KETERLIBATAN AUSTRALIA DALAM KONFLIK
INDONESIA-BELANDA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945-1949[1]
Rendy Wahyu Satriyo Putro[2]
Abstrak : Keterlibatan Australia dalam Revolusi Fisik
di Indonesia tahun 1945-1949 menimbulkan tanda tanya besar, apakah benar-benar
Australia tulus membantu Indonesia atau ada sesuatu di baliknya. Dalam Perang
Dunia II, Australia adalah blok Sekutu dan pada awalnya adalah ikut membantu
Belanda, namun kemudian berbalik arah mencela Agresi Belanda di Indonesia dan
membantu Indonesia dalam penyeleseian konflik Indonesia-Belanda 1945-1949.
Salah satu peran dari Australia di Indonesia adalah melalui Komisi Tiga Negara
yang Australia adalah wakil dari Indonesia untuk penyeleseian konflik
Indonesia-Belanda hingga pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27
Desember 1949.
Kata Kunci : Australia,
Konflik, Indonesia-Belanda, Revolusi Fisik 1945-1949.
Pendahuluan
Indonesia
merdeka pada 17 Agustus 1945 yang sebelumnya dijajah oleh Belanda. Belanda
sendiri secara langsung memerintah Indonesia (Hindia Belanda) setelah VOC
dibubarkan pada 17 Maret 1798. Selanjutnya dipimpin oleh Marsekal Herman Willem
Daendels pada tahun 1808-1811 di bawah Prancis, karena Negeri Belanda telah
berada di bawah kekuasaan Prancis sejak tahun 1975 (Ricklefs, 2008: 243).
Kemudian pada bulan Mei 1811, kedudukan Daendels sebagai Gubernur Jenderal
digantikan oleh Jan Willem Jassens, yang telah menderita penghinaan akibat
menyerahkan Tanjung Harapan kepada pihak Inggris pada tahun 1806 (Ricklefs, 2008: 247). Dan
pada tahun 1811 Inggris menyerang Batavia yang merupakan jantung jajahan
Belanda dan pada 18 September 1811 Jassens menyerah di dekat Salatiga
(Ricklefs, 2008: 247), kemudian pimpinan Hindia Belanda digantikan oleh Thomas
Stamford Raffles pada 1811-1816 di bawah Inggris. Pada tahun 1816, Jawa dan
pos-pos Indonesia lainnya dikembalikan kepada
pihak Belanda sebagai bagian dari penyusunan kembali secara menyeluruh
urusan-urusan Eropa setelah perang-perang Napoleon (Ricklefs, 2008: 251). Kemudian 1816-1826, dipimpin oleh Gubernur
Jenderal Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen dan pada
1825-1830 Perang Jawa pun dimulai.
Pada tahun 1830
dimulailah masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa, untuk pertama
kalinya, pihak Belanda mampu mengeklsploitasi dan menguasai seluruh pulau ini,
dan tidak ada satu pun tantangan yang serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad XX (Ricklefs, 2008: 259).
Pada permulaan abad XX, kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah
yang paling mendasar dalam sejarahnya. Eksploitasi terhadap Indonesia mulai
kurang dijadikan sebagai alasan utama kekuasaan Belanda, dan digantikan dengan
pernyataan-pernyataan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia,
kebijakan ini dinamakan “Politik Etis”. Masa di mana kebijakan ini muncul
melahirkan perubahan-perubahan yang begitu mendasar di lingkungan penjajahan.
Sebenarnya, dalam kebijakan-kebijakan politik Etis terdapat lebih banyak janji
dari pada pelaksanaan, dan fakta-fakta penting tentang ekspolitasi dan
penaklukan sesungguhnya tidak berubah. Politik Etis berakar pada masalah
kemanusiaan dan sekaligus keuntungan ekonomi (Ricklefs, 2008: 327).
Antara tahun
1927 dan runtuhnya Belanda oleh Jepang pada tahun 1942, kebangkitan nasional
Indonesia mulai bergaya kurang semarak. Dalam masalah politik, gerakan
anti-penjajah melanjutkan langkah-langkah yang tidak menghasilkan apa-apa.
Rezim Belanda memasuki tahapan paling menindas dan paling konservatif dalam
sejarahnya pada abad XX. Rakyat daerah pedesaan tidak lagi memainkan peranan
politik yang aktif karena dikecewakan oleh pengalaman mereka dengan SI dn PKI
pada tahun-tahun sebelumnya dan juga karena mulai tahun 1930 dan seterusnya
mereka lebih disibukkan dengan usaha untuk mengatasi masa-masa sulit yang
ditimbulkan oleh depresi (Ricklefs, 2008: 288).
Pada tanggal 8
Desember 1941 (7 Desember di Hawaii), Jepang menyerang Pearl Harbour, Hongkong,
Filipina, dan Malaysia. Negeri Belanda segera mengikuti jejak sekutu-sekutunya
dengan menyatakan perang terhadap Jepang. Pada tanggal 10 Januari 1942,
penyerbuan Jepang ke Indonesia dimulai. Pada tanggal 15 Februari, pangkalan
Inggris di Singapura yang menurut dugaan tidak mungkin terkalahkan, menyerah.
Pada akhir bulan itu, balatentara Jepang menghancurkan armada gabungan Belanda,
Inggris, Australia, dan Amerika dalam pertempuran di laut Jawa. Tidak
mengherankan apabila rakyat Indonesia memberikan sedikit sekali bantuan kepada
pasukan kolonial yang terancam dan kadang-kadang dengan senang hati berbalik
melawan orang-orang sipil dan serdadu-serdadu Belanda. Pada tanggal 8 Maret
1942, pihak Belanda di Jawa menyerah dan Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh Stachouwer ditawan oleh pihak Jepang, berakhirlah kekuasaan
Belanda di Indonesia (Ricklefs, 2008; 418).
Dari sisi lain,
Belanda adalah bagian dari blok Sekutu pada Perang Dunia II dan negara terdekat
dari Indonesia yang juga anggota blok Sekutu adalah Australia. Australia dapat
dikatakan memiliki perang penting di Indonesia. Australia adalah bagian dari
negara-negara blok Sekutu termasuk Belanda, Inggris, dan Amerika yang juga ikut
terlibat dalam Perang Asia Pasifik termasuk di Indonesia. Ketika Belanda
menyerah kepada Jepang dan menduduki Indonesia, Jepang adalah ancaman utama
bagi Australia karena posisi Indonesia sangat dekat dengan Australia. Dari
pemaparan tersebut menarik untuk dikaji tentang peran dan keterlibatan
Australia di Indonesia sejak akhir Perang Dunia II hingga pengakuan kedaulatan
Indonesia dari Belanda.
Australia di Indonesia Pada Perang Dunia II
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun
1942, bahwa negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah
yang kini diduduki Jepang kepada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang
berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Menjelang akhir perang, tahun 1945,
sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara
Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan
Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah
kalah. Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh
satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas
MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area
Command/SWPAC). Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab
terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai
Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas
India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indocina. SEAC dengan
panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara dan
mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered
Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI), serta bertugas melucuti bala
tentera Jepang (Mari Mengenal Sejarah, 2012).
Peta Pembagian Kekuasaan Sekutu di Asia Tenggara Pada akhir
Perang Dunia II
Sumber: http://mustaqimzone.files.wordpress.com201002hindia-belanda.gif
Untuk
pelaksanaan tugasnya, Mountbatten kemudian mendapat bantuan dua Divisi
Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie J. Morsehead, yang karena
kekejamannya mendapat julukan “Ming the merciless” (Ming yang tak kenal ampun).
Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di
Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur lainnya. Ketika Perang Dunia II pecah,
Morsehead ditugaskan di Afrika sebagai komandan Brigade AIF 18, dan pada tahun
1941, dia menjadi Panglima Divisi 9. Tahun 1944 Morsehead diangkat menjadi
Panglima Tentara Australia 1 (1st Australian Corps), yang membawahi
Papua sampai Kalimantan. Jenderal MacArthur menugaskan Morsehead untuk menyerbu
pertahanan Jepang di Kalimantan, dan kemudian membantu Belanda untuk memperoleh
Indonesia kembali sebagai jajahan, sesuai dengan janjinya kepada van Mook dalam
pertemuan di pulau Tacloban, Filipina pada 10 Desember 1944. Dengan nama sandi
Oboe 1, penyerangan atas Kalimantan dimulai dengan penyerbuan pasukan Brigade
26 pada 1 Mei 1945 atas Pulau Tarakan. Pada 6 Mei kota Tarakan dan bandaranya
jatuh ke tangan tentara Australia, dan pada 22 Juni perlawanan tentara Jepang
di seluruh Pulau Tarakan berakhir. Pada 1 Juli 1945, Divisi 7 tentara Australia
mendarat di Balikpapan. Pendaratan ini merupakan pendaratan pasukan amphibi
terbesar dan terakhir yang dilakukan oleh tentara Australia pada Perang Dunia
II. Sasaran utamanya adalah menguasai ladang-ladang minyak yang sangat
dibutuhkan untuk keperluan perang tentara Sekutu (Hutagalung,
2006).
Latar Belakang Peran Australia dalam Penyeleseian Konflik
Indonesia-Belanda pada Masa Revolusi Fisik 1945-1949
Australia
merupakan negara yang terdekat dengan Indonesia, posisi Indonesia yang
strategis di antara dua samudra, yaitu Samudra Atlantik dan Samudra Hindia, dan
dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Posisi Indonesia yang dekat
dengan Australia dapat dikatakan sangat berpengaruh bagi Australia yang dapat
menjadi ancaman bagi Australia.
Ketika tentara
Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan memulai penyerbuan ke Pulau Jawa tanggal
1 Maret 1942, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke
Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke
Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan
Gubernur Jenderar Hindia Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan
Gubernur Jawa Timur, dan Simon Hendrik Spoor. Tahun 1946 Spoor, menggantikan
Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di
Indonesia. Tahun 1942 jumlah tentara Belanda yang berhasil melarikan diri ke
Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang dari
Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada
bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah
mencapai sekitar 5000 orang –termasuk orang Indonesia yang menjadi serdadu KNIL
seperti Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo (Hutagalung, 2006).
Setelah Perang
Dunia II usai yang dimenangkan oleh Sekutu, pada awal tahun 1945, pihak Sekutu
telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan perhatian pada
pulau-pulau di Jepang. Dengan demikian, pada saat terakhir, tanggung jawab atas
Indonesia dipindahkan dari Komando Pasifik Barat Daya Amerika kepada Komando
Asia Tenggara Inggris di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten. Tentu saja
Belanda ingin sekali menduduki kembali Indonesia dan menghukum yang telah
bekerja sama dengan pihak Jepang, tetapi mereka tidak sanggup melakukan hal itu
sendirian pada tahun 1945, sehingga harapan mereka kini tertumpu pada pihak
Inggris. Akan tetapi, Mountbatten nanti menunjukkan bahwa dia tidak berniat menaklukkan
Indonesia untuk Belanda; dia pun memang tidak memiliki cukup banyak serdadu
untuk melakukan itu. Dia menetapkan sasarannya secara terbatas: membebaskan
para tawanan bangsa Eropa dan menerima penyerahan pihak Jepang. Hal-hal lainnya
terserah kepada pihak Belanda; sebenarnya Mountbatten memperlakukan pemerintahan-pemerintahan
Republik yang ada di daerah-daerah sebagai kekuasaan de facto (Ricklefs, 2008: 453-454).
Di wilayah yang
dikuasai angkatan laut Jepang, revolusi terhenti pada awalnya ketika pihak
Sekutu bergerak masuk. Pasukan-pasukan Australia menerima penyerahan Jepang di
sana (terkecuali untuk Bali dan Lombok) dan bersama mereka datanglah
pasukan-pasukan dan pejabat-pejabat Belanda. Antara pertengahan bulan September
dan pertengahan Oktober 1945, Australia menduduki kota-kota besar di Indonesia
Timur, yang pada umunya terjadi sebelum pemerintahan Republik terbentuk di
daerah-daerah tersebut. Demonstrasi-demonstrasi dipadamkan dan beberapa pejabat
yang pro-Republik ditangkap. Raja-raja di Sulawesi Selatan yang pro Republik
memutuskan bahwa akan tidak bijaksana melawan tentara Australia, sehingga
dengan berat hati terpaksa membiarkan saja kembalinya orang-orang Belanda
(Ricklefs, 2008: 454).
Hubungan Indonesia dengan Australia sejak
kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tidaklah pernah benar-benar
baik. Bahkan di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi
militer Belanda 1945 – 1949, semula pemerintah Australia mendukung Belanda.
Akan tetapi serikat buruh Australia ternyata tidak mendukung kebijakan
pemerintahnya. Para buruh pelabuhan menolak untuk memuat logistik yang akan
dikirim untuk kepentingan tentara Belanda di Indonesia. Setelah menilai bahwa
Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan oleh Belanda dengan kekuatan
militer, maka sejak akhir tahun 1947 Australia kemudian berbalik haluan dan
bersikap seolah-olah membantu Indonesia setelah terlihat nyata, bahwa
Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia
memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan
kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan
berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang
baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia (Hutagalung,
2006).
Peran Australia dalam Penyeleseian Konflik Indonesia-Belanda pada Masa
Revolusi Fisik 1945-1949
Menurut George
(1980) dalam Siboro (1989: 166) mencatat bahwa pada waktu Indonesia berjuang
mempertahankan kemerdekaannya, pemerintah dan rakyat Australia memberikan rasa
simpati dan dukungan terhadap Republik Indonesia yang baru lahir itu. Bagi
Indonesia, sikap Australia itu dirasakan sebagai dukungan moral yang cukup
berarti. Pihak Indonesia pun mengetahui bahwa dua kali agresi militer Belanda
terhadap Indonesia, Australia selalu mencela Belanda.
Pada saat pertempuran masih terus
berlangsung di Jawa dan Sumatera, pada tanggal 30 Juli, Pemerintah Australia
dan Pemerintah India secara resmi menuntut agar Dewan Keamanan menghentikan
pertikaian senjata itu sebagai “suatu pelanggaran perdamaian” berdasarkan pasal
39 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga dengan demikian Australia
menjadi pemerintah pertama dalam sejarah yang menggunakan suatu pasal dari Bab
VII yang memberi kekuasaan kepada Dewan Keamanan untuk bertindak bila
perdamaian terancam atau dilanggar. Berdasarkan rencana resolusi Australia,
pada tanggal 1 Agustus Dewan Keamanan menyerukan penghentian permusuhan dengan
segera dan penyelesaian pertikaian melalui perantara atau cara-cara damai
lainnya (Critchley, 2011).
Ketika Belanda
melakukan Agresi Militer I, Australia-lah yang menasehatkan kepada pihak
Indonesia untuk meminta bantuan langsung kepada Sekretaris Jenderal PBB atau
dengan perantaraan India. Pada waktu Belanda melaksanakan Agresi Militer II,
Australia meminta kepada Dewan Keamanan PBB agar serangan Belanda itu segera
dihentikan (Siboro, 1989: 166).
The action of the Netherlands cannot be
condone. To ignore is to condone; to delay is to condone. The Council....should
immediately measures it can within its authority to bring peace to Indonesia....
Tindakan dari Belanda tidak dapat dimaafkan. Mengabaikan berarti mengampuni;
menunda bearti membiarkan. Dewan....harus secepatnya bertindak dengan
kewenangannya untuk membawa perdamaian untuk Indonesia......(George, 1980: 128)
dalam Siboro (1989: 167).
Melihat sikap
Australia seperti itu, kiranya sangat beralasan pilihan Indonesia terhadap
Australia ketika PBB membentuk Komisi Jasa-jasa Baik atau lebih terkenal dengan
nama Komisi Tiga Negara, untuk menengahi perselisihan antara Indonesia dengan
Belanda. Agar dapat melaksanakan tugasnya lebih efektif, komisi ini kemudian
ditingkatkan menjadi United Nations Commission on Indonesia (UNCI). UNCI terus
mengawasi perundingan antara Indonesia dengan Belanda; mulai dari perundingan
di atas kapal Renville sampai dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) (Siboro,
1989: 167).
Meskipun Australia bukan menjadi
Anggota Dewan melainkan hanya menjadi Anggota Komisi Jasa Baik atau Komisi Tiga
Negara bentukan Dewan Keamanan, Australia mengerahkan semua kemampuannya dengan
memanfaatkan hak-hak yang ada utuk ikut berdebat dengan anggota Dewan (Adil,
1993:84). Akhirnya, AS pada tanggal 21 Agustus 1947 melalui Departemen
Luar Negeri AS memberitahukan kepada Belanda bahwa AS akan mengusulkan kepada
Dewan Keamanan PBB agar menawarkan jasa-jasa baiknya kepada pihak yang
bersengketa (Said, 1984: 39).
Usul tersebut
diterima oleh DK-PBB tanggal 25 Agustus 1947 yang selanjutnya menjadi keputusan
PBB untuk membentuk suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa
Baik) yang kemudian dikenal sebagai KTN (Komisi Tiga Negara) (Sabir, 1983:
104). KTN adalah suatu
panitia yang terdiri dari tiga anggota yaitu Australia (dipilih oleh
Indonesia), Belgia (dipilih oleh Belanda) dan Amerika Serikat yang dipilih oleh
Australia dan Belgia. Panitia ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan
tanggal 25 Agustus 1947 sesudah pada tanggal 21 Juli tahun itu juga Belanda
atas anjuran Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, menyerang R.I (Critchley, 2011).
Menghadapi
sengketa Indonesia-Belanda yang semakin memuncak, maka Komisi Tiga Negara
mengambil beberapa langkah penyelesaian dengan mengusulkan kepada forum PBB
melalui DK PBB untuk membahas dan mengambil tindakan yang dianggap perlu atas
segaka kejadian di Indonesia. Namun demikian, usaha KTN melalui PBB menemui
banyak perbedaan persepsi tentang keadaan yang terjadi di Indonesia, sehingga
usul tersebut tidak mendapat tanggapan. Berkali-kali KTN mengirimkan laporan ke
DK PBB tetapi tidak pernah mendapat jawaban (Moedjanto, 1991: 26).
Komisi Tiga Negara merasa bahwa ia
berhak mengambil inisiatif. Tanpa menunggu tibanya kapal perang Amerika
“Renville” di mana akan dilangsungkan perundingan, KTN mulai berusaha agar
gencatan senjata terlaksana. Pada tanggal 14 Nopember KTN bertemu dengan
Panitia-panitia Khusus dari pihak Indonesia dan pihak Belanda. Dr. Leimena
memimpin Panitia Indonesia, dan Jhr. Van Vredenburg memimpin Panitia Belanda (Critchley,
2011).
Setelah
peristiwa Agresi Belanda II, forum PBB mulai gencar memperhatikan permasalahan
yang ditangani KTN. Muncullah resolusi yang mengecam tindakan Belanda. Selama
terbentuknya KTN hingga berakhirnya sengketa pada tanggal 27 Desember 1949,
selama kurang lebih tiga setengah tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan sidang
mengenai sengketa itu lebih dari 90 kali (Kustiniyati, 1989: 8).
Pada tanggal 28
Januari 1949, PBB mengeluarkan suatu resolusi yang menyerukan kepada kedua
pihak untuk menghentikan tembak-menembak dan lain-lain yang berhubungan dengan
sengketa tersebut. Akhirnya resolusi itu menetapkan perubahan KTN menjadi
Komisi PBB untuk Indonesia, yaitu UNCI (United Nations Commission for
Indonesia) (Said, 1984: 57).
Ketika
kemerdekaan Indonesia mencapai pengakuan internasional pada akhir tahun
1949—dalam bentuk RIS sesudah KMB—barang kali Australia berada pada posisi yang
lebih tinggi dalam memberikan penghargaan dibandingkan dengan negara-negara
lain. Bahkan Australia beranggapan, bahwa Australia-lah “sponsor” kemerdekaan
dan keanggotaan Indonesia di PBB. Berkaitan dengan inilah barangkali, Partai
Buruh Australia yang memerintah tahun 1941-1949 menganggap Indonesia hasil KMB
itu sebagai “hampir ciptaannya sendiri”, sehingga ada yang menganggap bahwa
menteri luar negeri Australia pada waktu itu, Evatt, sebagai “bidan kemerdekaan
Indonesia” itu (George, 1980) dalam Siboro (1989: 167).
Simpulan
Indonesia yang
pernah dikuasai oleh beberapa negara sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945, antara lain secara tidak langsung pernah dikuasai
Prancis, Inggris, dan secara langsung dikuasai oleh Belanda dan merupakan
negara yang menguasai Indonesia paling lama di antara negara-negara lain. Belanda
adalah bagian dari blok Sekutu pada Perang Dunia II dan negara terdekat dari
Indonesia yang juga anggota blok Sekutu adalah Australia. Australia dapat dikatakan
memiliki peran penting di Indonesia. Australia adalah bagian dari negara-negara
blok Sekutu termasuk Belanda, Inggris, dan Amerika yang juga ikut terlibat
dalam Perang Asia Pasifik termasuk di Indonesia.
Namun, kekuasaan
Belanda di Indonesia pada 1942 dapat direbut oleh Jepang yang akhirnya Belanda
menyerah tanpa syarat kepada Jepang dan Indonesia dapat berhasil diduduki oleh
Pemerintah Militer Jepang. Ketika Belanda menyerah kepada Jepang dan menduduki
Indonesia, Jepang adalah ancaman utama bagi Australia karena posisi Indonesia
sangat dekat dengan Australia. Namun pada akhir Perang Dunia II, Jepang
menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan Indonesia pun berusaha diambil alih
lagi oleh Belanda.
Pada 17 Agustus 1945 Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, namun Belanda masih tetap ingin menguasai
Indonesia. Di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi
militer Belanda 1945 – 1949, semula pemerintah Australia mendukung Belanda.
Akan tetapi serikat buruh Australia ternyata tidak mendukung kebijakan
pemerintahnya. Para buruh pelabuhan menolak untuk memuat logistik yang akan
dikirim untuk kepentingan tentara Belanda di Indonesia. Setelah menilai bahwa
Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan oleh Belanda dengan kekuatan
militer, maka sejak akhir tahun 1947 Australia kemudian berbalik haluan dan
bersikap seolah-olah membantu Indonesia setelah terlihat nyata, bahwa
Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia
memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan
kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan
berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang
baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia.
Australia yang
berubah haluan dari mendukung Belanda menjadi mendukung kemerdekaan Indonesia.
Salah satu peran Australia dalam mendukung kemerdekaan Indonesia adalah
mewakili Indonesia dalam Komisi Tiga Negara (KTN) untuk penyeleseian konflik
Indonesia-Belanda. KTN
adalah suatu panitia yang terdiri dari tiga anggota yaitu Australia (dipilih
oleh Indonesia), Belgia (dipilih oleh Belanda) dan Amerika Serikat yang dipilih
oleh Australia dan Belgia. Selama terbentuknya KTN hingga berakhirnya
sengketa pada tanggal 27 Desember 1949, selama kurang lebih tiga setengah
tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan sidang mengenai sengketa itu lebih dari
90 kali. Australia beranggapan bahwa Australia-lah yang menjadi sponsor
kemerdekaan Indonesia dan keanggotaan Indonesia dalam anggota PBB.
Daftar Rujukan
Adil, H. 1993. Hubungan Australia
dengan Indonesia 1945-1962. Jakarta: Djambatan.
Kustiniyati, Mochtar (ed). 1989. Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI.
Jakarta: Gramedia.
Moedjanto. 1991. Indonesia Abad ke-20 Jilid I. Yogyakarta:
Kanisius.Said, Tribuana. 1984. Indonesia dalam Politik Global Amerika.
Medan: PT. Waspada.
Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta.
Siboro. 1989. Sejarah Australia.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Critchley, Thomas
Kingston. 2011. Dr.
Leimena dan Komisi Tiga Negara, (Online), (http://www.leimena.org/en/page/v/421/dr.-leimena-dan-komisi-tiga-negara, diakses tanggal 22 November 2012).
Hutagalung,
Batara R. 2006. Menyingkap Sejarah Konspirasi Australia – Belanda di Indonesia,
(Online), (http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/menyingkap-sejarah-konspirasi.html,
diakses tanggal 3 Desember 2012).
Mari Mengenal Sejarah. 2012. Kembalinya Belanda
Bersama Sekutu, (Online), (http://www.sejarah.indah.web.id/2011/02/sejarah-indonesia-1945-1949.html, diakses tanggal 3 Desember 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar