Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 Juni 2015

PENGARUH PERKEMBANGAN METODOLOGI SEJARAH TERHADAP HISTORIOGRAFI INDONESIA



PENGARUH PERKEMBANGAN METODOLOGI SEJARAH TERHADAP HISTORIOGRAFI INDONESIA[1]

Rendy Wahyu Satriyo Putro[2]

Pendahuluan

Sejarah merupakan ilmu karena dapat disusun secara sistematis dengan metodologi yang ilmiah untuk mendapatkan kebenaran mengenai peristiwa masa lampau. Sehingga, mempelajari metodologi sejarah sangatlah penting dalam mempelajari sejarah. Namun juga, pemahaman sejarah merupakan modal awal dalam penulisan sejarah. Sejarah memang tidak lepas dari masa lalu, namun banyak cara pandang orang atau peneliti sejarah dalam memahami sejarah.
Dengan memahami sejarah, orang akan belajar memahami hidupnya sehingga dapat menempatkan diri dengan baik dalam menjalani hidup yang baik. Sejarah merupakan sebuah cermin kehidupan yang dengannya kita dapat belajar dari masa lalu. Masa lalu bukan untuk dilupakan, namun masa lalu dapat dijadikan sebuah pelajaran. Sebuah pelajaran yang diambil sisi positifnya dan sisi negatifnya dijadikan sebuah pelajaran yang jangan pernah lagi diulangi pada masa yang akan datang.
Dalam memahami sejarah, banyak jalan dan banyak cara pandang yang sangat mungkin berbeda antar orang. Sehingga, diperlukan pemahaman yang luas dalam mempelajari sejarah. Tidak hanya satu pemahaman saja atau percaya pada satu sumber saja namun juga dari banyak sumber dan tidak boleh menjustice kebenaran. Kebenaran dalam sejarah memang sangat rumit dan relatif, ibarat koran, halaman yang kita baca di depan berbeda jika dilihat orang dari arah pandangannya (koran bagian belakang maupun dilihat dari samping hanya terlihat sebuah tumpukan kertas). Bendanya satu, namun banyak yang memaknainya. Sama halnya juga sejarah, peristiwanya satu namun banyak yang menafsirkannya berbeda-beda.
Sejarah merupakan sebuah ilmu yang dapat diteliti dan dapat dibuktikan secara empiris. Sehingga, seorang peneliti dalam menelusuri sejarah pun juga menggunakan metodologi sejarah. Metodologi sejarah mengalami banyak sekali perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Metodologi merupakan sebuah cara yang digunakan peneliti untuk menemukan apa yang ia cari. Dalam hal ini sejarah, dengan metodologi sejarah peneliti gunakan sebagai metode untuk mencari kebenaran dalam sejarah. Memang kebenaran itu relatif, namun hal itu merupakan usaha untuk mencari kebenaran dalam sejarah. Bukan pembenaran sejarah, namun kebenaran sejarah. Oleh karena itu, dengan metode yang sama pun namun fokus penelitiannya berbeda atau kajian sama namun yang ditemukan berbeda juga akan memengaruhi hasil dari penelitian sejarah.
Kajian-kajian sejarah yang semakin banyak dan semakin luas dengan metode sejarah yang sedemikian berkembang akan memengaruhi hasil dari penelitian sejarah tersebut. Sehingga, penelitian sejarah sangatlah bervariasi dalam hasil temuannya. Hasil temuan dari penelitian sejarah kemudian ditulis dalam sebuah tulisan yang dinamakan historiografi. Namun, dalam historiografi memiliki kekhasan masing-masing pada era masing-masing. Di Indonesia dengan berkembangnya zaman maupun era, historiografi mengalami berbagai perjalanan zaman dan mendapatkan tempat yang berbeda-beda. Setelah Orde Baru runtuh, banyak ahli-ahli sejarah yang mempertanyakan historiografi Indonesia. Sehingga dalam artikel ini akan membahas pemahaman sejarah, perkembangan metodologi sejarah, dan perkembangan historiografi Indonesia.

Pemahaman Sejarah

Sejarah adalah ilmu yang mandiri. Mandiri, artinya mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri (Kuntowijoyo, 2008: 2). Dari kekhasan ilmu sejarah harus ada pendekatan khusus untuk menerangkan gejala sejarah (peristiwa, tokoh, perbuatan, pikiran, dan perkataan) (Kutowijoyo, 2008: 4). Menurut Kuntowijoyo (2008: 10), penjelasan sejarah adalah hermeneutics dan verstehen, menafsirkan dan mengerti, penjelasan tentang waktu yang memanjang dan penjelasan tentang peristiwa tunggal. Sejarah berhubungan dengan gejala yang unik, sekali terjadi, dan terkait dengan konteks waktu dan tempat (ideographic) (Kuntowijoyo, 2008: 117).
Menurut Prof. J.M. Romein (1893-1962) dalam Ankersmit (1984: 1), ia membedakan sejarah teoritis atau teori sejarah dari filsafat sejarah, dengan memberi tempat pada teori sejarah antara filsafat sejarah dalam arti yang asli dan pengkajian sejarah sendiri. Teori sejarah diberi tugas untuk menyajikan teori-teori dan konsep-konsep yang memungkinkan seorang ahli sejarah mengadakan integrasi terhadap semua pandangan fragmentaris mengenai masa silam seperti dikembangkan oleh macam-macam spesialisasi di dalam ilmu sejarah. Adapun tugas teori sejarah ialah menyusun kembali kepingan-kepingan mengenai masa silam sehingga kita dapat mengenal kembali wajahnya. Sejarah reflektif adalah sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang dengannya ia berhubungan, melainkan yang ruhnya melampaui masa kini (Hegel, 1956: 5).
Bila seorang ahli sejarah menerangkan dan melukiskan masa silam, ia melakukan itu dengan menerima masa silam seperti adanya. Tetapi, seorang filsuf sejarah spekulatif tidak merasa puas dengan sikap seperti itu, ia mencari suatu struktur dalam yang tersembunyi di dalam proses historis yang menerangkan mengapa sejarah berlangsung demikian dan hanya dapat berlangsung demikian (Ankersmit, 1984: 3-4).
Dengan dilatarbelakangi filsafat sejarah, seorang peneliti sejarah lebih mampu mengadakan suatu penilaian pribadi mengenai keadaan pengkajian sejarah pada suatu saat tertentu (Ankersmit, 1984: 10). Filsafat sejarah tidak mengajarkan bagaimana pengkajian sejarah harus dilakukan. Akan tetapi, filsafat sejarah dapat menawarkan pengertian mengenai untung ruginya berbagai pendekatan terhadap masa silam dan menjadikan kita waspada terhadap pendapat-pendapat keliru mengenai tugas dan tujuan pengkajian sejarah (Ankersmit, 1984: 11-12).
Menurut Leopoldvon Ranke (1795-1886) dalam Ankersmit (1984: 211) bahwa tugas dari seorang peneliti sejarah bukannya menghakimi masa silam, bukannya memberi ajaran yang berguna kepada masyarakat mengenai masa datang, melainkan hanya menunjukkan bagaimana sebetulnya keadaan pada masa silam. Seorang sejarawan harus menghayati atau masuk ke dalam kulit seorang pelaku sejarah, masa silam harus dipahami dari dalam dari masa silam sendiri. Selanjutnya istilah historisme sering dipergunakan untuk menunjukkan sistem-sistem spekulatif tentang sejarah. Pendekatan historis terhadap kenyataan (sosio-historis), membuka kemungkinan untuk melacak hakikat obyek-obyek di dalam kenyataan (sosio-historis) itu, atau dengan kata lain, esensi atau hakikat obyek-obyek itu terletak di dalam sejarah (Ankersmit, 1984: 211-212).
Ankersmit (1984: 233) menjelaskan bahwa, interpretasi historis yang paling baik ialah penafsiran yang paling berhasil memperlihatkan keberkaitan antara sebanyak mungkin gejala historis. Namun, penafsiran sejarah yang paling berhasil pun, dan yang paling berhasil menunjukkan keberkaitan antara gejala-gejala yang diteliti, tidak merekam keberkaitan di dalam masa silam sendiri. Rupanya, masa silam sendiri merupakan wasit antara berbagai penafsiran historis dan memberi kesan bahwa penafsiran-penafsiran historis memang menunjukkan struktur-struktur tertentu yang secara objektif dapat kita tampilkan.
Sebuah sejarah yang beraspirasi pada lintas periode waktu yang panjang, atau yang bersifat universal, sebenarnya lebih dahulu harus berusaha memberikan gambaran individual tentang masa lampau sebagaimana itu sungguh-sungguh terjadi. Ia harus memaparkan gambarannya melalui abstraksi, dan ini meliputi bukan saja penghilangan atas peristiwa dan perbuatan, melainkan apa saja yang terlibat di dalam fakta bahwa pikiran, bagaimanapun juga merupakan pemberi contoh yang paling jelas (Hegel, 1956: 7).
Menurut Ankersmit (1984: 369-370) makna sejarah memiliki empat tafsiran. Pertama, kita dapat menafsirkan pertanyaan mengenai makna sejarah, sebagai sebuah pertanyaan mengenai tujuan terakhir yang dilaksanakan dalam perjalanan proses sejarah. Kedua, sebagai pertanyaan mengenai arti proses sejarah. Ketiga, sebagai pertanyaan mengenai tujuan dan gunanya pengkajian sejarah. Empat, sebagai pertanyaan mengenai arti pengkajian sejarah.
Secara universal, peristiwa sejarah selalu menggambarkan pertemuan antara satu nilai, keyakinan, pandangan, atau pun sikap hidup dengan nilai, keyakinan, pandangan, atau sikap hidup lainnya. Pertemuan itu dapat menyebabkan konflik, sehingga terjadi pertentangan antara satu kelompok masyarakat, etnis, suku bangsa, bangsa dan yang lainnnya. Peristiwa sejarah yang digunakan sebagai media dapat mengembangkan konflik tersebut dalam bentuk yang positif, tetapi juga negatif terhadap upaya membangun memori kolektif (Hasan, tanpa tahun terbit: 26)
Sejarah di masa lampau harus merupakan suatu sumber penting bagi kesadaran nasional (Abdulgani, tanpa tahun terbit: 19). Sehingga, pentingnya sejarah merupakan salah satu aspek penguatan kesadaran nasional dan penanaman rasa kebangsaan. Penanaman nilai-nilai yang baik dalam sejarah dapat dijadikan sebagai acuan dalam menjalani hidup masa kini dan merencanakan masa depan. Dengan memahami sejarah, kita diharapkan akan dapat lebih arif bijaksana dalam menjalani hidup.

Perkembangan Metodologi Sejarah

Metodologi sejarah ialah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi, dan penyajian sejarah (Kuntowijoyo, 2008: xix). Pengembangan metodologi sejarah berkenaan dengan perubahan-perubahan sesuatu peristiwa, sedikitnya didasarkan pada dua arah yang berlawanan. Pertama, melakukan deduksi dari yang umum ke yang khusus, dengan memperbandingkan model-model umum perubahan sejarah untuk melihat apa model-model peristiwa yang ditemukan dan dapat dimodifikasi. Kedua, melakukan induksi dari yang khusus ke yang umum dalam upaya menggambarkan proses perubahan pada masyarakat tertentu, dan untuk mencari keseimbangan beberapa refleksi tentang hubungan problematis antara peristiwa dan struktur (Abdurahman, 2007: 38).
Menurut Louis Gottschalk (1983: 32) dalam Abdurahman (2007: 53-54) menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.
Secara sederhana, penelitian sejarah dapat dijelaskan dalam beberapa langkah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi (Hariyono, 1995: 109). Sebelum keempat langkah ini, sebetulnya ada satu kegiatan penting yang oleh Kuntowijoyo (1995: 98) dalam Abdurahman (2007: 54) ditambahkannya menjadi lima tahap penelitian sejarah, yaitu pemilihan topik dan rencana penelitian.
Kenyataan di lapangan, mereka yang tertarik dengan ilmu sejarah cenderung enggan belajar matematika yang sangat membantu dalam belajar statistika (Hariyono, 1995: 109). Sehingga, tidak sedikit para sejarawan yang enggan dalam penelitiannya menggunakan kajian matematis. Metode penelitian kuantitatif kurang banyak digunakan dalam penelitian sejarah. Sedangkan metode penelitian kualitatif banyak sekali dipergunakan oleh para sejarawan. Hal tersebut sangat mungkin terjadi dan memang banyak terjadi karena kebanyakan sejarawan dalam pencariannya adalah mencari makna dari peristiwa yang terjadi, tidak mencari perbandingan. Karena memang sejarah tidak akan pernah terulang dan sejarah hanya satu kali peristiwa, walaupun dalam suatu waktu sejarah hampir mirip pola peristiwanya. Menurut Katznelson (1977: 11) dalam Nordholt, Purwanto, Saptari (2013: 21), periodeisasi merupakan sendi analisis sejarah dan ini menyangkut simplifikasi dalam derajat tertentu dalam artian bahwa kejadian-kejadian tertentu dan bukan kejadian lain yang dipandang sebagai ciri utama periode tertentu.
Penulisan-penulisan sejarah pada saat ini tidak hanya pada politik lingkungan kenegaraan atau membicarakan orang-orang besar saja, namun lebih banyak lagi dengan metode-metode sejarah yang sesuai dengan perkembangan zaman. Penulisan-penulisan sejarah tersebut meliputi sejarah lisan, sejarah sosial, sejarah kota, sejarah pedesaan, sejarah ekonomi pedesaan, sejarah wanita, sejarah kebudayaan, sejarah lokal, sejarah agama, sejarah politik, sejarah pemikiran, biografi, sejarah kuantitatif, dan sejarah mentalitas.
Dimulai dari sejarah lisan, sejarah lisan dapat dipastikan akan mendapat pasaran yang lebih luas. Wawancara sebagai sebuah kecakapan tampaknya tidak banyak memerlukan kenjlimetan berpikir. Teknik ini dipakai hampir-hampir oleh semua cabang ilmu sosial, termasuk jurnalistik. Sejarah lisan sebagai metode dapat dipergunakan secara tunggal dan dapat pula sebagai bahan dokumenter (Kuntowijoyo, 2003: 25-26). Dengan sifatnya yang kontemporer, sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir-hampir tak terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya yang tidak disebutkan dalam dokumen yang memungkinkan perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak dibatasi kepada adanya dokumen tertulis (Kuntowijoyo, 2003: 29-30).
Sejarah sosial merupakan gejala baru dalam penulisan sejarah sejak sebelum Perang Dunia II, tetapi baru mendapat tempat sekitar tahun 1950-an. Sejarah sosial mempunyai bahan garapan yang sangat luas dan beraneka-ragam. Kebanyakan juga mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah ekonomi, sehingga menjadi semacam sejarah sosial-ekonomi (Kuntowijoyo, 2003: 39). Sejarah sosial dapat mengambil fakta sosial sebagai bahan kajian dalam penulisan sejarah sosial.
Dalam sejarah kota, permasalahan yang menjadi bidang kajian sejarah kota sesungguhnya sangat luas sekali, seluas sejarah sosial sendiri, sehingga kadang orang menjadi heran apa saja yang tidak termasuk sejarah kota. Dari satu segi, sejarah kota dapat dimasukkan ke dalam sejarah lokal, dan dari segi lain dapat dimasukkan ke dalam sejarah lainnya, seperti sejarah ekonomi, politik, demografi, dan sebagainya (Kuntowijoyo, 2003: 63-64). Sehingga, sejarah kota juga masih sangat berkaitan dengan kajian-kajian sejarah lainnya. Sedangkan sejarah pedesaan ialah sejarah yang secara khusus meneliti tentang desa atau pedesaan, masyarakat petani, dan ekonomi pertanian (Kuntowijoyo, 2003: 74). Sedangkan sejarah ekonomi bukanlah interpretasi ekonomis terhadap sejarah, yang termasuk dalam sejarah pada umumnya. Namun lebih spesifik yang kongkret dan khusus (Kuntowijoyo, 2003: 94).
Kebanyakan dalam penulisan sejarah, tokoh yang diceritakan adalah kaum laki-laki, namun pada perkembangannya, peran wanita juga diperhitungkan dan juga menjadi bagian dari sejarah. Banyak tema mengenai sejarah wanita, yaitu peranan wanita dalam sektor sosial-ekonomi, biografi wanita, gerakan wanita, gambaran wanita, sejarah keluarga, budaya wanita, hubungan laki-laki dan wanita, kelompok-kelompok wanita, etnisitas, ekonomi, penerbitan sumber (Kuntowijoyo, 2003: 120-127). Belum banyak sejarawan yang mengkaji tentang peranan dari wanita yang dijadikan sebuah sejarah.
Dalam historiografi Indonesia, masih sangat jarang sejarawan yang tertarik untuk menulis sejarah kebudayaan, dimensi budaya dilupakan karena tekanan yang besar dalam penulisan sejarah politik dan sejarah sosial-ekonomi. Sejarah kebudayaan mempunyai peranan yang penting, karena hanya dengan melihat ke masa lalu kita akan dapat membangun masa depan dengan lebih baik (Kuntowijoyo, 2003: 133).
Pada 17-20 September 1984 di Medan, penulisan sejarah Indonesia telah diperkaya dengan adanya Seminar Sejarah Lokal. Dalam seminar itu telah dikemukakan lima tema pokok, yaitu dinamika masyarakat pedesaan, pendidikan sebagai faktor dinamisasi dan integrasi sosial, interaksi antar suku bangsa dalam masyarakat majemuk, revolusi nasional di tingkat lokal, dan biografi tokoh lokal (Kuntowijoyo, 2003: 145). Pentingnya penulisan sejarah lokal adalah untuk melegkapi sejarah nasional, sehingga sejarah lokal merupakan bagian dari sejarah nasional.
Dalam penelitian tentang agama dari perspektif ilmu-ilmu umum berbeda dengan penelitian agama dari sudut pandang ilmu-ilmu agama. Bedanya ialah ilmu-ilmu umum melihat agama dari sudut empirismnya, sedangkan ilmu-ilmu agama melihat dari segi normatifnya (Kuntowijoyo, 2003: 161). Sehingga, pada metode penulisan sejarah agama memerlukan berbagai pendekatan-pendekatan sejarah yang menyangkut tentang ilmu agama dari berbagai aspek.
Perbedaan pokok ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial (termasuk ilmu politik) ialah bahwa sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial meluas dalam ruang (Kuntowijoyo, 2003: 173). Kalau semula sejarah politik ialah sejarah kegiatan yang berhubungan dengan masalah pemerintahan dan kenegaraan, kemudian sejarah politik didefinisikan sebagai sejarah kekuasaan. Sejarah politik bukan lagi semata-mata menulis mengenai politik, tetapi tentang kekuasaan pada umumnya (Kuntowijoyo, 2003: 176).
Sejarah pemikiran adalah terjemahan dari sejarah pemikiran, sejarah ide, atau sejarah intelektual. Sejarah pemikiran dapat didefinisikan sebagai kajian jalan pikiran peristiwa dan proses sejarah. Untuk menghadapi tugas-tugasnya, sejarah pemikiran mempunyai tiga macam pendekatan, yaitu kajian teks, kajian konteks sejarah, dan kajian hubungan antara teks dan masyarakatnya (Kuntowijoyo, 2003: 191). Sedangkan biografi atau catatan tentang hidup seseorang, meskipun sangat mikro, menjadi bagian dalam mosaik sejarah yang lebih besar. Ada yang berpendapat bahwa sejarah adalah penjumlahan dari biografi (Kuntowijoyo, 2003: 203).
Sedangkan sejarah kuantitatif ialah penggunaan metode kuantitatif dalam penulisan sejarah yang berbeda dengan sejarah kualitatif dalam subject matter, prosedur, dan sumber. Sejarah kualitatif menggunakan hermeunetika berupa interpretasi terhadap pikiran, perkataan, dan perbuatan, sedangkan sejarah kuantitatif menggunakan teknik matematika. Dengan teknik matematikanya, sejarah kuantitatif lebih objektif, lebih mendekati kebenaran, sebab tidak tergantung interpretasi sejarawan yang bisa subjektif (Kutowijoyo, 2003: 219-220).
Sama dengan sejarah kuantitatif, sejarah mentalis masih merupakan sebuah kemungkinan, tapi sebuah kemungkinan tidak jauh dari jangkauan. Sejarah mentalis dekat dengan tingkat kesadaran masyarakat, sumber sejarah mentalis tersedia mudah (koran, masyarakat, sejarah lisan), dan sejarah mentalis tidak memerlukan sumber asing, karena topik-topik kontemporer banyak sekali (Kuntowijoyo, 2003: 235).
Dari berbagai metode-metode sejarah di atas yang telah banya mengalami perkembangan, sebenarnya beberapa kajian-kajian sejarah tersebut saling berkaitan satu sama lain. Sehingga, kajian-kajian sejarah tersebut sangatlah kompleks untuk diteliti dengan berbagai fokus kajian sejarah. Pemilihan kajian-kajian sejarah tersebut dapat memberikan warna baru bagi penulisan sejarah Indonesia. Sehingga, sejarah tidak serta merta sesuatu yang besar, atau tidak serta merta berkaitan dengan kekuasaan maupun politik kenegaraan. Metode-metodenya pun sangat bervariasi sesuai dengan kajian yang akan diteliti. Dengan demikian, sejarah sangatlah luas dengan kajian-kajian yang dapat dikerucutkan dengan berbagai fokus penelitian dalam penulisan sejarah atau historiografi.

Perkembangan Historiografi di Indonesia

Masyarakat biasanya cenderung mengartikan sejarah dengan seluruh laporan tertulis tentang masa lampau. Sebagai laporan tertulis, kisah sejarah tentu disertai interpretasi sejarawan yang menulisnya (Hariyono, 1995: 132). Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Abdurahman, 2007: 76). Sedangkan menurut Hariyono (1995: 102) historiografi merupakan suatu kisah masa lampau yang direkonstruksi oleh sejarawan berdasarkan fakta yang ada. Dari sudut pandang ilmu sejarah sendiri, historiografi itu cukup menarik. Bagaimana suatu lingkungan kebudayaan melihat dan menggambarkan masa silamnya, membuka pengertian penting mengenai sifat kebudayaan itu sendiri.
Bila kita ingin mengenal dan memahami suatu kurun waktu tertentu, maka penelitian terhadap cara zaman itu menggambarkan masa silamnya tidak merupakan pendekatan yang paling jelek (Ankersmit, 1984: 3). Historiografi Indonesia modern baru dimulai sekitar tahun 1957 waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta, tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Agenda seminar itu meliputi filsafat sejarah nasional, periodeisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Dari sinilah mulai nasionalisasi atau menggunakan istilah saat ini pribumisasi historiografi Indonesia (Kuntowijoyo, 2003: 1).
Dalam perkembangan historiografi di Indonesia, beberapa corak historiografi cukup menonjol, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial dan historiografi nasional. Ketiga corak historiografi tersebut cenderung untuk menunjukkan unsur kejayaan dan kebesaran dari struktur kekuasaan yang dominan (Hariyono, 1995: 104). Sehingga, ada muatan-muatan kepentingan dari ketiga corak historiografi tersebut dalam pengungkapan sejarah.
Menulis sejarah, terutama sejarah nasional, bukan sekedar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga kegiatan yang bermakna politis. Berbagai klaim mengenai asal-usul, kedaulatan wilayah, legitimasi pemegang kekuasaan, status pahlawan nasional, siapa musuh dan siapa korban, peran atau nasib pengkhianat dan penjahat, siapa kaum elite dan kelompok tersisih, sudah lama menjadi pokok perdebatan sejarah, baik bagi pelaku politik maupun sejarawan (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 1). Sedangkan hisoriografi yang reflektif tidak saja menguji secara kritis metodologi sejarah, tetapi juga menguji dan merumuskan kembali berbagai klaim kebenaran dan menyelidiki terbentuknya klam kebenaran secara historis (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 2).
Historiografi nasional dapat diartikan bermacam-macam. Historiografi nasional dapat berarti penulisan sejarah yang merujuk pada fenomena dan peristiwa yang relevan bagi pembangunan nasion atau sejarah lisan, dan juga dapat berarti penulisan sejarah yang dapat diterapkan kepada negara-negara tertentu (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 6). Pembangunan nasion adalah salah satu tema tahun 1950-an dan penulisan sejarah nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses ini. Para sejarawan baru Indonesia membangun sejarah nasional mereka di atas basis kolonial (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 6).
Historiografi Indonesia mulai mencoba membuat sejarah nasional Indonesia berdasarkan pandangan Indonesia sendiri, bukan sejarah Indonesia dari pandangan kolonial. Sehingga, sejarah ideologis bangsa yang ditekankan untuk membentuk rasa kebangsaan. Misalnya berkaitan dengan masa kebesaran Sriwijaya dan Majapahit, bahkan Mr. Muhammad Yamin menuliskan sejarah 6000 tahun Sang Merah Putih sebagai legitimasi ideologis bangsa Indonesia. Menurut Yamin (1951: -) penyiaran pengetahuan tentang bendera Sang Merah Putih dengan hal menerbitkan buku ini mengandung maksud bahwa penjelasan yang bersandar kepada pengetahuan akan lebih merapatkan warga negara Republik Indonesia dengan tujuan pemeliharaan kemerdekaan Indonesia dan kedaulatan rakyat Indonesia. Cinta tanah air dan cinta kepada bangsa akan bertambah atas persemaian buah pikiran yang berdasar ilmu pengetahuan. Dengan demikian, jelaslah bahwa historiografi Indonesia pada tahun 1950-an bertujuan untuk memupuk rasa nasionalisme dan kebangsaan Indonesia.
Tahun 1950-an selalu menonjol sebagai periode yang tidak dapat dimasukkan ke mana-mana dalam kisah jelas tentang apa yang terjadi setelah itu. Kesulitan periode 1950-an ini sering dikatakan akibat dari visi pemerintahan Soeharto mengenai sejarah yang menekankan stabilitas dan peran utama yang dimainkan Angkatan Darat bagi negara, tetapi berakhirnya sejarah era Soeharto baru-baru ini tidak diikuti oleh perubahan pemahaman kita mengenai periode pascakemerdekaan (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 67).
Pada masa awal kemerdekaan, upaya untuk melihat sejarah dari aspek nasional, memandang sejarah dari masyarakat Indonesia sangat dominan. Sebagai konsekuensi dari pantulan kesadaran kultural, makan wajar bila historiografi yang berkembang adalah sejarah ideologis. Suatu sejarah yang berupaya untuk menanamkan suatu nilai-nilai, terutama semangat nasionalisme, heroisme dan patriotisme. Historiografi sebelum tahun 1970-an masih didominasi oleh pengetahuan sejarah. Bahkan tidak jarang sejarah menjadi bagian dari proses perjuangan mengusir imperialisme. Sejarah sebagai suatu bidang studi yang bersifat kritis, baru berkembang baik sejak tahun 1970-an (Hariyono, 1995: 104).
Setelah dilaksanakan Konferensi Sejarah Nasional pada tahun 1970, buk sejarah nasional yang harus membawa amanat ini, akhirnya terbit pada tahun 1975, hal pokok dalam sejarah ini ialah penetapan periode sejarah Indonesia (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 11-12). Nugroho Notosusanto-lah yang pada tahun 1970-an berhasil melakukan militerisasi historiografi Indonesia, terutama menyoroti peranan militer dalam menjaga keselamatan negara (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 11). Sejarah nasional merupakan narasi ketika negara menjadi sentral dan wakil-wakil negara merupakan aktor sejarah satu-satunya yang memiliki legitimasi. Sampai batas tertentu, sejarah pascakolonial Indonesia dapat dibaca sebagai serangkaian krisis yang mengancam persatuan nasional tetapi pada waktu yang tepat dapat diatasi berkat intervensi militer (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 13). Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya monumen-monumen yang berkaitan dengan militer sebagai pejuang pemersatu bangsa. Bahkan, adanya taman makam pahlawan (TMP) yang juga merupakan makam dari para pejuang-pejuang yang dalam hal ini adalah militer.
Historiografi nasional juga menekankan arsip negara (kolonial) sebagai fakta-fakta yang dapat dipercaya, berbeda dengan historiografi lokal yang dimasukkan ke dalam kategori dongeng rakyat (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 14). Ciri lain dari historiografi Indonesia dan juga Belanda ialah hampir tidak ada analisis menyeluruh terhadap negara kolonial sebagai seperangkat lembaga represif dan terhadap warisan pascakolonial (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 15).
Setelah Soeharto jatuh pada bulan Mei 1998, sejarah nasional menurut versi Soeharto tidak lagi dipercaya, tetapi sejarah alternatif belum muncul (Nordholt, Purwanto, Saptari, 2013: 17). Hal tersebut menyebabkan penanaman sejarah Indonesia sedikit-sedikit masih lekat dengan kuatnya penanaman sejarah pada era Orde Baru pada pembelajaran di sekolah-sekolah. Pada tahun 2004, diluncurkan buku pelajaran baru yang menyediakan tempat lebih besar bagi sejarah daerah.
Historiografi nasional selalu dilihat oleh pemerintah sebagai sebuah kunci yang penting untuk membangun kesadaran sejarah. Namun, tetap ada persoalan, yakni sampai sejauh mana kesadaran ini sepenuhnya terpatri dalam dada dan pikiran masyarakat. Meskipun negara membangun pemandangan sejarah yang lebih besar, tetapi tidak berarti pemandangan sejarah itu membentuk ingatan secara seragam (Jordan (2005: 39) dalam Nordholt, Purwanto, Saptari (2013: 24)).
Menurut Purwanto (2013: 275) baik sejarawan Indonesia maupun penguasa formal yang tidak pernah mengakui keberadaan orang kebanyakan dan kehidupan sehari-hari mereka secara historis. Berkaitan dengan hal itu, upaya untuk mengembangkan sejarah masyarakat, sejarah orang kebanyakan, dan sejarah kehidupan sehari-hari dalam kerangka sejarah sosial oleh sejarawan Indonesia sangat relevan bagi perkembangan historiografi Indonesia di masa depan. Usaha itu tidak hanya akan menghadirkan lebih banyak kenyataan dari masa lalu yang selama ini dilupakan dan diabaikan, melainkan juga akan menawarkan epistemologi dan metodologi tambahan bagi historiografi Indonesia, setelah sekian lama hanya tergantung pada tradisi sejarah positivistik dalam kerangka sejarah struktural dan sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang kadang-kadang sering diartikan secara salah.
Historiografi di Indonesia banyak mengalami perkembangan dalam penulisannya yang disertai dengan metodologi-metodologi yang baru. Setelah runtuhnya Orde Baru, historiografi Indonesia mulai banyak berani berkembang, walaupun pada masa Orde Baru juga mengalami perkembangan, namun masih dalam kekangan pemerintah. Sehingga, sejarah militer sangat dominan dalam historiografi Indonesia. Sedangkan kelokalan maupun penulisan sejarah sosial sangat terbatas dan sulit berkembang. Setelah Orde Baru runtuh, banyak sekali penulisan sejarah lokal maupun sosial yang berkembang. Tidak hanya saja menulis tentang politik, namun juga berkaitan dengan budaya, kuliner, mode, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Sejarah merupakan sebuah ilmu yang mandiri dengan permasalahan dan penjelasannya sendiri. Ilmu membutuhkan sebuah metode dan sejarah memiliki metode yang digunakan dalam penelitian sejarah. Suatu peristiwa sejarah pun memiliki banyak penafsiran atau dapat dikatakan multi tafsir. Oleh karena itu, penggunaan metodologi sejarah sangat membantu dalam penelitian sejarah.
Kajian dalam penelitian sejarah pun berkembang tidak hanya terpaku pada sejarah politik atau sejarah orang-orang besar, namun juga merambah pada sejarah sosial, budaya, lokal, sejarah orang kebanyakan, dan lain sebagainya. Penulisan-penulisan sejarah tersebut meliputi sejarah lisan, sejarah sosial, sejarah kota, sejarah pedesaan, sejarah ekonomi pedesaan, sejarah wanita, sejarah kebudayaan, sejarah lokal, sejarah agama, sejarah politik, sejarah pemikiran, biografi, sejarah kuantitatif, dan sejarah mentalitas. Sehingga, penelitian-penelitian sejarah menjadi sangat beragam dan luas yang mencakup segala aspek kehidupan masa lampau.
Sehingga, historiografi pun juga mengikuti perkembangan yang signifikan, terutama setelah runtuhnya Orde Baru. Namun, pada masa Orde Baru, sejarah seperti terbungkam dalam kekuasaan pemerintah. Historiografi Indonesia menjadi lemah dengan adanya kekuatan yang dikendalikan Orde Baru yang dalam penjelasan sejarah-sejarah Indonesia pada waktu itu syarat dengan muatan-muatan politik dan militer. Namun, dengan runtuhnya Orde Baru, penulisan sejarah menjadi beragam dan banyak juga yang mempertanyakan keaslian sejarah buatan Orde Baru.
Daftar Rujukan
Abdulgani, Roeslan. Tanpa tahun terbit. Di hadapan Tunas Bangsa. Jakarta: B.P. Prapantja.
Abdurahman, Dudung. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Ankersmit, F.R. 1984. Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Terjemahan oleh Dick Hartoko. 1987. Jakarta: Gramedia.
Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hasan, S. Hamid. Tanpa tahun. Problematika Pendidikan Sejarah. Naskah dalam Handbook Pendidikan Sejarah, dterbitkan oleh Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS-UPI.
Hegel, Georg Wilhelm Friedrich. 1956. Filsafat Sejarah. Terjemahan oleh Cuk Ananta Wijaya. 2012. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Henk Scuhulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari. 2013. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Yamin, Muhammad. 1951. 6000 Tahun Sang Merah Putih. Jakarta: Siguntang.


[1] Tugas Epistemologi dan Metodologi Sejarah
[2] S2 Pendidikan Sejarah, NIM 140731807518

Tidak ada komentar:

Posting Komentar