BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Membahas tentang politik, sebenarnya dengan jelas mulai hal yang
terkecil memang ada pada diri manusia rasa untuk berkuasa. Dan konsep berkuasa
tersebut ada hubungannya dengan politik. Profesor Miriam Budiardjo (2008: 13)
menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Ilmu Politik bahwa ilmu
politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan
yang baik. Di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loj jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan
Aristoteles menamakannya sebagai en dam
onia atau the good life.
Menurut Abdul Mu’in Salim (1994: 34-35), Politik diserap ke dalam
bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara
atau terhadap negaral lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan
sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. Ada dua
kecenderungan pendefisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik
dengan negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah;
kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau
dengan konflik.
Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1971: 13) menjelaskan bahwa tata
aturan Islam itu adalah tata-aturan yang bersifat politik dan bersifat agama.
Hal itu adalah karena hakikat Islam melengkapi segi-segi kebendaan (maddijah)
dan segi-segi kejiwaan (ruhijah) dan dia mencakup segala amal insani dalam
kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah. Sebenarnya falsafah Islam adalah falsafah
yang mencampurkan antara urusan-urusan dunia dengan urusan akhirat yang
jalin-menjalin yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Karena itu,
kedua segi itu menyusun suatu kesatuan yang harmonis.
Menurut Profesor Miriam Budiarjo (2008: 25-27), sejak dahulu kala ilmu
politik erat hubungannya dengan sejarah dan filsafat. Sejarah merupakan alat
yang paling penting bagi ilmu politik, oleh karena menyumbang bahan, yaitu data
dan fakta dari masa lampau, untuk diolah lebih lanjut. Perbedaan pandangan
antara ahli sejarah dan sarjana ilmu politik ialah bahwa ahli sejarah selalu
meneropong masa lampau dan inilah yang menjadi tujuannya, sedangkan sarjana
ilmu politik biasanya lebih melihat ke depan (future oriented): Bahan mentah yang disajikan oleh ahli sejarah,
teristimewa sejarah kontemporer, oleh sarjana ilmu politik hanya dipakai untuk
menemukan pola-pola ulangan (recurrent
partterns) yang dapat membantu untuk menentukan suatu proyeksi masa depan.
Ilmu politik terutama sekali erat hubungannya dengan filsafat politik, yaitu
bagian dari filsafat yang menyangkutn kehidupan politik terutama mengenai sifat
hakiki, asal mula dan nilai (value)
dari negara.
Kuntowijoyo (2003: 174) menjelaskan bahwa pada mulanya politik adalah
tulang punggung sejarah (politics is the backbone of history). Oleh karenanya,
buku-buku teks sejarah berisi rentetan kejadian-kejadian mengenai raja, negara,
bangsa, pemerintahan, parlemen, pemberontakan, kelompok-kelompok kepentingan
(militer, partai, ulama, bangsawan, petani) dan interaksi antara kekuatan-kekuatan
itu dalam memperebutkan kekuasaan.
Salah satu kerajaan yang besar di Nusantara pada masa lampau selain
Kerajaan Sriwijaya adalah Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menjadi besar
memiliki raja-raja yang besar juga sampai pada akhirnya runtuhlah kekuasaan
Kerajaan Majapahit dan lahirlah Kerajaan-kerajaan Islam mulai dari Demak sampai
Mataram. Dalam perjalanan kehidupan Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram
Islam, peran ulama dalam bidang politik kemungkinan berperan besar, walaupun
pada dasarnya Kerajaan Majapahit adalah kerajaan yang beragama Hindu dan memang
setelah Kerajaan Majapahit runtuh, muncullah Kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam berdiri juga sangat dipengaruhi oleh peran
besar dari para ulama-ulama Islam, yang pada waktu itu yang terkenal dengan
ulama Wali Songo.
Peranan Ulama Islam dalam bidang politik sejak awal Kerajaan Majapahit
hingga Kerajaan Mataram dapat dikatakan tidak bisa dipandang sebelah mata dan
dapat dikatakan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam pemerintahan.
Pada makalah ini dibatasi hanya pada kerajaan Majapahit dan perkembangannya,
serta kerajaan-kerajaan Islam yang dibatasi pada kerajaan-kerajaan Islam
khususnya di Jawa. Karena apabila kita lihat, dari Kerajaan Majapahit hingga
Kerajaan Mataram sangat berkaitan dan berhubungan sekali. Raja-raja yang
menjabat juga masih ada ikatan saudara. Raja-raja Islam di Jawa pada dasarnya
juga adalah keturunan dari raja-raja Majapahit, dapat dikatakan bahwa
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa adalah pewaris tahta Kerajaan Majapahit.
Dari paparan di atas, perlu dikaji tentang peranan Ulama Islam sejak
Masa Awal Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram Islam. Dan yang mungkin
kurang banyak kita ketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada sejak masa awal Kerajaan
Majapahit, hal ini mungkin dikarenakan bahwa Kerajaan Majapahit terkenal
sebagai kerajaan Hindu yang besar. Padahal, apabila kita lihat dari berbagai
sumber sejarah, peranan Ulama Islam tidak dapat dikatakan kecil dalam
pemerintahan Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh yang kemudian
diteruskan oleh Kerajaan Demak dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang dapat
dikatakan merupakan pewaris Kerajaan Majapahit.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peranan Ulama
Islam pada Masa Awal Kerajaan Majapahit?
2.
Bagaimana peranan Ulama
Islam pada Masa Akhir Kerajaan Majapahit?
3.
Bagaimana peranan Ulama
Islam pada Masa Awal Berdirinya Kerajaan Islam di Jawa?
1.3.Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui peranan Ulama
Islam pada Masa Awal Kerajaan Majapahit.
2.
Mengetahui peranan Ulama
Islam pada Masa Akhir Kerajaan Majapahit.
3.
Mengetahui peranan Ulama
Islam pada Masa Awal Berdirinya Kerajaan Islam di Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Peranan Ulama Islam pada
Masa Awal Kerajaan Majapahit.
Tanpa kita sadari bahwa sebenarnya Islam telah datang ke Nusantara
sudah sejak zaman Rosulullah atau sejak zaman Islam lahir. M.C. Ricklefs (2008:
3) menjelaskan bahwa tampaknya para pedagang Muslim sudah ada di sebagian
wilayah Indonesia selama berabad-abad sebelum Islam menjadi agama yang mapan
dalam masyarakat-masyarakat lokal. Kapan, mengapa, dan bagaimana konversi
penduduk Indonesia ini mulai terjadi telah diperdebatkan oleh beberapa ilmuan.
Tetapi kesimpulan pasti tidak mungkin dicapai karena sumber-sumber sejarah yang
ada tentang islamisasi sangat langka dan sering tidak informatif.
Bukti yang paling dapat dipercaya mengenai penyebaran Islam dalam suatu
masyarakat lokal Indonesia adalah berupa prasasti-prasasti Islam (kebanyakan
batu-batu nisan) dan sejumlah catatan para musafir (M.C. Ricklefs, 2008: 4).
Serangkaian batu nisan yang sangat penting ditemukan di kuburan-kuburan di Jawa
Timur, yaitu di Trawulan dan Tralaya, di dekat situs istana Majapahit yang
Hindu-Budha. Batu-batu itu menunjukkan makam orang-orang Muslim, tapi dengan
satu pengecualian, semua tarikhnya menggunakan tahun Saka India bukan tahun
Hijriah Islam dan menggunakan angka-angka Jawa Kuno bukannya angka-angka Arab.
Tarikh Saka dipakai oleh istana-istana Jawa dari zaman Jawa Kuno hingga tahun
1633 M. Digunakannya tarikh ini dan angka-angka tahun Jawa Kuno pada batu-batu
nisan itu menunjukkan bahwa makam-makam itu, hampir dapat dipastikan, merupakan
tempat dimakamkannya orang-orang Muslim Jawa, bukan Muslim non-Jawa (M.C.
Ricklefs, 2008: 6). Apabila kita kaji dari paparan tersebut, kemungkinan
masyarakat Muslim Jawa sudah ada pada zaman Majapahit dan adanya sikap
toleransi beragama pada masa Majapahit, dalam arti Majapahit memberikan
kebebasan memeluk agama Islam di kerajaan Majapahit di tengah masyarakat
Majapahit yang beragama Hindu-Buddha.

Gambar 1.
Surya Majapahit yang juga banyak ditemukan di situs-situs Trowulan.
Sumber:
www.google.co.id.
Menurut M.C. Ricklefs (2008: 7-8) batu-batu nisan Trawulan dan Trayala
membuat kita harus meragukan pendapat yang pernah dikemukakan oleh para ilmuan
bahwa agama Islam berasal dari daerah pesisir Jawa, dan pada mulanya merupakan
suatu kekuatan agama dan politik yang menentang Majapahit. Tidak perlu
disangsikan bahwa Majapahit yang mempunyai hubungan politik dan perdagangan
yang sangat luas di luar Jawa, telah berjumpa dengan pedagang asing yang
beragama Islam.
Mari kita kembali mengingat sejarah awal berdirinya Kerajaan Majapahit.
Raja pertama Kerajaan Majapahit adalah Raden Wijaya yang merupakan anak menantu
dari Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari. Yang di kemudian hari Raden
Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit di hutan Tarik atau sekarang kemungkinan
bernama Krian. Dalam berbagai sumber sejarah dijelaskan bahwa Raden Wijaya
membelot dengan Raja Kertanegara, namun dalam berbagai sumber juga tidak
dijelaskan alasan apa mengapa Raden Wijaya membelot kepada Raja Kertanegara.
Seandainya Raden Wijaya tidak membelot, kemungkinan besar Raden Wijaya dapat
menggantikan mertuanya sebagai Raja Singhasari, namun anehnya Raden Wijaya
malah membelot.
Apabila kita kaji jauh lebih dalam dengan gaya yang berbeda dari
sumber-sumber sejarah tersebut, kemungkinan kita mendapatkan pandangan baru
tentang alasan Raden Wijaya membelot dengan ayah mertuanya. Abdurrahman Wahid
(2010: 2) menjelaskan bahwa dalam setiap sumber sejarah, selalu disebutkan
bahwa ia (Raden Wijaya) mendirikan negara Majapahit dengan bantuan Angkatan
Laut China yang mengirimkan perahu-perahunya melalui sungai Brantas ke Tarik[1]. Padahal
kita juga tahu bahwa Angkatan Laut China sepenuhnya diisi oleh orang-orang
Muslim. Karena itu, salahkah kita kalau lalu menyimpulkan bahwa pertentangan
Raden Wijaya dan mertuanya (Raja Kertanegara) karena perbedaan agama?
Kemungkinan saja itu benar dan dapat juga kita nalarkan, bahwa mengapa
Raden Wijaya harus membelot kepada ayah mertuanya sendiri padahal Raden Wijaya
pun dapat juga menggantikan tahta Kerajaan Singhasari dari mertuanya yaitu Raja
Kertanegara, baik karena memang menggantikan menjadi Raja Singhasari dengan
legitimasi dari Raja Kertanegara maupun seandainya Raden Wijaya tidak dapat
menjadi Raja Singhasari, Raden Wijaya pun dapat melakukan pemberontakan dan
menjadi Raja Singhasari dan selanjutnya dapat meneruskan kebesaran kerajaan
Singhasari yang sudah terkanal kebesarannya sampai mancanegara. Namun, mengapa
Raden Wijaya setelah memberontak tidak melanjutkan kebesaran Kerajaan
Singhasari namun malah mendirikan Kerajaan Majapahit di daerah Tarik, yang
memang pada mulanya daerah Tarik tersebut adalah tanah perdikan yang
dihadiahkan Raja Kertanegara kepada Raden Wijaya.
Kita tahu, bahwa Kertanegara adalah penganut paham Bhairawa (dalam
istilah sekarang Birawa, yaitu campuran antara Agama Buddha dan Hindu).
Campuran itu adalah hasil pertempuran/pertemuan antara Kerajaan Hindu Kalingga
di Jawa Tengah dan Kerajaan Syailendra yang beragama Buddha. Dinasti Syailendra
adalah pembangun Candi Borobudur. Dari perbenturan Hindu dan Buddha itu,
lahirlah budaya campuran dengan agamanya sendiri, seperti tampak pada Candi
Prambanan, dekat Klaten. Ketika mereka dimusuhi kekuasaan yang ada (tidak jelas
kaum Syailendra yang beragama Buddha atau kaum Kalingga yang beragama Hindu),
maka pengikut agama campuran itu berpindah ke Jawa Timur di bawah pimpinan
Darmawangsa di Kediri. Padahal kita tahu, Kerajaan Singhasari adalah kelanjutan
dari kekuasaan Jenggala dan Daha di Kediri. Jadi, tak heran tradisi yang
berkembang di Singhasari adalah Hindu dan Buddha (Abdurrahman Wahid, 2010:
2-3).
Apabila kita hubungkan dengan masalah perbedaan agama seperti yang
dijelaskan di atas, kemungkinan kalau dilihat dari sisi agama dapat juga benar,
namun hal ini hanyalah hipotesis sementara[2]. Kita
lihat juga tentang kerjasama Raden Wijaya dengan Angkatan Laut China yang
sepenuhnya diisi oleh orang-orang Muslim dalam pemberontakan kepada Raja
Kertanegara, kemungkinan juga terjadi hubungan atau pengaruh Islam dari
Angkatan Laut China kepada Raden Wijaya. Dan tidak mungkin juga seandainya
masih baru mengenal namun sudah berani kerjasama dalam melakukan pemberontakan,
jelas kepercayaan belum timbul seandainya baru mengenal. Abdurrahman Wahid
(2010: 21-22) menjelaskan bahwa untuk mendirikan kerajaan baru itu, Raden
Wijaya haruslah dibantu Angkatan Laut China yang saat itu menguasai Laut Jawa.
Mereka adalah pelaut-pelaut Muslim dan mustahil mereka mau membantu Raden
Wijaya meriskir kemarahan Kerajaan Singhasari, jika bahkan karena alasan agama
yang mendorong mereka untuk malakukan hal itu. Yaitu, Raden Wijaya adalah juga
seorang Muslim[3].
Memang tidak ada prasasti yang membuktikan hal ini, tapi
pertimbangan-pertimbangan akal mendorong kita ke arah penafsiran tersebut.

Gambar 1.
Laksamana Cheng Ho yang merupakan Angkatan Laut Cina yang seorang Muslim yang
datang ke Nusantara.
Sumber:
www.google.co.id.
Menurut Boechori dalam Abdurrahman Wahid (2010: 22), dalam abad ke-10
telah ada komunitas Muslim di Gresik, tak jauh dari Desa Tarik. Masyarakat itu
didirikan oleh Fatimah binti Maimun di Desa Leran, dekat Gresik. Mustahil dalam
masa tiga abad tidak ada perkembangan Islam sama sekali. Apalagi dalam kitab Al-Kawatib al-Lammaah juga disebutkan
bahwa ada Sayyid Jamaluddin Husain, kakek dari Sunan Ampel, yang sekurun dengan
masa sekitar hidupnya Gadjah Mada. Tentu Sayyid Jamaluddin Hisain
ini—pembangunan Surau yang kemudian didampingi Klentheng di Gunung Kawi—adalah
pejuang yang mengingingkan tegaknya masyarakat Islam di Tanah Jawa.
Dari paparan di atas, dapat kita ketahui bahwa berarti ternyata sudah
ada komunitas Muslim di tengah-tengah mayoritas masyarakat Hindu-Buddha
(Bhairawa) dalam Kerajaan Majapahit. Walaupun pada masa ini kemungkinan
masyarakat Muslim masih minoritas di kalangan masyarakat Kerajaan Majapahit.
Namun juga kemungkinan masyarakat Muslim telah berbaur atau berhubungan baik
dengan masyarakat Hindu-Buddha (Bhairawa) Majapahit.
Ini berarti, telah marasuknya masyarakat baru yang mendambakan kemajuan
negeri dan perkembangan teknologi, di tengah-tengah kesibukan para raja
Majapahit untuk memperluas kekuasaan mereka melalui peperangan. Jadi pantas
jika masyarakat Muslim yang menjadi alternatif itu tampak menarik bagi
masyarakat Majapahit pada saat itu. Jadi dugaan bahwa orang banyak bosan dengan
sikap Raja-raja Singhasari dan beberapa Raja Majapahit, serta mencari
alternatif dengan menyusupnya sejumlah kaum Muslimin ke dalam istana Majapahit
merupakan sebuah hipotesis yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis.
Apalagi kalau dihubungkan dengan bantuan Angkatan Laut China yang beragama
Islam yang menguasai perairan antara Madagaskar, dekat Benua Afrika, dan
Ascension (Pulau Tahiti) yang terletak di kawasan Pasifik (Abdurrahman Wahid,
2010: 23).
2.2.Peranan Ulama Islam pada
Masa Akhir Kerajaan Majapahit.
Menurut Abdurrahman Wahid (2010: 65) menjelaskan bahwa tanah pekuburan
Troloyo berada tak jauh dari tanah pekuburan Trowulan, dekat Brangkal
(Mojokerto). Pekuburan tanah Trowulan menyimpan kuburan Brawijaya V,
permaisurinya, Kencana Wungu, dan istri selirnya, Putri Cempa. Ternyata,
menurut cerita tutur, Prabu Brawijaya V itu adalah seorang Muslim karena istri
selirnya, yang berkebangsaan China dan berasal dari Cambodia itu adalah seorang
Muslim pula. Dia adalah ibu dari Raden Fatah (Tan Eng Hoat), yang belakangan mendirikan Kesultanan Demak bersama
dengan Maulana Ishak at-Tabarqi. Sebaliknya, tanah pekuburan Troloyo yang hanya
satu kilometer jauhnya, juga menyimpan kuburan Syaikh Abdul Qahar (Maling Cluring), Kiai Usman Ngundung,
Tan Kim Han (menantu Puteri Cempa) yang juga beragama Islam dan memiliki nama
Arab Abdul Qadir Jaelani, dan masih banyak lagi pejuang-pejuang Muslim lainnya.
Mereka gugur di tempat itu ketika menahan serbuan seorang Adipati Majapahit di
Kediri, Kusuma Wardani, yang juga anak Brawijaya V. Adipati yang beragama
Hindu-Buddha ini adalah orang yang tidak rela jika istana Majapahit dikuasai
orang Islam, karenanya ia berusaha merebut tahkta dari tangan Brawijaya V
dengan kekerasan. Adipati inilah yang kemudian dikenal dengan nama Prabu
Brawijaya VI, raja terakhir Majapahit. Sedangkan Prabu Brawijaya V meninggalkan
istana dan bertapa di Gunung Lawu dan sekarang terkenal dengan nama Sunan Lawu.
Data sejarah yang dikemukakan cerita tutur ini kemudian diperkuat dengan data
sejarah lain, yaitu prasasti yang ditemukan Dr. Habib dari IKIP Malang. Menurut
prasasti ini, pada tahun sangkala sirna ilang kertaningbumi (tahun 1400 Saka,
menurut empu Prapanca), telah diberikan gelar Romo Bayan Ampel oleh Brawijaya V
atas meninggalnya seorang dari Desa Ampel di Surabaya. Ini berarti gelar yang
diberikan kepada Sunan Ampel (salah satu wali sembilan) oleh seorang Muslim
pula.
Namun, menurut Dr. Noorduyn dalam H. J. De Graaf (2004: 194) tentang
raja-raja dan ratu Majapahit bahwa dinasti itu tidak berakhirpada tahun 1478
(Shaka 1400) dengan jatuhnya ibukota seperti yang biasa diduga. Dinasti ini
masih tetap ada sampai tahun 1527, tahun akhir penyerbuan terakhir yang
dipimpin oleh tokoh Muslim fanatik dari Kudus terhadap keraton raja dan para
pangeran yang setia terhadap Majapahit.
Menurut Suharni (1991: 10) keberadaan Islam semakin lama makin mantap
karena situasi politik pada saat itu sangat memungkinkan Islam berkembang.
Untuk mempercepat proses Islamisasi maka didirikanlah masjid-masjid atau
langgar dan pesantren untuk dibekali dengan masalah-masalah keagamaan. Kondisi
politik pada akhir kekuasaan Majapahit membantu mempercepat Islam berkembang di
pulau Jawa, Majapahit sudah mulai melemah. Dengan demikian, maka kondisi
politik Pulau Jawa menjadi labil. Kondisi yang demikian ini dimanfaatkan dengan
baik oleh para penguasa pesisir untuk mendirikan pemerintahan sendiri.
Setelah jatuhnya Majapahit, kondisi keraton Majapahit
menjadi terlantar. Hal tersebut mendorong Pati Unus untuk memindahkan
pusaka-pusaka kerajaan Majapahit ke Demak, di antaranya berupa 8 tiang pendapa
yang kemudian ditempatkan dalam serambi Masjid Demak (Imron Abu Amar, 1996:
19).

Gambar 3 . Tiang-tiang Serambi
Masjid Demak yang Berasal dari Keraton Majapahit.
Sumber: Amar, Abu Imron. 1996. Sejarah Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus:
Menara Kudus.
Magnis-Suseno
(2001: 30) mengemukakan bahwa pada tahun 1475 Masehi Majapahit diserang oleh
Demak yang beragama Islam. Sehingga pada permulaan abad 16 Masehi jejak
terakhir Majapahit menghilang dalam kegelapan sejarah.
2.3.Peranan Ulama Islam pada
Masa Awal Berdirinya Kerajaan Islam di Jawa.
Suharni (1991: 12) menjelaskan bahwa pada abad XV di Pulau
Jawa terjadi pergeseran pusat aktivitas politik dari daerah pedalaman yang
bercorak Hindu-Budha bergeser ke daerah pesisir utara Pulau Jawa dengan corak
Islam. Bagi kepala-kepala pemerintahan wilayah pesisir utara Pulau Jawa, Islam
bukan saja dipandang sebagai agama, tetapi juga sebagai sarana untuk
mendapatkan legitimasi politik. Hal ini terbukti dengan pemakaian gelar yang
disesuaikan dengan Islam, misalnya Sultan, Sunan, Adipati, atau gelar yang
lain. Di samping itu, pada zaman Hindu-Budha pelantikan (penobatan) raja
dilaksanakan oleh seorang Biksu atau Brahmana tetapi pada zaman Islam hal-hal
semacam itu dilaksanakan oleh para Ulama atau Kyai. Masalah-masalah politik
diseleseikan dengan jalan agama, begitu juga masalah-masalah kehidupan yang
lain.
Perkembangan politik pesisir utara Pulau Jawa di bawah
kekuasaan Islam mulai tampak jelas pada abad XV, yaitu ditandai dengan
berdirinya kerajaan Demak di Jawa Tengah (Suharni, 1991: 12). Kerajaan Demak
semula adalah sebuah kadipaten yang
merupakan kadipaten wilayah kerajaan Majapahit (pada masa pemerintahan
Brawijaya V/Kertabumi). Sebelum berstatus kadipaten Demak lebih dikenal orang
dengan nama “Glagah Wangi” yang menjadi wilayah kadipaten Jepara dan merupakan
satu-satunya kadipaten wilayah Majapahit yang adipatinya memeluk agama Islam
(Imron Abu Amar, 1996: 13-14).
Kerajaan Islam di Jawa dalam hal ini Demak, tidak lepas dari
peranan Ulama Islam, yaitu Wali Songo. Dan Raja pertama Demak pun juga
merupakan anggota dari Wali Songo. Menurut Asnan Wahyudi
dan Abu Khalid M.A., (1993: 14) pada tahun 1466 M diangkat dua wali yang
menggantikan dua wali yang telah wafat, yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan
Maulana Muhammad Al-Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya adalah Raden Hasan
atau Raden Fattah (Raden Patah) yang merupakan murid Sunan Ampel dan putra Raja
Brawijaya Majapahit[4],
beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M, kemudian membangun
Masjid Demak pada tahun 1465 M dan dinobatkan menjadi Raja atau Sultan Demak
pada tahun 1468.
Elit politik dan elit agama menduduki tempat yang khusus
dalam pemerintahan kerajaan Demak. Penyebutan gelar “Sultan” bagi raja-raja
Demak sebagaimana diceritakan oleh babad-babad tradisi, memberi petunjuk bahwa
raja, keculi sebagai pimpinan politik, juga sebagai pimpinan agama (Supratikno
R. dan Wiwin D.R., 1997: 61). Sedangkan dalam Babad Tanah Jawi Patih Demak diberi nama “Mangkurat”.
Bahwa Demak merupakan tempat penting dilihat dari segi agama
Islam dapat disimpulkan berdasarkan cerita bahwa wali-wali di Jawa berpusat di
masjid keramat Demak, yaitu yang menurut cerita tersebut didirikan oleh wali
itu secara bersama-sama” (Supratikno R. dan Wiwin D.R., 1997: 62).
De Graaf dan Pigeaud (1986:77) menjelaskan bahwa sebagai
ahli dan penegak hukum fiqh (= fakih)
di demak yang beragama Islam itu, sudah tentu bertindak seorang kiai dari
kalangan alim ulama. Jabatan pemangku hukum syariat dan fungsi pemimpin masjid
(imam), sudah sejak permulaan zaman Islam di Jawa berhubungan erat. Gelar
“panghulu” (kepala), yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak, mungkin suatu
bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh juga di bidang hukum.
Dapat dikatakan bahwa pada
pertengahan abad ke-16, Demak telah menguasai seluruh Jawa. Bagian
pedalaman dari kerajaan Majapahit hampir semua telah menjadi daerah tahkluknya,
sedangkan di bagian barat sebagian daerah Pajajaran, telah menjadi daerah yang
ada di bawah pengaruhnya. Meskipun tidak mutlak, Cirebon juga ada di bawah
Demak (Nugroho dan Marwati, 1984: 35).
De Graaf dan Pigeaud (1986:63) menjelaskan bahwa berdasarkan
cerita-cerita tutur Jawa dari Cirebon, lebih-lebih dari buku-buku sejarah
Banten, dapat diambil kesimpulan bahwa ibu kota Islam Demak telah menjadi titik
tolak perjuangan pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16, untuk menyebarkan
agama Islam, bahasa, dan kebudayaan Jawa di sepanjang pantai utara Jawa Barat.
Dalam bidang politik peranan Wali Songo yang sangat kelihatan adalah tentang Wali
Songo yang menghukum Syaikh Siti Jenar. Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228)
menjelaskan bahwa Syaikh Siti Jenar telah dikenakan hukuman bakar karena
dituduh menyelewengkan ajaran agama Islam, membeberkan rahasia yang seharusnya
disimpan baik-baik. Terbukti bahwa pembesar-pembesar di wilayah kerajaan
Majapahit yang memeluk Islam aliran Syi’ah tidak mau tunduk kepada Sultan
Demak. Mereka membentuk kekuatan baru
yang mengincar Kesultanan Demak. Mereka menguasai daerah-daerah sempit beserta
rakyatnya, bebas dari kekuasaan Demak.
BAB
III
PENUTUP
Penyebaran
Agama Islam di Nusantara ternyata tidak hanya sejak masa-masa berdirinya
Kerajaan-kerajaan Islam, namun ketika Kerajaan Majapahit berdiri bahkan akan
berdiri, Ulama Islam juga sangat berperan dalam kehidupan politik kerajaan.
Ulama Islam pun juga bebas menyebarkan agama Islam di tengah kehidupan beragama
Hindu dan Buddha di Kerajaan Majapahit, dan kemungkinan sudah ada beberapa
komunitas Islam dalam Kerajaan Majapahit. Dan apabila kita kaji, tidak mungkin
suatu agama dapat berkembang pesat kalau tidak jauh-jauh sebelumnya ada dalam
suatu komunitas. Keturunan dari Kerajaan Majapahit pun pada akhir kekuasaan
Majapahit beragama Islam, yaitu Raden Patah yang beragama Islam dan mendirikan
Kerajaan Demak.
Dari
perjalanan Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Demak tidak jauh dari
peranan Ulama Islam yang mempengaruhi kehidupan politik Kerajaan Majapahit dan
Kerajaan Demak tersebut. Jadi, Ulama Islam tidak hanya menyebarkan agama Islam
namun juga berperan penting dalam kekuasaan politik kerajaan, baik Kerajaan
Majapahit maupun Kerajaan Demak.
DAFTAR RUJUKAN
Amar, Abu Imron. 1996. Sejarah
Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. 1971. Ilmu
Kenegaraan Dalam Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar
Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
H.J. de Graaf, dkk. 2004. Cina
Muslim di Jawa Abad XV dan XVI. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
H. J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Peralihan
dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Magnis-Suseno, F. 2001. Etika
Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta:
Balai Pustaka.
Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.
Yogyakarta: LKiS.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Salim, Abdul Mu’in. 1994. Fiqh
Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Supratikno Rahardjo dan Wiwin Djuwita Ramelan. 1997. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur
Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Suharni. 1991. Peran
Adipati Pesisir Utara Pulau Jawa Dalam Penyebaran Islam Di Jawa Abad XVI.
Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.
Wahid, Abdurrahman. 2010. Membaca
Sejarah Nusantara 25 Kolom Sejarah Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
www.google.co.id.
[1] Angkatan Laut China Muslim inilah yang—menurut perkiraan penulis
membantu Raden Wijaya (dari Marga Oey atau Wie?)—mendirikan Kerajaan Majapahit.
Mungkinkah Desa Tarik di kawasan Man yang didirikannya itu berasal dari
kata-kata 77 tariqoh, yang berarti berarti sekte tasawuf (di negeri ini lebih
dikenal dengan nama tarekat)? Baca Abdurrahman Wahid, 2010. Membaca Sejarah Nusantara 25 Kolom Sejarah
Gus Dur. LkiS. Halaman 26.
[2] Bahwa bertentangan dengan mertuanya, Kertanegara, dari Singhasari
hanya karena ambisi politik pribadi, bukan karena perbedaan agama, sejarahlah
yang nanti akan menjawabnya. Baca Abdurrahman Wahid, 2010. Membaca Sejarah Nusantara 25 Kolom Sejarah Gus Dur. LkiS. Halaman
26.
[3] Jika Raden Wijaya adalah seorang Muslim, apakah ia tidak berasal
dari keturunan Tionghoa, alias dari kaum Peranakan? Jika benar, nama Wijaya
tentu menunjukkan marga yang dimilikinya, yaitu marga Oey atau Wie, yang dalam
cabangannya juga disebut Wong atau Wang. Dan jika ini benar, tentu sangat
menarik bahwa raja-raja terkemuka selalu menggunakan gelar Brawijaya (raja-raja
Wijaya). Baca Abdurrahman Wahid, 2010. Membaca
Sejarah Nusantara 25 Kolom Sejarah Gus Dur. LkiS. Halaman 26.
[4]Raja Brawijaya V. Baca M. Hariwijaya, (2007: 26). Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Insan
Muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar