Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 Juni 2015

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia: Pemaknaan Kedaulatan dan Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia



Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia:
Pemaknaan Kedaulatan dan Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia[1]
Rendy Wahyu Satriyo Putro[2]
Abstrak          : Proklamasi Kemerdekaan RI merupakan awal dari lahirnya Negara Indonesia dan awal dimulai kehidupan kenegaraan Indonesia. Diawali dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga pengakuan kedaulatan oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Keinginan penyatuan Nusantara telah digagas oleh para pemimpin Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu Buddha, mulai dari konsep Cakrawala Mandala Dwipantara dari Kertanegara hingga Hamukti Palapa Mahapatih Gadjah Mada, penyatuan Indonesia dimulai hingga sekarang menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 17 Agustus 1945 merupakan momen penyatuan Nusantara di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kata Kunci    : Proklamasi, Kedaulatan, Lahirnya Indonesia
Pendahuluan
Negara adalah salah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolitis terhadap kekuasaan yang sah (Budiardjo, 2008: 49). Sebuah negara dikatakan merdeka dan berdaulat apabila memiliki 4 syarat mutlak, yaitu memiliki wilayah, memiliki warga negara/rakyat (semua rakyat mendukung), memiliki lembaga-lembaga negara atau pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lain sebagainya), serta mendapatkan pengakuan kedaulayan dari negara lain baik secara de facto (sesuai dengan kenyataan) maupun de jure (resmi secara hukum). Keempat syarat tersebut mutlak ada pada negara yang berdaulat[3], apabila ada satu syarat tidak terpenuhi, maka negara tidak dapat dikatakan berdaulat. Sehingga, ketika sebuah bangsa atau pun suatu rakyat menginginkan kemerdekaan maka harus memiliki wilayah atau daerah yang memiliki batas-batas secara administrasi, kemerdekaan yang didukung oleh seluruh rakyat yang tinggal pada wilayah tersebut, berdaulat dan memiliki lembaga-lembaga negara yang secara resmi untuk mengatur dan mengelola negara tersebut, serta yang terakhir adalah adanya pengakuan kemerdekaan dari negara lain dengan dibukanya kedutaan besar negara lain di negara tersebut. Lantas, bagaimana dengan kemerdekaan Indonesia?
Kita ketahui bahwa Indonesia sebelum merdeka merupakan koloni dari Negeri Belanda yang telah lama menjajah Indonesia secara perlahan-lahan hingga menjadi wilayah seperti sekarang ini. Dalam penentuan sampai mana batas-batas wilayah Indonesia, terjadi banyak perdebatan di kalangan bapak pendiri bangsa. Hingga akhirnya Soekarno mengatakan bahwa wilayah Republik Indonesia adalah bekas jajahan Hindia Belanda. Sehingga, wilayah yang diklaim menjadi wilayah kedaulatan Republik Indonesia adalah bekas jajahan Hindia Belanda yang terdiri dari belasan ribu pula yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Minangas sampai Pulau Rote. Sehingga, ada pandangan pula bahwa Indonesia berdiri karena adanya Belanda karena wilayah Indonesia adalah wilayah dari jajahan Belanda di Hindia Belanda. Atau dengan kata lain Belanda adalah salah satu atau ikut mengambil bagian dalam penyatuan Nusantara menjadi Indonesia. Terlepas dari hal tersebut, memang tidak mudah menyatukan Indonesia seperti sekarang. Mulai dari konsep Cakrawala Mandala Dwipantara dari Kertanegara hingga Hamukti Palapa Mahapatih Gadjah Mada, penyatuan Indonesia dimulai hingga sekarang menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak serta merta Indonesia berdiri menjadi sebuah negara, dan tidak serta merta Republik Indonesia memiliki empat syarat sebuah negara merdeka. Banyak peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Indonesia menjadi sebuah Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Bahkan, bagaimana sebuah negara Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya dapat mampu bertahan menjadi sebuah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur yang sesuai dengan pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Bahkan menjadi sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam usia-usia mudanya mampu membuat dunia gempar. Selanjutnya, apakah perjuangan sampai pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia saja? Bagaimana memaknai peristiwa kemerdekaan Republik Indonesia dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia?
Kita ketahui sendiri bahwa contohnya negara-negara Arab yang memiliki satu bahasa yaitu bahasa Arab sehingga disebut sebagai negara-negara Arab yang merupakan satu bangsa, yaitu bangsa Arab saja satu bangsa dapat terpecah-pecah menjadi beberapa negara, Arab Saudi, Kuwait, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain. Korea yang merupakan satu bangsa dapat dipecah dalam perang dunia menjadi Korea Utara dan Korea Selatan yang dibedakan berdasarkan ideologi. Uni Soviet yang merupakan sebuah negara adi kuasa pada masa kejayaannya juga terpecah-pecah menjadi beberapa negara yang merdeka. Sedangkan apabila kita mengaca di Indonesia, Indonesia memiliki 1.128 suku bangsa (menurut BPS) yang memiliki bahasa yang beragam, budaya yang beragam, serta adat istiadat yang beragam pula. Namun, disatukan dengan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, Pancasila sebagai dasar negara dengan semboyannya “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetap satu jua.
Namun, tidak mudah menyatukan Indonesia dalam bingkai NKRI. NKRI tak lantas terbebas dari isu-isu kebangsaan, konflik-konflik baik vertikal maupun horisontal, sentimen etnis, bahkan dengan jumlah pulau yang banyak yang disatukan laut dan jumlah penduduk yang banyak pula, serta sumber daya alam yang melimpah, tidak menutup kemungkinan adanya isu disintegrasi. Lantas, bagaimana semangat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dapat menyebar di seluruh wilayah Indonesia? Dengan keberagaman suku bangsa Indonesia yang memiliki beragam adat istiadat, budaya, dan lain sebagainya, bagaimana simbol kesatuan dan persatuan Indonesia dapat terwujud menjadi ciri Indonesia?

Perjuangan Persatuan Bangsa Indonesia (Kondisional)
Indonesia merdeka tidak serta merta berdiri menjadi sebuah negara yang diakui oleh dunia internasional sebagai negara yang berdaulat. Banyak peristiwa yang melatarbelakangi sampai Indonesia merdeka menjadi negara berdaulat seperti sekarang ini. Sebelum Indonesia merdeka, telah berdiri mendahuluinya berbagai kerajaan di bumi Nusantara. Masa kejayaan Nusantara ditunjukkan dengan berjayanya Sriwijaya[4] dan Majapahit yang menjadi dua kerajaan dengan kekuatan yang diperhitungkan dunia. Diawali keinginan Kertanegara untuk menyatukan Nusantara dengan Cakrawala Mandala Dwipantara hingga Hamukti Palapa oleh Mahapatih Gadjah Mada, Nusantara bersatu dalam bingkai kerajaan-kerajan besar tersebut pada masa kejayaannya. Terjadinya perang saudara dan perebutan kekuasaanlah yang memecahbelah Nusantara dan belum terwujudnya cita-cita tersebut hingga masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara belum berhasil mempersatukan Nusantara.
Ditambah dengan kedatangan bangsa barat ke Nusantara yang berusaha menguasai Nusantara karena pada masa itu. Nusantara merupakan pusat penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah menjadi komoditi yang utama dalam perdagangan dunia dan diperebutkan oleh bangsa barat, bahkan hingga terjadinya perang salib. Perdagangan di laut tengah yang tidak aman karena perang salib sehingga menyebabkan adanya pelayaran samudera mencari sumber penghasil rempah-rempah. Hingga mereka sampai di Nusantara, akhirnya menjadi perebutan bangsa-bangsa barat untuk berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Kepulauan Nusantara dapat dianggap sebagai tempat pertemuan antara alam perdagangan Eropa Barat dan alam kebudayaan Islam yang berkembang di Hindia dan Asia Tenggara (Anshoriy dan Dri, 2008: 97).
Dalam hal ini, Belanda yang tampil dengan awalnya diwakili oleh kongsi dagangnya yaitu VOC. VOC dengan misi dagangnya berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah dan menjadi pusat perdagangan yang berkantor pusat di Batavia (Jakarta sekarang). Sejak saat itulah, perdamaian dan persatuan di Nusantara mulai terkotak-kotak dengan penerapan politik devide et empera yang dilakukan oleh VOC. Dengan politik tersebut, banyak terjadi konflik antar penguasa di Nusantara yang menyebabkan mau tidak mau Nusantara menjadi dikuasai bangsa barat. Hingga bubarnya VOC sampai Nusantara dikuasai langsung oleh pemerintah Belanda yang menjadikan Nusantara menjadi daerah koloninya hingga dinamai Hindia Belanda membuat penduduk pribumi menjadi lemah dan semakin melemah dengan legitimasi kekuasaan Belanda di Nusantara di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Belanda yang mampu menguasai daerah-daerah Nusantara di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda secara tidak langsung sebenarnya dapat dikatakan menyatukan wilayah Nusantara namun di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sistem-sistem pemerintahannya pun juga diatur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan persetujuan pemerintah Belanda. Bahkan, pemerintahan daerah pun diatur dibawah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Priyayi pribumi hanya diberi kekuasaan tidak lebih dari Bupati, yang dalam hal ini pun juga masih ada pejabat kontrolir di bawah Asisten Residen, Residen, hingga Gubernur Jenderal. Secara tidak langsung, pemerintahan pribumi berada di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda sangat memengaruhi kehidupan di Hindia Belanda. Dengan minimnya peran penduduk pribumi dan lemahnya legitimasi kekuasaan penduduk pribumi, menyebabkan penduduk pribumi menjadi orang asing di negeri sendiri atau dengan kata lain tidak berkuasa di rumahnya sendiri. Walaupun terjadi perlawanan dari berbagai daerah untuk memperjuangkan hak-haknya, namun perjuangan tersebut masih bersifat kedaerahan yang mampu diseleseikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Belum adanya kekuatan perjuangan persatuan secara nasional inilah yang menyebabkan Hindia Belanda sulit mencapai kemerdekaan.
Adanya kebijakan dari pemerintah Belanda berupa politik Etis mulai yaitu politik balas budi memulai perubahan pandangan penduduk pribumi, apalagi dengan adanya kebijakan pendidikan walaupun sebatas kaum priyayi. Dengan pendidikan, penduduk pribumi menjadi sadar pendidikan, dan kesadaran kebangsaan pun mulai muncul dari kaum-kaum terdidik. Diawali dengan berdirinya Boedi Oetomo, maka dibentuk dan berkembanglah sejumlah organisasi politik dan massa yang dijadikan sebagai alat perlawanan (Anhar Gonggong dalam Sularto dan Rini, 2010: xii).
Kebijakan Etis (Ethische Politiek) setelah tahun 1900, kondisi bagi munculnya apa yang disebut oleh Robert van Niel sebagai “Elite Indonesia Modern” terpenuhi (Legge, 1993: 30). Nama yang dipakai untuk menyebut politik kolonial yang baru yaitu politik etis. Salah seorang juru bicaranya yng terkemuka ialah van Deventer, penulis artikel yang berjudul “Hutang Budi”. Ia menuntut restitusi berjuta-juta uang yang diperoleh Negeri Belanda sejak berlakunya undang-undang Comptabiliteit pada 1867 (Kartodirdjo, 2014: 38). Menurut Anthony Reid dalam Wood (2005: 59), Nasionalisme Indis  dari E.F.E Douwes Dekker yang melihat Indonesia sebagai bangsa tunggal dihasilkan oleh Belanda dan siap untuk merdeka, dilihat sebagai sesuatu yang tidak meyakinkan. Dinyatakan bahwa Indonesia adalah konstruksi artifisial yang dibawa ke sebuah keberadaan oleh kekuatan luar daripada sesuatu dengan warisan sejati yang hanya perlu dihidupkan kembali dan diperkuat.
Proses di dalam periode Pergerakan Nasional 1908-1945 berlangsung terus dalam arti perjuangan untuk menjadi bangsa dan menjadi merdeka. Di dalam periode tersebut, pendidikan menjadi bagian yang sangat penting dalam berlangsungnya perjuangan tersebut. Pendidikan memegang peranan penting dalam berlangsungnya Pergerakan Nasional 1908-1945, paling tidak mengawali langkah di dalam bentuk perlawanan baru, strategi otak dengan orang-orang yang terdidik-tercerahkan (Anhar Gonggong dalam Sularto dan Rini, 2010: xii-xiii). BPUPKI, PPKI, dan Proklamasi Kemerdekaan adalah buah dari strategi otak itu (Anhar Gonggong dalam Sularto dan Rini, 2010: xiv). Hingga ketika Jepang jatuh, Hatta dan Soekarno muncul sebagai pemimpin bangsa Indonesia yang merdeka, 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan (Wood, 2005: 143).

Latar Belakang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Kausalitas)
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Junbi Cosukai didirikan oleh Jepang. Lembaga itu diumumkan berdiri  tanggal 1 Maret 1945 oleh Panglima Tentara Jepang, Kumaciki Harada. Kepada rakyat Indonesia, Pemerintah Jepang mengatakan pembentukan lembaga ini merupakan realisasi janji Jepang memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia (Sularto dan Rini, 2010: 9). Belanda yang telah lama berkuasa di Indonesia saja masih tetap ingin melanggengkan kekuasaannya di Indonesia. Sedangkan Jepang yang baru saja menduduki Indonesia memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia di suatu saat nanti. Janji biasanya tinggallah janji apabila hal tersebut dirasa sudah nyaman seperti tidak ada yang dijanjikan. Namun kita ketahui bahwa posisi Jepang di Asia Pasifik raya sudah mulai terdesak pada kancah perang dunia kedua. Hal tersebut terlihat sangat jelas sekali apabila tujuan dari janji tersebut adalah untuk menarik simpati rakyat Indonesia untuk mau membantu Jepang dalam perang Asia Pasifik raya dengan janji kemerdekaan Indonesia.
Dari nama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, terkesan bahwa Jepang mengawasi kaum-kaum nasionalis Indonesia yang berusaha memerdekakan Indonesia. Jepang perlu mengetahui usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia agar tetap terkendali oleh Jepang. Sepertinya terlihat adanya sikap tidak tulus sepenuhnya untuk kemerdekaan Indonesia. Namun, dengan posisi Jepang yang semakin terdesak dan Jepang mulai melemah dalam kondisi perang Asia Pasifik raya memungkinkan kekuatan pendudukan Jepang semakin melemah. Militer Jepang di Indonesia pun semakin melemah, dan beberapa Jenderal Militer Jepang banyak yang bersimpati dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Lima hari sidang resmi pertama BPUPKI yang dipimpin Ketua BPUPKI, dr. KRT Radjiman Wediodiningrat, tanggal 28 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945, menampilkan beberapa pembicara. Mereka diminta menguraikan pandangan mereka tentang dasar-dasar negara, falsafah dasar dan rancangan undang-undang dasar (UUD). Mereka adalah Prof. Muhammad Yamin, S.H., Prof. Soepomo, S.H., dan Ir. Soekarno. Sidang resmi kedua berlangsung tanggan 10-17 Juli 1945 dengan membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan UUD, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, pendidikan dan pengajaran (Sularto dan Rini, 2010: 14-15). Pertanyaan pendek namun memerlukan jawaban panjang yang argumentatif adalah ketika dr. Rajiman Wediodiningrat bertanya kepada anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada bulan Maret 1945: “Apakah dasar bagi negara merdeka kelak?”. Ir Soekarno memberi jawaban atas pertanyaan itu yang kemudian dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila” pada 1 Juni 1945 (Zuhdi, 2014: 497).
Pada bulan Juli 1945, semua unsur di kalangan Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada Indonesia dalam waktu beberapa bulan. Pada bulan Maret, Amerika telah berhasil merebut Iwojima dan mulai menggunakannya sebagai pangkalan pesawat pengebom untuk melancarkan serangan-serangan terhadap Jepang (Ricklefs, 2008: 442). Di tengah suasana kemunduran dan kemerosotan mental Jepang yang disebabkan pasukan Jepang di berbagai daerah mulai dikalahkan pasukan Sekutu, pada tanggal 7 Agustus 1945 Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Sularto dan Rini, 2010: 15). Hal ini sangat terlihat jelas bahwa mental Jepang semakin menurun dan berusaha mengambil hati rakyat Indonesia dengan semakin menyegerakan janji kemerdekaan Indonesia. Tugas dari PPKI adalah bertindak sebagai badan yang mempersiapkan penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Jepang kepada badan tersebut dan menyeleseikan serta mengesahkan rancangan UUD dan falsafah negara yang sudah disiapkan BPUPKI (Sularto dan Rini, 2010: 15-16). Dengan berdirinya PPKI, secara otomatis BPUPKI bubar.
Pengumuman nama-nama pengurus PPKI pada tanggal 7 Agustus 1945 dianggap sebagai sidang pertama dan menurut rencana, sidang kedua akan diselenggarakan pada tanggal 16 Agustus 1945. Semua anggota panitia adalah orang Indonesia, sementara Soekarno dan Hatta diangkat masing-masing sebagai ketua dan wakil ketua. Pada hari berikutnya, 8 Agustus, Soekarno bersama Hatta dan Dr. Rajiman berangkat ke Dalat di Indocina. Di sini mereka bersepakat dengan panglima tertinggi Bala Tentara Jepang di Asia Tenggara bahwa Indonesia akan mendapat kemerdekaan pada 24 Agustus 1945 (Caldwell dan Ernst, 1979: 149).
Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945, dengan demikian menghadapkan para pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang berat. Karena pihak Sekutu tidak mengakhlukkan kembali Indonesia, maka kini terjadi suatu kekosongan politik, pihak Jepang masih tetap berkuasa namun telah menyerah, dan tidak tampak kehadiran pasukan Sekutu yang akan menggantikan mereka. Rencana-rencana bagi kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang secara teratur kini tampaknya terhenti, dan pada hari berikutnya Gunseikan telah mendapat perintah-perintah khusus supaya mempertahankan status quo sampai kedatangan pasukan Sekutu (Ricklefs, 2008: 443-444).
Rencana sidang kedua PPKI gagal, pada tanggal 16 Agustus 1945 dini hari Soekarno dan Hatta diculik sejumlah pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok, Jawa Barat. Sejumlah pemuda yang dipelopori oleh anggota pasukan Pembela Tanah Air (PETA) dan mahasiswa kelompok militan mengibarkan bendera Merah Putih di Rengasdengklok, di sebuah asrama tentara Peta (Sularto dan Rini, 2010: 16-18). Penculikan ini dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan Peta dan Heiho. Ternyata tidak ada pemberontakan sama sekali, sehingga Soekarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang. Mereka menolak melakukan hal itu. Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat, maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak peduli bilamana kemerdekaan dinyatakan (Ricklefs, 2008: 444).
Menurut Taufik Abdullah dalam Sularto dan Rini (2010: 19), peristiwa Rengasdengklok sebagai peristiwa penting karena berkaitan dengan tanggal Proklamasi. Kalau karena ini, maka semua unsur dari penculikan itu tidak lebih dari sebuah gangguan, aberration saja dari proses sejarah. Karena penculikan itu Proklamasi Kemerdekaan RI mundur sehari. Sehingga Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945.

Makna Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Kontekstual)
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan tonggak penopang “ingatan kolektif” (collective memory) yang berfungsi mengingat semangat persatuan bangsa dan menyatukan seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas hingga Rote sebagai wilayah RI. Perjalanan panjang bangsa di kepulauan untuk membebaskan diri dari penjajahan telah berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya. Proklamasi 17 Agustus 1945 dianggap sebagai awal revolusi atau disebut juga perang kemerdekaan (Zuhdi, 2014: 509).
Menurut Bagir Manan dalam Hamidi (2006: 72), proklamasi itu merupakan bentuk pemberontakan bangsa Indonesia kepada Pemerintah Hindia Belanda (menurut kacamata pemerintan kolonial), tindakan tersebut bisa diterima karena dikehendaki dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Sedangkan menurut Yamin (1952: 19-23), Proklamasi Kemerdekaan adalah suatu alat hukum internasional untuk menyatakan kepada rakyat Indonesia mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri untuk menggenggam seluruh hak kemerdekaan yang meliputi bangsa, tanah air, pemerintahan, dan kebahagiaan masyarakat. Dengan proklamasi tersebut, terbentuklah sebuah negara baru, yakni negara Indonesia yang merdeka, dan dengan itu tatanan hukum kolonial Hindia Belanda terhapus dengan sendirinya, dan di atasnya terbentuk tatanan hukum baru (Hamidi, 2006: 73).
Fenomena yang dapat diinterpretasikan tentang Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah suatu sikap “low profile”. Sikap itu dapat dilihat dari dua fakta: pertama mengenai proklamasi kemerdekaan yang dilakukan di rumah Soekarno, di jalan Pegangsaan Timur 56, dan tidak seperti direncanakan semula yakni di Lapangan Ikada, Gambir. Kedua mengenai bunyi proklamasi kemerdekaan yang sangat singkat dan kurang tegas (setidaknya dianggap oleh golongan pemuda yang revolusioner) (Zuhdi, 2014: 35). Dari kedua interpretasi tersebut menunjukkan bahwa Proklamasi dilaksanakan dengan sederhana dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, melihat bahwa situasi dunia yang masih berkecamuk perang dunia. Sedangkan Jepang sendiri walau telah tidak memiliki kekuasaan di Indonesia, namun diberi tugas menjaga status quo. Sehingga, agar tidak terjadi kekacauan, dengan kearifan para pemimpin Indonesia, proklamasi dilaksanakan dengan sederhana dan segera.
Rumusan proklamasi mungkin akan lebih pendek lagi apabila Moh. Hatta tidak menambahkan kalimat kedua, setelah Soekarno menuliskan, “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Menurut Hatta, kalimat itu tidak cukup, karena hanya merupakan suatu pernyataan abstrak tanpa isi. Selanjutnya menurut Subarjo (1972: 109) dalam Zuhdi (2014: 36) dikatakan isi, “ Kita harus mengantarkan kemerdekaan kita pada pelaksanaan yang nyatadan kita tidak mungkin dapat berbuat demikian tanpa kekuasaan berada di tangan kita. Kita harus menambahkan pikiran tentang penyerahan kekuasaan dari Jepang ke dalam tangan kita sendiri. Setelah itu timbullah pemikiran mengenai rumusan proklamasi yang tepat tentang ide penyerahan kekuasaan tersebut. Akhirnya Soekarno menuliskan kalimat, “Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Ternyata istilah “penyerahan” pun tidak dipakai, tetapi “pemindahan”. Sikap kehati-hatian dan perhitungan yang cermat telah dipilih golongan tua untuk menyatakan proklamasi kemerdekaan dengan segala konsekuensinya (Zuhdi, 2014: 36). Yang perlu dicermati lagi adalah apa yang dimaksud dengan kalimat “dan lain-lain”. Dan lain-lain di sini adalah kelengkapan negara, baik berupa dasar negara, undang-undang, pemerintahan, lembaga-lembaga negara, wilayah, kedaulatan, lambang negara, bendera negara, lagu kebangsaan dan lain sebagainya. Karena proklamsi yang bersifat mendesak, dan pernyataan pun tidak mungkin ditulis selengkapnya, maka kalimat “dan lain-lain” pun dinyatakan dalam proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pemerintah pusat Republik segera dibentuk di Jakarta pada akhir Agustus 1945. Pemerintah ini menyetujui konstitusi yang telah dirancang oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebelum menyerahnya Jepang. Akan tetapi, pihak Angkatan Laut Jepang meperingatkan bahwa orang-orang Indonesia yang beragama Kristen di wilayahnya tidak akan menyetujui peranan istimewa Islam, sehingga Piagam Jakarta dan syarat bahwa kepala negara haruslah seorang muslim tidak jadi dicantumkan (Ricklefs, 2008: 228).
Republik Indonesia telah lahir. Sementara itu Sekutu sebagai pihak yang menang yang hampir sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi di Indonesia selama berlangsungnya perang dengan tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka untuk menerima penyerahan pihak Jepang dan memulihkan kembali rezim kolonial. Akan tetapi, zaman Jepang telah menciptakan kondisi yang begitu kacau telah mempolitisasi rakyat dan telah mendorong para pemimpin dari generasi tua maupun muda untuk mengambil prakarsa sedemikian rupa sehingga pihak Sekutu menghadapi suatu perang kemerdekaan revolusioner (Ricklefs, 2008: 445).
Adanya isu bahwa Republik Indonesia buatan fasisme Jepang merupakan fenomena yang melemahkan posisi Republik, di satu pihak, akan tetapo dapat pula merupakan suatu kekuatan di pihak lain. Sebenarnya tidak tepat jika dikatakan bahwa Republik bikinan Jepang. Proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi pada saat Jepang sudah kalah perang, tetapi masih memegang kekuasaan (atas nama Sekutu) untuk menjaga status quo. Artinya bala tentara Jepang harus menghalangi atau bahkan menindas semua kegiatan yang mengakibatkan perubahan keadaan itu (Zuhdi, 2014: 35).
Bangsa Indonesia hanyalah berjuang untuk mencapai kemerdekaan yang berdasarkan hak menentukan nasib sendiri. Bahwa kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 sesungguhnya berdasarkan demokrasi dan sosialisme. Meskipun demikian, bekas pemerintah Belanda dulu dikepalai oleh van Mook dan van der Plas telah melakukan tindakan untuk menegakkan kembali pemerintah kolonial Belanda (Zuhdi, 2014: 41). Pernyataan van Mook pada 7 November 1945 tidak sesuai dengan kehendak rakyat, penuh dengan janji-janji yang tak terealisasikan, dan sebaliknya disertai tuntutan kembalinya susunan pemerintahan yang lama meskipun disertai kesanggupan akan ditempatkannya orang-orang Indonesia di jabatan-jabatan yang tinggi (Rutgers, 2012: 102).
Hal tersebut menunjukkan bahwa Belanda masih mengingingkan melanggengkan kekuasaannya di Indonesia dan tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Rakyat Indonesia sebaliknya menghendaki pengakuan atas Republik Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat penuh, meskipun atas dasar itu mereka menghendaki kerjasama yang seerat-eratnya dengan Negeri Belanda dalam berbagai aspek (Rutgers, 2012: 103). Sehingga, pada dasarnya para pemimpin Indonesia lebih menghendaki perjuangan yang bersifat diplomatis yang tidak ingin ada korban jiwa walaupun ketika terjadi banyak serangan juga melakukan perlawanan dengan bersenjata secara geriliya.

Penutup
Indonesia merdeka tidak serta merta berdiri menjadi sebuah negara yang diakui oleh dunia internasional sebagai negara yang berdaulat. Sejarah panjang yang mampu menyatukan bangsa Indonesia hingga lahirnya Negara Kesatuan Indonesia. Masa kejayaan Nusantara sebagai semangat juang untuk mempersatukan Nusantara. Perpecahan dalam kerajaan maupun kedatangan bangsa barat telah menciptakan rasa senasib sepenanggungan karena bercerai berai dirasakan sangat membuat segenap bangsa Indonesia menderita. Rasa persatuan semakin kuat ketika banyak perjuangan yang bersifat kedaerahan tidak mampu melawan penjajah dan tidak mampu menyatukan Indonesia.
Perang Dunia II memengaruhi kehidupan bernegara Hindia Belanda yang menyebabkan Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang akhirnya Hindia Belanda diduduki oleh Pemerintah Militer Jepang. Jepang seperti membawa angin segar bagi perjuangan yang bersifat nasional kepada Indonesia. Janji Jepang memberi kemerdekaan kepada Indonesia dibuktikan dengan pembentukan PPKI dan BPUPKI dalam merencanakan kemerdekaan Indonesia. Namun, pada akhirnya kemerdekaan Indonesia diproklamasikan sendiri oleh bangsa Indonesia ketika terjadi kekosongan kekuasaan, yaitu ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan Sekutu belum datang ke Indonesia. Hal tersebutlah yang dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin nasional Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan pemberian pesan ingatan kolektif kepada generasi muda untuk mempertahankan kemerdekaan dan memajukan Republik Indonesia.




Daftar Rujukan
Anshoriy, Nasruddin & Dri Arbaningsih. 2008. Negara Maritim Nusantara: Jejak Sejarah yang Terhapus. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Caldwell, Malcolm dan Ernst Utrecht. 1979. Sejarah Alternatif Indonesia. Terjemahan oleh Saut Pasaribu. 2011. Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe.
Hamidi, Jazim. 2006. Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, Vol. 2 No. 2: 68-86.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Legge, J.D. 1993. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir. Terjemahan oleh Hasan Basari. 2003. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Terjemahan oleh Tim Penerjemah Serambi. 2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Rutgers, S.J. 2012. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sularto dan Rini Yunarti. 2010. Konflik Di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Wood, Michael. 2005. Sejarah Resmi Indonesia Modern: Versi Orde Baru dan Para Penentangnya. Terjemahan oleh Astrid Reza dan Abmi Handayani. 2013. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Yamin, Muhammad. 1952. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Zuhdi, Susanto. 2014. Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok: Komunitas Bambu.


[1]Artikel Mata Kuliah Kapita Selekta Sejarah Indonesia
[2] S2 Pendidikan Sejarah, NIM 140731807518
[3] Sudah menjadi prinsip bahwa setiap negara tidak akan mau mengkompromikan kepada pihak mana pun mengenai hal-hal menyangkut kedaulatannya. Kedaulatan sebuah negara tercermin di dalam kemampuannya menjaga batas-batas wilayah teritorialnya dan keselamatan bangsanya (Zuhdi, 2014: 497).
[4] Cita-cita besar penggagas maritim untuk menata negara dan bangsanya, sungguh amat relevan dengan kenyataan historis kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan nasional pertama di Nusantara. Dalam panggung kawasan Asia Tenggara, kerajaan Sriwijaya tampil sebagai kerajaan yang besar, makmur, terhormat dan bermartabat (Anshoriy dan Dri, 2008: 50).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar