BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Teknologi merupakan salah satu
produk budaya sebagai hasil penerapan praktis dari ilmu pengetahuan guna
mencapai suatu tujuan tertentu (Tim dosen Pendidikan Agama Islam Universitas
Negeri Malang, 2009: 166). Pembangunan juga tak bisa lepas dari perkembangan
teknologi. Pembangunan teknologi juga
dapat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, pola pemikiran, serta adat
kebudayaan di suatu tempat.
Di Indonesia yang pada masa-masa
kolonialisme dikuasai oleh imperealisme Barat, khususnya Belanda juga sangat
membawa dampak yang luas, apalagi dengan pembangunan-pembangunan berbagai
teknologi di Indonesia yang mereka lakukan. Entah itu karena bertujuan untuk
memang membangun Indonesia ataupun hanya untuk memperlancar mobilitas mereka di
Indonesia.
Masyarakat Indonesia menganggap
bahwa penjajahan oleh Belanda sangat membawa dampak buruk karena merasa
dijajah. Banyak yang berpendapat atau banyak ditulis di buku-buku sekolah atau
pun banyak dikatakan bahwa Belanda menjajah di Indonesia selama 350 tahun.
Namun juga banyak yang mempertanyakan pernyataan tersebut. Benarkah Indonesia
dijajah Belanda selama 350 tahun? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab dan juga
merupakan suatu yang relatif tergantung dilihat dari mana. Namun, apabila selama
sekitar itu seharusnya Bahasa Belanda juga dikuasai oleh masyarakat Indonesia.
Tapi dalam kenyataannya kita tidak menguasai atau tidak mau tahu dengan bahasa
Belanda.
Rasa benci kepada Belanda
ditanamkan kepada generasi penerus Bangsa Indonesia, sehingga pada kenyataannya
kita menganggap bahwa Belanda di Indonesia hanya mengeruk kekayaan Indonesia.
Hanya kekejaman yang terngiang diwariskan kepada generasi penerus Bangsa
Indonesia. Sehingga, kebanyakan kita tidak sadar bahwa banyak pembangunan teknologi
yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Padahal,
sampai sekarang hasil pembangunan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda masih
dapat kita rasakan atau masih banyak yang kita pergunakan.
Banyak warisan-warisan pembangunan
teknologi dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia yang sampai saat
ini masih kita gunakan, salah satunya adalah kereta api. Kereta api yang pada
saat itu dijadikan sebagai alat transportasi massal, pada masa sekarang juga
merupakan alat transportasi massal juga yang juga merupakan alat transportasi
umum yang banyak digunakan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa.
Kereta api yang merupakan sebuah
sarana transportasi massal yang sampai sekarang pun masih kita temui dan masih
beroperasi di Jawa pada umumnya. Pembangunan jalur-jalur kereta api di Jawa
tersebut kemungkinan merupakan salah satu cara dari Pemerintah Kolonial Belanda
untuk memperlancar arus lalu lintas jalan dan perdangangan melalui transportasi
kereta api. Serta kemungkinan untuk memperlancar mobilitas mereka di Jawa,
karena juga Jawa merupakan pusat atau dianggap sebagai pulau yang dijadikan
sebagai pusat pemerintahan.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Apa yang menjadi latar
belakang pembangunan teknologi perkertaapian di Jawa?
2.
Bagaimana sejarah awal pembangunan
teknologi perkeretaapian di Jawa?
3.
Bagaimana pengaruh adanya
kereta api di Jawa pada masyarakat Jawa?
1.3.Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui latar belakang
pembangunan teknologi perkertaapian di Jawa.
2.
Mengetahui sejarah awal
pembangunan teknologi perkeretaapian di Jawa.
3.
Mengetahui pengaruh adanya
kereta api di Jawa pada masyarakat Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Latar Belakang
Pembangunan Teknologi Perkertaapian di Jawa.
Karena kepadatan penduduknya, kepadatan populasi di enam
pusat konsentrasi penduduk, dan jarak antara pusat-pusat konsentrasi penduduk
ini, pulau Jawa mempunyai potensi yang besar untuk layanan angkutan penumpang
dengan kereta api. Layanan angkutan penumpang Pulau Jawa saat ini mencakup 95
persen dari total arus penumpang dalam jaringan kereta api Indonesia. Satu
indikasi dari kinerja kereta api dalam angkutan penumpang pulau Jawa dapat
dilihat dari pertumbuhan jarak (dalam kilometer) yang ditempuh oleh penumpang
(Joris Van der Ven, 2009: 3).
Pada tahun 1840 keadaan transportasi di Jawa sempat
mengkhawatirkan, karena banyak sapi dan kerbau yang mati akibat menarik beban
melebihi kemampuannya dan terlalu jauhnya jarak yang harus ditempuh. Sebagai konsekuensinya,
harga sapi nka i dengan drastis, juga dengan semakin naiknya biaya transportasi.
Pada tahun 1833 ongkos angkut satu pikul kopi dari Kedu ke Semarang hanya F
3,3. Banyaknya sapi dan kerbau yang mati serta naiknya ongkos transporatsi
tersebut, jelas hanya berpengaruh terhadap kelancaran pengangkutan pada waktu
itu (Oma Sutarma, 1988: 18).
Menghadapi kenyataan ini, pemerintah Hindia-Belanda tidak
tinggal diam. Ia meminta bantuan kepada menteri urusan penjajahan untuk
mengatasi masalah transportasi ini. Atas permintaan itu, menteri urusan
jajahan, J.C. Baud mendatangkan 40 ekor unta dari Teneriffe (sebuah kota di
pinggir Afrika Barat) dan sejumlah keledai ke Jawa. Binatang-binatang tersebut
dimaksudkan sebagai penarik kereta. Selain mendatangkan unta dan keledai, Baud
juga mendatangkan 20 buah roda-roda bergerigi ke Jawa, lengkap dengan
rel-relnya (Oma Sutarma, 1988: 19).
Sehubungan dengan kesulitan angkutan barang ini, maka pada
tanggal 15 Agustus 1840, Kolonel Jhr. Van der Wijk mengajukan memo kepada
pemerintah Hindia-Belanda, untuk membangun jaringan jalan kereta api. Dengan memasang
jalur kereta api sepa njang pulau Jawa akan sangat menguntungkan baik dari segi
ekonomi maupun segi militer. Jalur kereta api yang diusulkannya ini, akan
membentang dari Surabaya melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung, terus ke
Jakarta. Sebagai seorang militer, Wijk memandang perlu pembangunan kereta api
untuk pertahanan. Ia mengajukan rencana ini sehubungan dengan masih banyaknya
pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, khususnya di Jawa. Kemungkinan
lain ialah adanya trauma dari perang
Diponegoro yang sempat merepotkan militer dan membobolkan keuangan Belanda. Usul
Wijk ini mendapat dukungan dari J. Trom sebagai insinyur kepala bagian
pengairan dan pembangunan yang menyarankan agar dibuatnya jalan kereta api dari
Surabaya ke Cilacap (Oma Sutarma, 1988:21).
2.2.Sejarah Awal Pembangunan
Teknologi Perkeretaapian di Jawa.
Menurut
Siti Khoirun Nikmah dan Valentina Sri Wijiyati
(2008: 4), Sejarah kereta api di
Indonesia awalnya dibangun pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J.
Baron Sloet van den Beele tahun 1864, di Desa Kemijen, Semarang. Lahirnya
kereta api sekaligus juga menandai awal industrialisasi di Indonesia yang
melahirkan kelas buruh perkebunan dan buruh pabrik, beriringan dengan masa awal
perkembangan industri modern di Eropa. Ketika mengalami kebangkrutan ekonomi
akibat perang Diponegoro (1825 – 1830), Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel)
dengan mewajibkan penduduk pribumi menanam tanaman untuk pasar Eropa (tebu,
kopi, nila, kapas, tembakau), disertai dengan pendirian pabrik gula. Saat
itulah, kereta api dibangun dengan fungsi utama sebagai alat angkut (lori) tebu
dan hasil perkebunan lainnya sampai tiga tahun pertama.
Menurut
Rudolf Mrazek (2006: 10-11), dalam tahun 1842, tahun yang sama dengan terbitnya
artikel Kopiist, dalam alur optimisme
rekayasa yang sama, raja Nederland Belanda: “ Guna memajukan transportasi
produk dan benda lain dari Semarang ke Kedoe, Wilayah Voorsten Landen di Jawa, dan sebaliknya, akan dibangun sebuah jalur
rel kereta api dari besi “. Sebetulnya, dibutuhkan dua puluh lima tahun,
setelah dekrit kereta api pertama dari raja untuk Hindia Belanda untuk
membangun rel besi 25 kilometer yang pertama di tanah jajahan itu, dan
dibutuhkan sepuluh tahun lagi untuk membangun 300 kilometer berikutnya---semuanya
di Jawa. Dengan langkah-langkah berat dan lambat, bukan dengan nyaman
sebagaimana disarankan oleh Kopiist,
kereta api di Hindia Belanda akhirnya muncul.
Di
tahun 1888, delapan jalur utama kereta telah beroperasi, semuanya di Jawa, dan
kelima belas kota besar di pulau itu telah memiliki sambungan kereta api. Dalam
bulan April 1899, sebuah trem listrik dibangun di Batavia, dan dalam tahun
1909, jalur-jalur trem di kota itu sudah sepanjang 14 kilometer. Seluruh tahun
itu hanya ada satu kecelakaan fatal dilaporkan di jalur-jalur trem Batavia
(Rudolf Mrazek (2006: 11).
Pelaksanaan
pembangunan jaringan jalan kereta api ini baru dapat dilaksanakan pada tanggal,
7 Juni 1864, yang diawali dengan pencangkulan pertama oleh Gubernur Jenderal Sloet
van der Beele di Semarang. Mengingat sarana dan prasarana yang untuk pembuatan jalur
jalan ini masih sangat sederhana, ditambah lagi dengan keadaan medan yang cukup
berat, maka pembangunannya berjalan lambat. Pada tahun 1867 baru selesai
dibangun jalur jalan Semarang-Tanggung sepanjang 25 kilometer, dan pada tahun
itu juga jalur tersebut dibuka untuk umum. Pada tahun yang sama telah selesai
pula jalur Jakarta-Bogor yang dibangun sejak tahun 1869 (PNKA, 1970: 21-22).
Gambar 1. Jalur jalan Kereta Api pertama di Jawa
antara Semarang dan Kedung Jati. Terlihat pada gambar stasiun Kereta api darurat,
yang pertama di Jawa antara th. 1871.
Sumber: Handinoto. 1999. Perletakan Stasiun Kereta Api Dalam Tata Ruang
Kota-kota Di Jawa (Khususnya Jawa Timur) Pada Masa Kolonial. Dimensi Teknik
Arsitektur, 2 (27): 48-56.
Menurut Handinoto (1999: 48-49), Jaringan jalan
kereta api di Jawa dibangun antara tahun 1870-an sampai tahun 1920-an.
Sebenarnya gagasan pembangunan jalan kereta
api di Jawa sudah muncul sejak th. 1840, tapi
gagasan tersebut baru menjadi kenyataan pada
tahun 1871. Jalur pertama jalan kereta api di
Jawa adalah antara Semarang dengan Kedung
Jati, yang diresmikan pada th. 1871. Kemudian disusul dengan jalur Batavia-Buitenzorg
(Jakarta-Bogor) yang dibuka pada tahun 1873
dan menyusul jalur Surabaya-Pasuruan pada th. 1878. Pada th. 1884, diselesaikan jalur Buitenzorg-Bandung (Bogor-Bandung), dan kemudian disusul hubungan Surabaya-Solo dan Semarang. Sepuluh tahun kemudian pada tahun
1894, jalur jalan kereta api Surabaya-Batavia melalui
Maos, Yogyakarta dan Solo berhasil diselesaikan.
Dan pada tahun 1912 jalur alternatif kedua
antara Surabaya-Batavia, melalui Cirebon dan
Semarang berhasil diselesaikan. Sesudah itu jalur-jalur
sekunder juga mulai dibangun. Di sebelah
barat, diselesaikan jalur dari Anyer ke Labuan.
Sedangkan di sebelah timur sampai Panji dan
Banyuwangi.
Sudah sejak
pertengahan 1920-an, bahkan rel-rel untuk
Jawatan Kereta Api Hindia Belanda diimpor dari Eropa. Pada awal 1940-an,
sampai akhir era penjajahan Belanda, praktis semua peralatan teknis datang dari
barat. Hanya beberapa bagian badan kereta, dan bantalan rel, terbuat dari katu
jati dan kayu Asia lain. Banyak dan kebanyakan di sejumlah besar pekerja
terampil jawatan kereta api dan pembangunan jalan adalah orang-orang Cina
Hindia Belanda atau orang-orang pribumi yang didatangkan dari pulau lain atau
bagian lain Pulau Jawa (Rudolf Mrazek, 2006: 16).
Dalam pembangunan jalan kereta api, kuli yang terlibat
dapat dikatagorikan dalam tiga bentuk, yaitu kuli wajib, kuli bebas tetap dan
kuli musiman. Orang-orang Cina pada umumnya bekerja sebagai kuli bebas tetap
dan kuli musiman. Sedangkan orang-orang pribumi, selain menjadi kuli bebas
tetap dan kuli musiman, mereka menjadi pula kuli wajib (Agus Mulyana, 2006: 8).
Berbagai golongan tenaga kerja terlibat, mulai dari orang pribumi, Cina dan
orang Eropa. Orang pribumi dan Cina kebanyakan mereka bekerja sebagai kuli.
Sedangkan orang Eropa sebagai kepala cabang, mandor pekerja, pemborong dan
teknisi (Agus Mulyana, 2006: 12).
Menurut Tjahjono
Rahardjo (2008: 4) Semarang adalah satu-satunya
kota besar di Jawa yang tidak dilayani Staatsspoorwegen (SS). Tapi sebaliknya
Semarang dilayani oleh tiga perusahaan kereta api swasta terkemuka di masa itu:
selain Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) juga Samarang- Joana
Stoomtram Maatschappij (SJS) dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).
Jaringan kereta api di
Jawa merupakan salah satu jaringan yang
terlengkap di Asia 1 (Lombard, 1996: 139).
Langkah selanjutnya dengan adanya jaringan
kereta api tersebut adalah penempatan stasiun
kereta api pada kota-kota yang dilewatinya.
Kecenderungan yang paling mudah untuk
perletakan stasiun kereta api adalah di pusat
kota, supaya mudah di jangkau oleh penumpang
dari berbagai penjuru kota. Tapi peruntukkan
tanah dan lalu lintas ditengah kota yang sudah
ada kadang-kadang merupakan kendala bagi
perletakan bangunan stasiun yang belum
terpikirkan sebelumnya. Penempatan stasiun
kereta api di kota-kota di Jawa masa lalu pada
umumnya berhasil dengan baik. Seperti stasiun
kota di Bandung, Tegal, Probolinggo, Pasuruan,
Malang, Jombang dan sebagainya. Keberhasilan
penempatan ini juga didukung dengan sosok
bangunannya sendiri yang berhasil memancarkan
pesannya keseluruh penjuru kota sesuai dengan
misi stasiun itu sendiri.
Gambar 2. Jaringan jalan Kereta
Api pada th. 1888 dan th. 1925, di P. Jawa seperti yang terlihat di peta.
Jaringan jalan Kereta Api di Jawa merupakan salah satu jaringan yang terlengkap
di Asia pada jamannya.
Sumber: Handinoto. 1999. Perletakan Stasiun Kereta
Api Dalam Tata Ruang Kota-kota Di Jawa (Khususnya Jawa Timur) Pada Masa
Kolonial. Dimensi Teknik Arsitektur, 2 (27): 48-56.
Tiga
tahun setelah mulai beroperasi di Indonesia, kereta api mulai digunakan untuk
mengangkut penumpang. Pada masa itu, jaringan rel dibangun dengan cepat,
sehingga tahun 1939, panjang rel telah mencapai 6.811 km. Pada tahun yang sama,
jaringan kereta api telah melebar ke Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan (PT KAI
2007: 03), sehingga kereta api berkembang menjadi tulang punggung utama dalam
sistem transportasi darat untuk mengangkut penumpang dan barang.
Rel sepanjang
26 km antara Keminjen-Tanggung yang dibangun tahun 1864 oleh Belanda, sebagai
titik awal perkembangan kereta api di Indonesia. Seiring dengan kebutuhan
angkutan hasil perkebunan dan distribusi barang, jaringan kereta api mulai
merambat ke berbagai kota di pulau Jawa, bahkan di beberapa kota di pulau Sumatera
(Soegijapranata, 2004: 1).
Gambar
3. Peta Jalur Kereta Api pada tahun 1925.
Sumber:
www.google.co.id.
Menurut
Soegijapranata (2004: 1) Sejak dioperasikan tahun 1864 hingga kemerdekaan 1945,
pengelola kereta api di bumi Nusantara dikendalikan trio yakni Staat Spoorwegen
(SS), Verenigde Spoorwegenbedrifj (VS) dan Deli Spoorwegen Mastschappij (DSM).
Mereka berhasil menghantar kereta api sebagai salah satu alat transportasi yang
dapat menjangkau banyak tempat dan kota. Serta yang terpenting, menjadi tulang punggung
perekonomian yang mengandalkan ekspor hasil perkebunan waktu itu.
Gambar 4. Lintas utama
kereta api terpenting dan jalan kereta api antar kota
di Jawa
Timur.
Sumber: www.google.co.id.
2.3.Pengaruh adanya kereta api
di Jawa pada masyarakat Hindia Belanda.
Pada tahun 1882, menurut kata-kata sebuah komisi
khusus dari Indisch Genootschap yang
terpelajar, kereta api dan rel-rel kecil, yakni trem-trem, juga di Hindia
Belanda, terbukti merupakan “yang paling bermanfaat dari temuan-temuan sekarang
ini, kemenangan paling mengagumkan oleh manusia atas waktu dan jarak, intensif
paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban (Rudolf
Mrazek, 2006: 11).
Tetapi kereta api di Hindia Belanda, seperti di
mana pun di dunia, memiliki daya tarik yang menajubkan. Barangkali kuda-kuda
boleh dibuat tidak panik. Tetapi, segera setelah rel-relnya dipasang dan kereta
api muncul, orang, di seluruh bentang alam, berbalik dan bergerak ke arah
kereta. Di tahun 1883, sebuah terbitan resmi Belanda tentang jajahan Hindia
Belanda zaman itu mengatakan: “Terutama penduduk asli sangat memanfaatkan
keberadaan kereta api”. Ini menjadi sebuah apendiks tak terelakkan dari
optimisme jalanan. Paling sering, ini sekedar tekanan yang ditaruh secara
canggung (Rudolf Mrazek, 2006: 16-17).
Rudolf Mrazek (2006: 17) menjelaskan bahwa dalam
1904, sebuah komisi penyelidikan khusus pemerintah melaporkan bahwa jumlah
penumpang di kelas satu (Eropa) kereta api Hindia Belanda naik sebesar 4.000
selama 3 tahun terakhir; di kelas dua (orang Eropa yang berpendapatan rendah
dan pribumi kelas atas) jumlah penumpang naik 33.000, tidak begitu banyak
sebenarnya. Di kelas tiga (Pribumi), bagaimanapun (atau kelas kambing,
sebagaimana biasa disebut), kenaikan adalah 550.000! Komisi itu tidak
menyembunyikan keterkejutannya: “Pemanfaatan kereta api dan trem oleh orang
kecil/kleine man (istilah Belanda
untuk rakyat, orang jalanan, pribumi) naik lebih cepat dari dugaan semula”.
Orang-orang kecil, pria dan wanita, dan anak-anak,
tampaknya tidak gugup sewaktu jalur kereta menyentuh habitat mereka, tetapi
tampaknya mereka pun tidak takjub pula atas teknologi modern itu. Sungguh,
mereka tampak tidak terlalu banyak mengubah cara-cara tradisional mereka.
Tampaknya mereka sekedar menambah sedikit pada tradisi itu. Secara pragmatis,
secara massal, dan dengan pemanfaatan kereta secara efisien, logisnya, mereka
tampaknya bergerak: alasan-alasan bepergian yang sifatnya ekonomis (pasar,
mencari kerja) 69, 5 %; alasan-alasan bepergian yang sifatnya pribadi 30, 5 %;
kunjungan kepada anggota keluarga lain 20, 8 %; hukum dan tatanan (panggilan ke
kantor pemerintah atau pengadilan) 3,6 %; iman dan tradisi (kunjungan ke makam
dan tempat suci lain) 3 %; bersenang-senang 3,1 % (Rudolf Mrazek, 2006: 17).
Menurut Rudolf Mrazek (2006: 17-18), Pribumi,
sebagaimana didapati oleh keempat kondektur itu, memilih kereta api, terutama,
karena memungkinakan mereka membawa bagasi gratis seberat 50 kilo atau lebih.
Rakyat kecil Hindia Belanda bepergian bersama dengan kambing dan terkadang ayam
mereka seperti biasanya, dan dengan berkantung-kantung pakaian serta makanan.
Orang Madura (pulau di lepas pantai utara Jawa), menurut laporan itu,
senantiasa dikenal sebagai echte zwerver,
“pengelana sejati”. Namun sekarang, seperti dikatakan laporan itu, “semua
pribumi sangat ingin menggunakan kereta dan trem untuk tujuan mereka sendiri”.
Komisi itu menemukan pula bahwa pribumi dari kelas bawah, “rakyat sederhana”,
massa sejati, lebih sering bepergian dan lebih bersemangat daripada pribumi
kelas lebih atas, bangsawan pribumi, pribumi yang menjadi pegawai kolonial,
elite yang didukung Belanda, yang menurut rencana ideal kerajaan itu, akan
mewariskan cara-cara modern dengan cara teratur kepada rakyat koloni itu:
“pemuka-pemuka pribumi (ternyata) jauh lebih hokvaster (lebih menyukai tinggal di rumah, harfiahnya: menyukai
sisi perapiannya) daripasa rakyat kecil ... Rakyat kecil ... jauh lebih sering
berpindah tempat tinggal daripada yang biasa dipikirkan orang”. Santri, murid
dan pengajar Islam Hindia Belanda—yang lama dicurigai oleh pemerintah kolonial
sebagai unsur subvertif dalam masyarakat pribumi, calon-calon pemimpin
kerusuhan---sesungguhnya terbukti, menurut laporan para kondektur itu,
merupakan salah satu segmen penduduk asli Hindia Belanda yang secara radikal
lebih kerap menggunakan kereta dan trem daripada sisanya.
BAB
III
PENUTUP
Di Indonesia yang pada masa-masa
kolonialisme dikuasai oleh imperealisme Barat, khususnya Belanda juga sangat
membawa dampak yang luas, apalagi dengan pembangunan-pembangunan berbagai
teknologi di Indonesia yang mereka lakukan. Entah itu karena bertujuan untuk
memang membangun Indonesia ataupun hanya untuk memperlancar mobilitas mereka di
Indonesia. Salah satunya adalah dengan membangun sarana dan prasarana
transportasi kereta api.
Pada tahun 1840 keadaan transportasi di Jawa
sempat mengkhawatirkan, karena banyak sapi dan kerbau yang mati akibat menarik beban
melebihi kemampuannya dan terlalu jauhnya jarak yang harus ditempuh. Sebagai konsekuensinya,
harga sapi nka i dengan drastis, juga dengan semakin naiknya biaya transportasi.
Pada tahun 1833 ongkos angkut satu pikul kopi dari Kedu ke Semarang hanya F
3,3. Banyaknya sapi dan kerbau yang mati serta naiknya ongkos transporatsi
tersebut, jelas hanya berpengaruh terhadap kelancaran pengangkutan pada waktu
itu
Sehubungan dengan kesulitan angkutan barang ini, maka pada tanggal 15
Agustus 1840, Kolonel Jhr. Van der Wijk mengajukan memo kepada
pemerintah Hindia-Belanda, untuk membangun jaringan jalan kereta api. Dengan memasang
jalur kereta api sepa njang pulau Jawa akan sangat menguntungkan baik dari segi
ekonomi maupun segi militer. Jalur kereta api yang diusulkannya ini, akan
membentang dari Surabaya melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung, terus ke
Jakarta. Sebagai seorang militer, Wijk memandang perlu pembangunan kereta api
untuk pertahanan. Ia mengajukan rencana ini sehubungan dengan masih banyaknya
pemberontakan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, khususnya di Jawa. Kemungkinan
lain ialah adanya trauma dari perang
Diponegoro yang sempat merepotkan militer dan membobolkan keuangan Belanda. Usul
Wijk ini mendapat dukungan dari J. Trom sebagai insinyur kepala bagian
pengairan dan pembangunan yang menyarankan agar dibuatnya jalan kereta api dari
Surabaya ke Cilacap.
Sejarah kereta api di Indonesia awalnya dibangun
pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J. Baron Sloet van den
Beele tahun 1864, di Desa Kemijen, Semarang. Lahirnya kereta api sekaligus juga
menandai awal industrialisasi di Indonesia yang melahirkan kelas buruh
perkebunan dan buruh pabrik, beriringan dengan masa awal perkembangan industri
modern di Eropa. Ketika mengalami kebangkrutan ekonomi akibat perang Diponegoro
(1825 – 1830), Belanda menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel)
dengan mewajibkan penduduk pribumi menanam tanaman untuk pasar Eropa (tebu,
kopi, nila, kapas, tembakau), disertai dengan pendirian pabrik gula. Saat
itulah, kereta api dibangun dengan fungsi utama sebagai alat angkut (lori) tebu
dan hasil perkebunan lainnya sampai tiga tahun pertama.
Pada tahun 1882, menurut kata-kata sebuah komisi
khusus dari Indisch Genootschap yang
terpelajar, kereta api dan rel-rel kecil, yakni trem-trem, juga di Hindia
Belanda, terbukti merupakan “yang paling bermanfaat dari temuan-temuan sekarang
ini, kemenangan paling mengagumkan oleh manusia atas waktu dan jarak, intensif
paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban.
Tetapi kereta api di Hindia Belanda, seperti di
mana pun di dunia, memiliki daya tarik yang menajubkan. Barangkali kuda-kuda
boleh dibuat tidak panik. Tetapi, segera setelah rel-relnya dipasang dan kereta
api muncul, orang, di seluruh bentang alam, berbalik dan bergerak ke arah
kereta. Di tahun 1883, sebuah terbitan resmi Belanda tentang jajahan Hindia
Belanda zaman itu mengatakan: “Terutama penduduk asli sangat memanfaatkan
keberadaan kereta api”. Ini menjadi sebuah apendiks tak terelakkan dari
optimisme jalanan. Paling sering, ini sekedar tekanan yang ditaruh secara
canggung.
DAFTAR RUJUKAN
Handinoto.
1999. Perletakan Stasiun Kereta Api Dalam Tata Ruang Kota-kota Di Jawa
(Khususnya Jawa Timur) Pada Masa Kolonial. Dimensi Teknik Arsitektur, 2 (27):
48-56.
Lombard, Denys. 1996.
Nusa Jawa, Silang Budaya Jilid 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mrazek, Rudolf. 2006. Engineer
of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyana,
Agus. 2006. KULI DAN ANEMER :
Keterlibatan Orang Cina Dalam Pembangunan Jalan Kereta Api Di Priangan
(1878-1924). Disajikan dalam Konferensi Nasional Sejarah Ke VIII yang
dilaksanakan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Direktorat Jenderal Sejarah dan
Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jakarta 14-
17 November 2006.
PNKA. 1970. Sekilas Lintas 25
Tahun Perkeretaapian Indonesia. Bandung: Balai Grafika.
PT. KAI. 2007. Profil Perusahaan. Bandung:
PT KAI.
Rahardjo,
Tjahjono. 2008. Kilas Sejarah Stasiun-Stasiun di Semarang. Bulletin
Internal Komunitas Pelestari Kereta Api Indonesia, (3): 4-6.
Siti Khoirun Nikmah dan
Valentina Sri Wijiyati. 2008. Kereta Apiku Sayang, Kereta Apiku Malang: Proyek Efisiensi
Perkeretaapian. Jakarta:
International NGO Forum On Indonesia Development.
Soegijapranata. 2004. Dari
Semarang, Membangun Kembali Kejayaan Kereta Api. Kronik UNIKA, (44): 1-2.
Sutarma, Oma. 1988. Studi
Tentang Pembangunan dan Perkembangan Kota 1868-1900. Skripsi tidak diterbitkan.Yogyakarta:
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam
Universitas Negeri Malang. 2009. Aktualisasi
Pendidikan Islam: Respon Terhadap Problematika Kontemporer. Surabaya: Hilal
Pustaka.
Ven, Joris Van der.
2009. Potensi Pasar Kereta Api Di
Indonesia: Indonesia Infrastructure Intiative. Jakarta: Kemitraan Australia
Indonesia.
www.google.co.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar