidup masyarakat (Tauhid dalam Samho, 2013: 78). Senada dengan ketiga semboyan pendidikan tersebut, metode pendidikan yang cocok untuk membentuk kepribadian generasi muda di Indonesia adalah sepadan dengan makna paedagogik, yakni Momong, Among, dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh (Samho, 2013: 78).
Pengajaran yang diberikan pada anak-anak di Taman Siswa dibagi dalam dua lapisan, yakni pertama, memberi pengetahuan atau kepandaian yang juga berpengaruh pada kemajuan batin (mendewasakan pikiran, rasa, dan kemauan); kedua, memberikan bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum, yakni mata pelajaran yang meliputi bidang kultural dan kemasyarakatan. Pembagian tersebut menuntut peran pendidik dengan isi dan nilai yang berbeda-beda. Metode Ngemong, Momong, Among, dan semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani bukan berasal dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang terpisah, pendidikan bukan hanya masalah bagaimana membangun  budi (pikiran, kognisi) namun juga pekerti (tenaga) anak-anak Indonesia, agar mereka kelak mampu menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang meng-Indonesia (mencintai dan memiliki kekhasan Indonesia) (Samho, 2013: 80).
Dalam menerapkan metode among, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan pentingnya tritunggal fatwa pendidikan untuk hidup merdeka, yaitu pertama tetep, antep, dan mantep, artinya pendidikan adalah upaya terencana untuk membangun ketetapan pikiran dan batin subjek didik; kedua, membentuk mentalitas ngandel, kandel, kendel, dan bandel dalam diri subjek didik, artinya pendidikan menekankan pengolahan kematangan batiniah menumbuhkan rasa percaya diri (ngadel) dan membentuk pendirian yang teguh (kandel) pada subjek didik sehingga mereka menjadi pribadi-pribadi yang berani dan tawakal, tidak menyerah; ketiga, pendidikan dilaksanakan untuk membangun kondisi neng, ning, nung, dan nang dalam kesadaran peserta didik, artinya upaya mendidik membentuk kesucian pikiran dan kebatinan subjek didik (neng), ketenangan hati (ning), dan membuat mereka menguasai diri (nung), dan kemenagan (nang) atas ego diri yang cenderung pongah dan serakah (Samho, 2013: 81-82).
Terkait dengan upaya mengimplementasikan metode among dalam koridor ketika fatwa pendidikan tersebut, Ki Hadjar Dewantara mengajukan lima asas pendidikan yang dikenal dengan sebutan Pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan) (Samho, 2013: 82). Pendidikan mesti dilaksanakan untuk maksud pemeliharaan atas dasar perhatian yang besar kepada kebebasan anak untuk bertumbuh lahir batinnya sesuai dengan kodratnya; menjadikan manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaganya; menjadikan manusia makhluk yang berbudaya dan memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional; menjadikan seseorang harus merasa satu dengan bangsanya dan perasaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan rasa kemanusiaan; serta persahabatan antar bangsa-bangsa.
Dalam Taman Siswa, sikap dan sifat hidup yang ditanamkan Ki Hadjar Dewantara ke dalam setiap anggota Taman Siswa sebagai dasar dan sikap perjuangan hidup mereka di tengah-tengah masyarakat adalah Trikon (kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi). Kontinuitas (atau dasar kultural) terkait dengan kebudayaan yang selalu dinamis dan terbuka untuk nilai-nilai baru dari luar. Konsentrisitas (dasar nasional) terkait dengan alam hidup manusia yang diyakini sebagai hidup berbulatan (konsentris). Konvergensi (dasar kemasyarakatan) terkait dengan kehidupan yang selalu bertaut erat dengan kehidupan masyarakat yang lebih luas (Samho, 2013: 90-91).
Kesimpulan
Ki Hadjar Dewantara memang keturunan ningrat, namun juga tidak hidup seenak golongan ningrat lainnya. Keterbatasan tidak menghalanginya untuk belajar dan berjuang demi kemerdekaan manusia Indonesia seutuhnya. Bakat yang dimilikinya dikembangkannya dan selalu menjawab peluang yang ada. Kesukaannya dalam bidang politik dan jurnalis membawanya kepada hukuman interering di negeri Belanda yang akhirnya membawanya sadar akan pentingnya pendidikan bagi perjuangan bangsa Indonesia. Sekembalinya ke Indonsia, berbekal dari pandangan-pandangan para pemikir pendidikan dunia yang memengaruhi padangannya, ia mengembangkan konsep pendidikan yang disesuaikan dengan kurlur budaya Indonesia. Pengembangan pendidikan itu dikembangkannya melalui Perguruan Taman Siswa yang ia bentuk. Metode yang digunakan adalah metode among dengan semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangu Karsa, Tut Wuri Handayani. Selain itu juga mengajukan lima asas pendidikan yang disebut Pancadharma dan mengajarkan sifat dan sikap hidup Trikon (kontinuitas, konsentrisitas, dan konvergensi).
Daftar Rujukan
Salim, Agus. 2007. Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Samho, Bartolomeus. 2013. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan Relevansi. Yogyakarta: Kanisius.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.


[1] Untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan dan Pembelajaran
[2] S2 Pendidikan Sejarah, NIM 140731807518

Tidak ada komentar:

Posting Komentar