PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INDONESIA DALAM TIGA ZAMAN:
PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA, PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH
PENDUDUKAN JEPANG, HINGGA PENDIDIKAN MASA AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA
Rendy Wahyu Satriyo Putro[1]
Abstrak :
Sejarah sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari pendidikannya, begitu
pula bangsa Indonesia. Perjalanan bangsa Indonesia dalam tiga zaman, yaitu
zaman pemerintah kolonial Belanda, pemerintah pendudukan Jepang, hingga masa
awal kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari peran pendidikan.
Masing-masing zaman atau pemerintahan memiliki ciri khas kebijakan dalam
pendidikan. Pendidikan dari masing-masing zaman memberikan pengaruh bagi
perkembangan bangsa yang selalu berkembang sampai saat ini. Kurikulum pendidikan
yang selalu berganti seiring dengan pergantian zaman maupun pergantian
kebijakan.
Kata Kunci : Pendidikan
Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda, Pemerintah Pendudukan Jepang, Masa Awal
Kemerdekaan Indonesia.
Pendahuluan
Sejarah suatu bangsa dapat dilihat
dari perkembangan pendidikan yang dienyam oleh rakyatnya. Maju atau tidaknya
suatu bangsa juga dapat dilihat dari maju atau tidaknya pendidikan suatu
bangsa. Begitu pula dengan Indonesia yang memiliki sejarah perkembangan
pendidikan dari masa klasik hingga masa sekarang yang terus selalu berkembang.
Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan juga selalu berkembang secara
dinamis. Namun, tidak ada bangsa yang berkembang secara dinamis tanpa adanya
proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya.
Indonesia dalam perjalanan
sejarahnya juga bergerak dengan proses, pergerakan, dan perkembangan
pendidikannya. Yang kita ketahui sendiri bahwa tokoh-tokoh pemimpin bangsa
Indonesia juga merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila kita lihat
perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu
bangsa, begitu pula bangsa Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa
dan bernegara, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Pada masa penjajahan bangsa asing,
tanpa disadari oleh pihak penjajah bahwa sistem pendidikan yang diberikan dapat
menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pemuda-pemuda pribumi yang mendapatkan
pendidikan dari penjajah justru berbalik menyusun kekuatan untuk memerdekakan
bangsanya. Dan setelah merdeka, sistem pendidikan penjajah ada yang
ditinggalkan dan ada yang masih dipertahankan.
Dalam pembahasan artikel ini akan
lebih dibahas tentang pendidikan Indonesia pada masa Pemerintahan Kolonial
Belanda, masa Pemerintahan Pendudukan Jepang, dan masa awal kemerdekaan
Indonesia. Dalam perkembangannya, pendidikan pada masing-masing zaman atau
pemerintahan tersebut memiliki ciri khas tersendiri dalam kebijakan pendidikan.
Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Penjajah Belanda dalam perjalanan
sejarahnya menunjukkan bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang
diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang
sudah ada. Pada 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas
mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda
mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta
izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe-ordonnantie[2]
yang menetapkan bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran, cukup
memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan
rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para pengikut agama
Islam (Rifa’i, 2011: 56).
Komisaris Jenderal pada masa
tersebut cukup menaruh perhatian di bidang pendidikan. Terbukti setelah beberap
waktu berselang dari proses serah terima daerah jajahan dari pihak Inggris ke
pihak Belanda, ia menunjuk CGC Reinwardt sebagai Direktur Pengajaran
(Najamuddin, 2005). Pada tahun terakhir di masa pemerintahannya, dikeluarkan
peraturan persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan
penyelenggaraan pengajaran. Sayangnya, ide-ide Daendels pada masa sebelumnya
yang ingin memperluas kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk jajahan
tidak dilanjutkan pada masa ini. Hal tersebut sangat jelas karena dalam
ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan pada masa ini sangatlah sedikit yang
membahas masalah pengajaran untuk penduduk jajahan. Salah satunya adalah
peraturan umum tentang pendidikan sekolah yang berisi bahwa pendidikan hanya
untuk orang Belanda saja (Said dan Affan, 1987). Dan bahkan peraturan ini
berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen.
Meski pada tahun 1818 telah dikeluarkan Regeringsreglement untuk Hindia Belanda
yang isinya antara lain membahas bahwa semua sekolah di Hindia Belanda dapat
dimasuki baik orang Eropa maupun penduduk jajahan (Watson dalam Supriadi,
2003). Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah sekolah tersebut hanya
sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi.
Pada tahun 1817, didirikan sekolah
dasar khusus untuk anak-anak dari golongan bangsa Belanda (Europeese Lagere
School). Bahasa pengantar di sekolah-sekolah tersebut adalah bahasa Belanda dan
sistem maupun kurikulumnya disesuaikan dengan yang berlaku di Belanda agar
tetap sinergis dengan sekolah lanjutan di Belanda (Boone dalam Supriadi, 2003).
Sekolah ini semakin banyak didirikan di berbagai daerah sejalan dengan semakin
banyak pula orang Belanda yang datang ke bumi nusantara sambil membawa
keluarganya ikut serta. Pendirian ELS ini tidak hanya dilakukan oleh pihak
pemerintah, melainkan juga pihak swasta seperti NZG atau yang dikenal dengan
zending[3]
(Supriadi, 2003).
Menurut Kartodirdjo (1987) sistem pendidikan
yang dualitas pada masa ini[4]
juga membuat garis pemisah yang tajam antara dus subsistem: sistem sekolah
Eropa dan sistem sekolah pribumi. Tetapi pada tahun 1892[5]
akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan karena kebutuhan yang
sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda, sebagaimana
berikut:
1. Sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse
untuk anak-anak golongan priyayi dengan pelajaran bahasa Belanda;
2. Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk
rakyat kebanyakan tanpa pelajaran bahasa Belanda.
Menurut Soemanto dan Sooyarno dalam
Rifa’i (2011: 59) konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah
untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja atau
kantor-kantor yang lain.
Di zaman pemerintahan Hindia-Belanda
ini, terdapat tiga jenis tingkatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Rifa’i, 2011: 59). Pendidikan lebih
dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut,
diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan
karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum
elit (Ricklefs, 2001).
Menurut Ary Gunawan dalam Rifa’i
(2011: 67), prinsip kebijakan pendidikan kolonial yaitu:
1. Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu
agama tertentu.
2. Pendidikan diarahkan agar para lulusannya menjadi
pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah.
3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi
sosial yang ada dalam masyarakat.
4. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite
sosial (penjilat penjajah) Belanda.
5. Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan
berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan barat.
Kesempatan mendapatkan pendidikan
diutamakan kepada anak-anak bengsawan bumiputera serta tokoh-tokoh terkemuka
dan pegawai kolonial yang diharapkan kelak akan menjadi kader pemimpin yang
berjiwa kebarat-baratan atau condong ke Belanda dan merupakan kelompok elite
yang terpisah dengan masyarakatnya sendiri. Mereka akan menjadi penyambung
tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk memerintah secara tidak
langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia (Rifa’i, 2011: 67-68).
Dengan adanya Politik Etis, terjadi
perubahan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bahasa Belanda mulai
diberikan pula di sekolah Kelas I dan sekolah-sekolah guru. Mr. JH. Abendanon
menginginkan kursus/sekolah kejuruan (vak), termasuk juga sekolah bagi
kaum wanita (bersama dengan Van Deventer, Abendanon, menaruh perhatian pada
usaha R.A. Kartini). Sekolah teknik pertama kali dibuka pada 1909. Untuk
membuka kesempatan yang lebih luas bagi anak-anak bumiputera ke sekolah-sekolah
atau melanjutkan sekolah, di antaranya dibuka sekolah voorklas di MULO
(kelas persiapan ke MULO). Sekolah-sekolah desa diperbanyak. Namun demikian,
masih ada perbedaan pelayanan bagi anak-anak bumiputera dengan anak-anak
Belanda, yaitu diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk sekolah Belanda.
Anak-anak Indonesia diterima di sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu sehingga
dengan dalih yang dibuat-buat akhirnya anak-anak Indonesia banyak yang tidak
diterima di sekolah-sekolah Belanda (Rifa’i, 2011: 73-74).
Secara tegas, tujuan pendidikan
selama periode kolonial Belanda memang tidak pernah dinyatakan, tetapi dari
uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan antara
lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda, di
samping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga-tenaga
administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang dianggap
sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga (Rifa’i, 2011: 76-77).
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam
salah satu pidatonya mengatakan bahwa Politik Etis penjajah sepertinya akan
lunak dengan kemajuan pendidikan pribumi, tetapi tetap saja pola kebijakan
pendidikan kolonial tersebut menunjukkan sifat intelektualis, alitis,
individualis dan materialis (Rifa’i, 2011: 83).
Setelah 1870, tak ada lagi
pusat-pusat karena pendidikan dan pengajaran semakin diperluas. Pada 1871,
keluarlah UU Pendidikan yang pertama, yaitu pendidikan dan pengajaran makin
diarahkan kepada kepentingan penduduk bumiputra. Secara tidak langsung,
pengaruh Politik Etis terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi
munculnya kaum pendidik dan pergerakan Indonesia. Kesadaran akan pentingnya
pendidikan dan kemajuan bagi rakyat Indonesia dapat ditengarai dengan
kemunculan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh yang memerhatikan pendidikan bagi
rakyat (Rifa’i, 2011: 80).
Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang
Meski zaman pendudukan Jepang di
bumi Nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah
disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia
untuk membantu kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan
mendekati tokoh-tokoh kiai yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan
sandaran politik mereka. Pertemuan antara 32 ulama gerakan Gunseikan pada 7
Desember 1942 berisi tukar pendapat mengenai ke-Islam-an dan komitmen Jepang
untuk melindungi adat dan agama Islam, tidak mencampuri lembaga keagamaan
bahkan diperkenankan secara resmi untuk meneruskan pekerjaannya, serta memberi
kedudukan yang baik pada mereka yang telah mendapatkan pendidikan agama tanpa
membeda-bedakannya dengan golongan lain (Assegaf, 2005).
Bangsa Jepang muncul sebagai negara
kuat di Asia. Ketika kondisi dunia saat terjadi perang, Jepang tak tinggal diam
dan menampilkan diri ikut dalam peperangan tersebut. Jepang mendapatkan
prestasinya ketika menghadapi Rusia. Jepang bercita-cita besar, yaitu menjadi
pemimpin Asia Timur Raya dan berhasil menakhlukkan Belanda yang telah lama
menjajah Indonesia. Sekolah-sekolah yang ada di zaman Belanda diganti dengan
sistem Jepang. Selama Jepang menjajah Indonesia, hampir sepanjang hari hanya
diisi dengan kegiatan latihan perang atau bekerja. Jika ada kegiatan-kegiatan
sekolah, hal tersebut tidak jauh dengan konteks Jepang sedang berperang.
Kegiatan yang dikatakan berhubungan dengan sekolah tersebut antara lain:
1. Mengumpulkan batu dan pasir untuk kepentingan perang.
2. Membersihkan bengkel-bengkel dan asrama-asrama
militer.
3. Menanam ubi-ubian dan sayur-sayuran di pekarangan
sekolah untuk persediaan bahan makanan.
4. Menanam pohon jarak untuk bahan pelumas (Rifa’i, 2011:
83-84).
Di samping itu, murid setiap pagi
wajib mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran.
Ada tiga macam sekolah guru di zaman Jepang, yaitu:
1. Sekolah guru 2 tahun = Syoto Sihan Gakko,
2. Sekolah guru menengah 4 tahun = Guto Sihan Gakko, dan
3. Sekolah guru tinggi 6 tahun = Koto Sihan Gakko
(Rifa’i, 2011: 84).
Pelajaran-pelajaran yang diberikan
meliputi Sejarah Ilmu Bumi, Bahasa Indonesia (Melayu), Adat Istiadat, Bahasa
Jepang, Ideologi Jepang, dan Kebudayaan Jepang. Untuk menyebarluaskan ideologi
dan semangat Jepang, para guru ditatar secara khusus oleh pemimpin-pemimpin
Jepang selama tiga bulan di Jakarta. Mereka diharuskan dan diwajibkan
meneruskan materi yang telah diterima kepada teman-temannya. Untuk menanamkan
semangat Jepang itu kepada murid-murid, diajarkan bahasa Jepang, nyanyian-nyanyian
perjuangan, atau nyanyian-nyanyian semangat kemiliteran kepada murid-murid
(Rifa’i, 2011: 84-85). Menurut Soemanto dan Soeyarno dalam Rifa’i (2011: 85)
memang kehadiran Jepang di Indonesia dapat menanamkan jiwa berani pada bangsa
Indonesia. Akan tetapi semua itu demi kepentingan Jepang.
Menurut Rifa’i (2011: 85) sebenarnya
tujuan pendidikan Jepang di zaman penjajahan Jepang tidaklah banyak yang dapat
diuraikan sebab murid disibukkan dengan peperangan sehingga perhatian terhadap
pendidikan sangat sedikit. Rayuan Jepang kepada bangsa Indonesia mengatakan
bahwa Jepang adalah saudara tua yang akan datang ke Indonesia untuk mencapai
kemakmuran bersama di Asia Timur Raya atau yang terkenal dengan hakko ichiu
sebagai landasan utama pendidikan pada zaman pendudukan Jepang.
Penjajah Jepang mengambil kebijakan
bahwa bahasa Belanda dilarang dipergunakan sama sekali. Bahasa Indonesia
menjadi bahasa pengantar resmi, baik di kantor-kantor maupun di
sekolah-sekolah. Bahasa Jepang menjadi bahasa kedua. Selama masa kependudukan
Jepang inilah bahasa Indonesia berkembang dan dimodernkan sehingga menjadi
bahasa pergaulan dan bahasa ilmiah (Rifa’i, 2011: 85).
Menurut Gunawan dalam Rifa’i (2011:
86) dari sudut lain, dapat kita lihat bahwa secara konkret tujuan pendidikan
pada zaman Jepang di Indonesia adalah menyediakan tenaga kerja cuma-cuma yang
disebut romusha dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan demi
kepentingan Jepang. Pengaruhnya adalah para pelajar diharuskan mengikuti
latihan fisik, latihan kemiliteran, dan indoktrinasi ketat. Hal ini terbukti
dengan pelaksanaan senam pagi yang disebut taiso sebelum belajar (juga bagi
para pegawai sebelum bekerja) mengikuti komando dengan radio. Mengikuti latihan
kemiliteran yang disebut kyoren bagi para pelajar dengan barisannya yang
disebut seinendan, barisan keamanan rakyat yang disebut keibodan, dan barisan
prajurit yang disebut heiho.
Dengan adanya penyederhanaan sistem
pendidikan dan sekolah di zaman Jepang, kesempatan belajar terbuka lebar bagi
semua golongan penduduk di Indonesia, semua mendapat kesempatan yang sama.
Jalur-jalur sekolah dan pendidikan menurut penggolongan keturunan bangsa,
strata, ataupun strata sosial telah dihapuskan (Rifa’i, 2011: 89).
Kebijakan di bidang pendidikan yang
dikeluarkan oleh Jepang memang banyak yang terlihat seolah-olah ingin
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (mulai dari pemberlakuan sekolah
gratis, pemberian tambahan insentif guru, hingga penyederhanaan sistem
persekolahan), tetapi pada kenyataannya kebijakan tersebut sarat dengan muatan
politis yang membawa misi Nipponisasi dan pemberdayaan bangsa Indonesia untuk
perburuhan dan mobilisasi militer.
Pendidikan Pada Masa Awal Kemerdekaan Indonesia
Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, perubahan-perubahan tidak hanya terjadi
dalam bidang pemerintahan saja, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Perubahan
yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat
mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan
dengan dasar dan cita-cita suatu bangsa yang merdeka dan negara yang merdeka.
Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-cita bangsa Indonesia yang medeka
itulah, bidang pendidikan mengalami perubahan, terutama dalam landasan
utamanya, tujuan pendidikan, sistem persekolahan, dan kesempatan belajar yang
diberikan kepada rakyat Indonesia (Rifa’i, 2011: 122).
Pada masa peralihan antara tahun
1945-1950, bangsa Indonesia mengalami kesusahan di berbagai bidang, mulai dari
sosial, ekonomi, budaya, politik, dan pendidikan. Namun, tekad bangsa Indonesia
sudah bulat dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 untuk menata
kehidupan bersama, berbangsa, mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, lepas dari
penindasan. Salah satu sasaran dan caranya adalah dengan memajukan dunia
pendidikan untuk mencerdaskan rakyat Indonesia (Ri’fai, 2011: 130).
Pada masa awal-awal kemerdekaan
Indonesia, situasi politik belum stabil hingga menyebabkan terjadinya perubahan
pada kelembagaan pendidikan Indonesia. Pada awal kemerdekaan pemerintah
Republik Indonesia (RI) telah membentuk kementerian yang mengurus dunia
pendidikan disebut sebagai “Kementerian Pengajaran.” Ketika terjadi agresi
Belanda, Kementerian Pengajaran ditempatkan di Surakarta, pemindahan tersebut
terjadi pada Januari 1946. Pada waktu itu juga nama kementerian diubah menjadi
“Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan” atau yang disingkat menjadi
Kementerian PP dan K (Sjamsudin, 1993: 9).
Menurut Edi Subkhan (2010), lebih
dari itu, ketika Belanda menyerang pada Desember 1948, banyak kantor
kementerian dipindahkan, termasuk Kementerian PP dan K. Waktu itu organisasi
kementerian berjalan sebagaimana mestinya dan terkenal dengan sebutan
“Kementerian Gerilya.” Ketika sudah pulih, maka pada Juni 1949, Kementerian PP
dan K dipindah lagi dari Surakarta ke Yogyakarrta dan dibentuk tiga jawatan
baru: Jawatan Inspeksi Pengajaran, Jawatan Pendidikan Masyarakat, dan Jawatan
Kebudayaan. Pada awal masa kemerdekaan itulah, dan juga tahun-tahun menjelang
proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, seorang tokoh pergerakan
nasional dan pejuang pendidikan yang besar sekali perannya adalah Ki Hadjar
Dewantara. Sekarang tanggal kelahirannya, 2 Mei diperingati sebagai hari
Pendidikan Nasional sebagai bentuk penghormatan dari pemerintah dan masyarakat
Indonesia kepada beliau yang telah begitu besar jasanya dalam meletakkan dasar
pendidikan nasional. Sumbangannya bagi Indonesia, terutama dalam dunia
pendidikan adalah hadirnya Perguruan Taman Siswa dengan substansi ideologis
kebangsaan, keindonesiaan dan kerakyatan. Gagasan dan pemikiran Ki Hadjar
tentang pendidikan dan kebudayaan sampai sekarang masih selalu dikaji dan
dianggap relevan diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional. Salah
satunya adalah prinsip Tut Wuri Handayani yang menjadi semboyan resmi
dari implementasi sistem pendidikan nasional.
Dengan demikian hal utama yang harus diingat adalah:
pendidikan sekadar sebagai tuntunan di dalam hidup dan tumbuh kembangnya
anak-anak kita. Hal itu artinya kehidupan anak-anak tersebut berada di luar
kemampuan dan kehendak kita kaum pendidik, anak-anak harus dilihat sebagai
manusia yang memiliki kehendak dan fitrahnya sendiri, hingga biarkanlah mereka
untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kehidupannya sendiri
(Dewantara, 2004: 21).
Menurut Edi Subkhan (2010), pendidikan yang digagas oleh Ki
Hadjar adalah pendidikan yang nir-paksaan. Ia menyatakan bahwa istilah opvoeding
atau pedagogiek
sebenarnya tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa kita secara tepat. Istilah
yang hampir mendekati adalah momong, among dan ngemong.
Di Taman Siswa kemudian dikenal dengan sistem Among sebagai dasar
pendidikannya. Caranya tidak dengan memaksa, seorang guru baru diharuskan
mengintervensi kehidupan si anak ketika memang si anak tersebut salah. Dalam
sistem Among
inilah familiar metode Ing Ngarsa Sung Tuladha (bila berada di depan harus
dapat memberi contoh), Ing Madya Mangun Karsa (bila di tengah-tengah harus
dapat memberi gagasan yang mendorong kemajuan), dan Tut Wuri Handayani (ketika di
belakang harus dapat memberikan dukungan atau dorongan).
Tata sekolah sesudah Indonesia
kemerdekaan yang berdasarkan satu jenis sekolah untuk tiap tingkatan
seperti pada zaman Jepang tetap
diteruskan, sedangkan rencana pelajaran pun pada umumnya sama dan bahasa
Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar untuk seluruh sekolah (Rifa’i,
2011: 135). Pada tahun 1945-1950 juga menghasilkan kurikulum nasional, yaitu
pendidikan rendah, pendidikan guru, pendidikan umum, pendidikan kejuruan,
pendidikan teknik, dan pendidikan tinggi.
Berkaitan dengan keperluan bangunan
sekolah, tindakan utama adalah mengatasi bangunan rusak atau hancur lebur
akibat revolusi fisik atau bangunan tersebut dipakai oleh pemerintah. Di
samping dilakukannya usaha-usaha pemerintah dalam mengatasi kekurangan bangunan
sekolah tersebut, juga tidak ketinggalan partisipasi masyarakat yang bergotong
royong membangun bangunan sekolah dengan peralatannya dan yang kemudian
disumbangkan kepada pemerintah (Rifa’i, 2011: 151-152).
Pendidikan zaman kemerdekaan ini,
dalam kondisi sulit tersebut hebatnnya mampu menghasilkan produk hukum tentang
pendidikan, yaitu Undang-Undang Pendidikan Nomor 4 Tahun 1950. Itulah produk
hukum pendidikan nasional pertama, terlepas kemudian kita memandang bahwa
produk hukum tersebut kurang terang memberikan definisi tentang konsep dan
sistem pendidikan nasional (Rifa’i, 2011: 148).
Selain itu di masa ini guru juga
menunjukkan darma baktinya bagi pendidikan nasional. Peran para guru salah
satunya bisa kita lihat pada 25 November 1945. Pada tanggal tersebut berdirilah
Persatuan Guru Republik Indonesia. PGRI mempunyai asas-asas perjuangan sebagai
berikut:
1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia,
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai
dengan dasar-dasar kerakyatan, dan
3. Membela hak dan nasib buruh pada umumnya dan guru pada
khususnya (Soegarda Poerbakawatja dalam Rifa’i, 2011: 149-150).
Kita bisa menyimpulkan bahwa
usaha-usaha nyata yang pernah dilakukan pemerintah berkaitan dengan pendidikan
antara tahun 1945-1950 adalah seputar bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem
kerja, serta biaya (Rifa’i, 2011: 151).
Penutup
Penjajah Belanda dalam perjalanan
sejarahnya menunjukkan bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang
diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang
sudah ada. Konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk
memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja atau
kantor-kantor yang lain. Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan
priyayi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah
status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah
memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit. Secara tidak langsung,
pengaruh Politik Etis terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi
munculnya kaum pendidik dan pergerakan Indonesia.
Meski zaman pendudukan Jepang di
bumi Nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah
disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia
untuk membantu kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan
mendekati tokoh-tokoh kiai yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan
sandaran politik mereka. Kebijakan di bidang pendidikan yang dikeluarkan oleh
Jepang memang banyak yang terlihat seolah-olah ingin meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia, tetapi pada kenyataannya kebijakan tersebut sarat
dengan muatan politis yang membawa misi Nipponisasi dan pemberdayaan bangsa
Indonesia untuk perburuhan dan mobilisasi militer.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, perubahan-perubahan tidak hanya terjadi
dalam bidang pemerintahan saja, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Perubahan
yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat
mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan
dengan dasar dan cita-cita suatu bangsa yang merdeka dan negara yang merdeka.
Untuk mengadakan penyesuaian dengan cita-cita bangsa Indonesia yang medeka
itulah, bidang pendidikan mengalami perubahan, terutama dalam landasan
utamanya, tujuan pendidikan, sistem persekolahan, dan kesempatan belajar yang
diberikan kepada rakyat Indonesia. usaha-usaha nyata yang pernah dilakukan
pemerintah berkaitan dengan pendidikan antara tahun 1945-1950 adalah seputar
bangunan sekolah, guru, kurikulum, sistem kerja, serta biaya.
DAFTAR RUJUKAN
Sjamsudin.
1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Depdikbud, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Subkhan, Edi.
2010. Ki Hajar Dewantara Peletak Dasar Pendidikan Indonesia.
K.H. Dewantara. 2004. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama:
Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Najamuddin. 2005. Perjalanan
Pendidikan Di Tanah Air (Tahun 1800-1945). Bandung: Rineka Cipta.
Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Guru
di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonial hingga
Era Reformasi. Jakarta: Depdikbud.
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Muhammad Said dan Junimar Affan.
1987. Mendidik dari Zaman Ke Zaman. Bandung: Jemmars.
Assegaf, Abd. Rachman. 2005. Politik
Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari
Praproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta: Kurnia Kalam.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah
Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
[1]
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Off A. NIM:
109831416506.
[2]
Peraturan guru Jawa yang menyatakan bahwa sebelum pengajaran agama dapat diberikan
harus izin tertulis dari pihak penguasa dan harus ada daftar muridnya.
[3]
Pihak swasta Kristen.
[4]
Masa Pemerintahan Hindia Belanda pada pertengahan hingga akhir abad ke-19.
[5]
Sesuai dengan Keputusan Raja tanggal 25 September 1892 yang dimuat dalam Lembaran
Negara 1883 No. 125. Lihat Rifa’i (2011: 60).
Thank's gan infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id
جزا كم الله خير لهاذا العلم....
BalasHapus