BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Politik sangat erat sekali
hubungannya dengan kenegaraan atau pemerintahan. Dalam kehidupan kita sekali
pun juga tidak jauh-jauh dari urusan politik, atau dengan kata lain kita
mungkin juga menjalani kehidupan politik. Namun, politik tersebut juga memiliki
tujuan tertentu yang pada umumnya bertujuan demi kebaikan, namun baik untuk
siapa atau untuk apa, hal tersebut merupakan penilaian yang relatif. Adapun
dalam kenegaraan atau pemerintahan, politik tersebut digunakan untuk kebaikan
rakyat. Namun pada penerapannya, tokoh-tokoh atau pelaku politik kemungkinan
juga dapat menyelewengkan wewenangnya yang kemungkinan bertujuan untuk
kebaikannya sendiri maupun golongannya.
Adapun pengertian dari politik
menurut berbagai ahli memiliki arti atau makna yang bermacam-macam, namun
intinya juga adalah sama. Profesor Miriam Budiardjo (2008: 13) menjelaskan
bahwa ilmu yang mempelajari politik atau politics
atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Di
Indonesia kita teringat pepatah gemah
ripah loj jinawi. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles
menamakannya sebagai en dam onia atau
the good life. Dan sedangkan menurut
Menurut Kuntowijoyo (2003: 173), pada umumnya definisi politik menyangkut semua
kegiatan yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Perbedaan pokok dari
ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial (termasuk ilmu politik) ialah bahwa
sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial meluas dalam
ruang. Sedangkan menurut Abdul Mu’in Salim (1994: 34-35), Politik diserap ke
dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara
atau terhadap negaral lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan
sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. Ada dua
kecenderungan pendefisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik
dengan negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat atau pemerintahan daerah;
kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan masalah kekuasaan, otoritas dan atau
dengan konflik.
Namun, apabila kita kaji menurut
kajian Islam, menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (1971: 13) menjelaskan bahwa
tata aturan Islam itu adalah tata-aturan yang bersifat politik dan bersifat
agama. Hal itu adalah karena hakikat Islam melengkapi segi-segi kebendaan
(maddijah) dan segi-segi kejiwaan (ruhijah) dan dia mencakup segala amal insani
dalam kehidupan duniawiyah dan ukhrawiyah. Sebenarnya falsafah Islam adalah falsafah
yang mencampurkan antara urusan-urusan dunia dengan urusan akhirat yang
jalin-menjalin yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Karena itu,
kedua segi itu menyusun suatu kesatuan yang harmonis.
Dalam perpolitikan Islam di
Indonesia, dalam hal ini adalah masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
khususnya di Nusantara, dalam penyelenggaraan pemerintahannya juga tidak lepas
dari kehidupan politik. Politik kenegaraan pada masa kerajaan-kerajaan Islam
Nusantara pun pasti berbeda dengan politik kenegaraan pada masa saat ini, namun
hakekatnya juga adalah sama tujuannya, yaitu demi kehidupan yang lebih baik.
Kemungkinan hanya caranya saja yang berbeda atau jiwa zamannya yang berbeda.
Dalam bidang kenegaraan dan
pemerintahan pada masa Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa
juga tidak lepas dari peranan para Ulama Islam dalam penyenggaraannya. Ulama
Islam Nusantara dalam hal ini sering disebut dengan Wali Songo. Wali Songo
selain juga sebagai Ulama Islam yang menyiarkan Agama Islam juga sebagai tokoh
yang berperan dalam hal kehidupan kenegaraan dan pemerintahan Kerajaan-kerajaan
Islam Nusantara.
Suatu yang mungkin terdengar asing
bagi kita yang masih awam adalah peranan Wali Songo dalam bidang politik,
padahal yang kita tahu pada umumnya peranan Wali Songo adalah sebagai Ulama
Islam atau penyebar Agama Islam. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
dibahas tentang peranan politik Wali Songo dalam kehidupan bernegara
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
1.2.Rumusan Masalah
1.
Siapakah Wali Songo tersebut?
2.
Bagaimana posisi Wali Songo
pada Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa?
3.
Bagaimana peranan politik
Wali Songo dalam kehidupan bernegara Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa?
1.3.Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui tentang Wali
Songo.
2.
Mengetahui posisi Wali
Songo pada Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
3.
Mengetahui peranan politik
Wali Songo dalam kehidupan bernegara Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Wali Songo
Pada umumnya, kita mengenal Wali Songo adalah sembilan orang wali yang
menyebarkan Agama Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Kesembilan wali
tersebut yaitu Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung
Jati. Namun, sebenarnya apabila kita kaji apakah mungkin Wali Songo tersebut
dapat hidup bersamaan dengan perbedaan umur yang sampai puluhan tahun bahkan
ratusan tahun. Dan kemungkinan Wali Songo tersebut merupakan sekedar sebuah
nama organisasi ulama atau dewan ulama Islam pada masa itu.
Berikut
ini adalah nama dari Wali Songo dan tempat dakwahnya, yaitu:
NO
|
NAMA SUNAN
|
TEMPAT DAKWAH
|
1
|
Sunan Maulana Malik Ibrahim
|
Gresik
|
2
|
Sunan Ampel
|
Ampel Denta-Surabaya
|
3
|
Sunan Giri
|
Giri Kedaton Gresik
|
4
|
Sunan Bonang
|
Lasem sampai Tuban
|
5
|
Sunan Kalijaga
|
Kadilangu (Demak)
|
6
|
Sunan Kudus
|
Kudus
|
7
|
Sunan Drajad
|
Drajad (Lamongan)
|
8
|
Sunan Muria
|
Gunung Muria
|
9
|
Sunan Gunungjati
|
Cirebon
|
Tabel
1. Walisongo dan Daerah Dakwahnya.
Gambar
1. Silsilah Walisongo dan Periode Penyebarannya.
Sumber:
www.google.com
Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 254)
dalam masyarakat Islam Jawa, dikenal sembilan wali yakni Sunan Giri, Sunan
Cirebon, Sunan Gesang, Sunan Majagung, Syaikh Lemah Abang, Sunan Undung, Sunan
Bonang, Sunan Drajat, dan Sunan Kalijaga.
Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 136) sebenarnya Wali Songo adalah nama
suatu dewan dakwah atau dewan mubaligh. Apabila salah seorang dari dewan
tersebut pergi atau meninggal dunia, maka akan segera diganti oleh wali
lainnya. Seperti tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yang
penulisnya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Wali Songo melakukan
sidang tiga kali, yaitu: tahun 1404 M adalah sembilan wali, tahun 1436 M masuk
tiga wali mengganti yang wafat, tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang
wafat dan pergi.
Menurut KH. Dachlan Abd. Qohar dalam MB. Rahimsyah AR. (2006: 136),
pada tahun 1466 M, Wali Songo melakukan sidang lagi membahas berbagai hal. Di
antaranya adalah perkara Syekh Siti Jenar, meninggalnya dua orang wali, yaitu
Maulana Muhammad Al Maghrobi dan Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua
orang wali menjadi anggota Wali Songo.
Wali Songo yang merupakan nama sebuah dewan wali atau ulama dalam
peranannya di Nusantara memiliki beberapa periode. Dan setiap periode pun juga
memiliki anggota dewan wali yang memiliki perbedaan keanggotaan maupun jumlah
anggota. Dan dari periode awal sampai akhir periode Wali Songo pun juga
memiliki nama-nama tokoh yang berbeda pula. Dalam hal ini, periode Wali Songo
dibagi menjadi lima periode.
Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 136-137) pada waktu Sultan Muhammad I
memerintah Kerajaan Turki, beliau menanyakan perkembangan Agama Islam kepada
para pedagang dari Gujarat (India). Dari mereka, Sultan mendapat kabar berita
bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu, yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di
antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga
pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota
pelabuhan. Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada para pembesar Islam di
Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah
untuk dikirim ke Pulau Jawa. Maka berkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi
serta mempunyai karomah.
Menurut MB. Rahimsyah AR. (2006:137) pada tahun 808 Hijriah
atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim,
berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat
di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilo meter dari sebelah
utara Pabrik Semen Gresik.
2. Maulana Ishak, berasal dari
Samarqand (dekat Buhara- Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Setelah
tugasnya di Jawa selesei, Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
3. Maulana Ahmad Jumadil
Kubro, dari Mesir. Beliau dakwah keliling. Makamnya di Trowulan, Mojoketo Jawa
Timur.
4. Maulana Muhammad Al
Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko), beliau berdakwah keliling. Wafat tahun
1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5. Maulana Malik Isro'il, berasal
dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung
Santri.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar,
berasal dari Persia (Iran), ahli pengobatan. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di
Gnung Santri.
7. Maulana Hasanudin, berasal dari
Palestina. Berdakwah keliling. Wafat tahun 1462 M. Makamnya di samping Masjid
Banten Lama.
8. Maulana Aliyudin, berasal dari
Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya di samping
Masjid Banten Lama.
9. Syekh Subakir, berasal dari
Persia, Ahli menumbali tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang
menyesatkan manusia. Dengan adanya tumbal itu jin-jin tadi akan menyingkit dan
tanah yang ditumbali dijadikan Pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali,
maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah
seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir meninggal dunia ketika beristirahat
di daerah Blitar. Hingga sekarang makam pengikut Syekh Subakir tersebut ada di
sebelah utara Pemandian Blitar Jawa Timur. Di sana ada peninggalan Syekh
Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno.
Pada
periode kedua, masuklah tiga orang wali yang menggantikan tiga wali yang wafat,
yaitu Raden Ahmad Ali Rahmatullah yang berasal dari Cempa yang datang ke Jawa
pada tahun 1421 menggantikan Malik Ibrahim; Sayyid Ja’far Shodiq yang berasal
dari Palestina yang datang di Jawa tahun 1436 M menggantikan Malik Isro’il,
beliau tinggal di Kudus dan dikenal dengan Sunan Kudus; Syarif Hidayatullah
yang berasal dari Palestina yang datang di Jawa pada tahun 1436 M menggantikan
Maulana Ali Akbar. Sidang Wali Songo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya
(MB. Rahimsyah AR., 2006: 138).
Pada tahun 1463 M. Masuklah
empat wali menjadi anggota Wali Songo, yaitu Raden Paku atau Syekh Maulana
Ainul Yaqin, karena tinggal di Giri maka beliau lebih dikenal dengan Sunan
Giri; Raden Said atau Sunan Kalijaga yang merupakan putra Adipati Wilatikta dan
beliau menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia; Raden Makdum Ibrahim
atau Sunan Bonang yang merupakan putra Sunan Ampel menggantikan Maulana
Hasanuddin; Raden Qasim atau Sunan Drajad
yang juga putra Sunan Ampel menggantikan Maulana Allyuddin. Sidang Wali
Songo yang ketiga ini berlangsung di Ampel Denta (Asnan Wahyudi
dan Abu Khalid M.A., 1993: 13-14).
Pada periode keempat, menurut Asnan Wahyudi dan Abu
Khalid M.A., (1993: 14) pada tahun 1466 M diangkat dua wali yang
menggantikan dua wali yang telah wafat, yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan
Maulana Muhammad Al-Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya adalah Raden Hasan
atau Raden Fattah (Raden Patah) yang merupakan murid Sunan Ampel dan putra Raja
Brawijaya Majapahit[1],
beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M, kemudian membangun
Masjid Demak pada tahun 1465 M dan dinobatkan menjadi Raja atau Sultan Demak
pada tahun 1468; Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati yang dipilih sebagai
anggota Wali Songo untuk membantu ayahnya yang telah berusia lanjut.
Pada periode kelima, menurut MB. Rahimsyah AR. (2006: 140) dapat
disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said
putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat. Konon Syekh Siti Jenar atau
Syekh Lemah Abang itu adalah salah seorang anggota Wali Songo, namun karena
Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat
dan mengabaikan syariat agama, maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya
kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat bekas Adipati Semarang (Ki
Pandanarang) yang telah bertobat dan menjadi murid Sunan Kalijaga.
Namun, pada masyarakat umum, Wali Songo yang dikenal adalah Syekh
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad,
Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Namun lebih
menekankan kembali bahwa Wali Songo adalah sebuah dewan ulama atau dewan wali
yang sebenarnya keanggotaannya pun tidak selalu sama dari periode ke periode,
tidak hanya sembilan wali yang umumnya kita ketahui, padahal wali-wali
sebelumnya sudah ada dan merupakan dewan wali atau ulama Islam.
2.2.Posisi Wali Songo pada
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Wali Songo dalam posisinya dalam kerajaan dapat dikatakan
juga sebagai ulama kerajaan, namun juga adalah sebagai juga penentu atau
penasihat agama Islam. Selain itu juga ketika penyebaran Islam dengan merebut
kekuasaan, para wali juga ikut berperan dalam bidang politik kenegaraan.
De Graaf dan Pigeaud (1986:77) menjelaskan bahwa Sebagai
ahli dan penegak hukum fiqh (= fakih)
di Demak yang beragama Islam itu, sudah tentu bertindak seorang kiai dari
kalangan alim ulama. Jabatan pemangku hukum syariat dan fungsi pemimpin masjid
(imam), sudah sejak permulaan zaman Islam di Jawa berhubungan erat. Gelar
“panghulu” (kepala), yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak, mungkin suatu
bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh juga di bidang hukum.
Tentang Sunan Gunung Jati yang merupakan seorang Panglima
Tentara Demak. Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan panglima Demak itu adalah orang yang kemudian disebut Sunan
Gunung Jati, menjadi jelas karena adanya berita dari kronik Tionghoa dari
klenteng Talang yang bertarikh tahun 1552. Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228)
menjelaskan bahwa Faletehan atau Sunan Gunung Jati pada tahun 1526, ketika dikirim
oleh Sultan Trenggono ke Cirebon dan Sunda Kelapa adalah panglima perang. Sama
sekali ia bukan seorang ulama.
Tentang agama Islam di Demak, menurut Prof. Dr. Slamet
Muljana (2009: 228) menjelaskan bahwa Sultan Demak beserta pengikutnya memeluk
agama Islam madzhab Hanafi, seperti yang diajarkan oleh Sunan Ngampel alias
Bong Swi Hoo.
Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 258) menjelaskan tentang
Sunan Giri, diceritakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa ia dalam menghadapi bala
tentara Majapahit hanya melemparkan kalamnya. Dalam Serat Kanda, diceritakan
bahwa Sunan Cirebon memberikan badong kepada panglima tentara Demak yang
melawan tentara Majapahit. Tentang Sunan Bonang, diceritakan bahwa ia berupa
empat memenuhi kiblat, ketika ia menghadapi Raden Said yang membegalnya di
tengah jalan.
2.3.Peranan politik Wali
Songo dalam kehidupan bernegara Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
Bahwa
Demak merupakan tempat penting dilihat dari segi agama Islam dapat disimpulkan
berdasarkan cerita bahwa wali-wali di Jawa berpusat di masjid keramat Demak,
yaitu yang menurut cerita tersebut didirikan oleh wali itu secara bersama-sama”
(Supratikno R. dan Wiwin D.R., 1997: 62).
Peranan Wali Songo dalam politik Kerajaan Demak salah
satunya, Imron Abu Amar (1996: 23-24) menjelaskan bahwa dalam buku Babad Demak
disebutkan, bahwa Sunan Giri tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk menjadi
Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto sendiri telah tercemar pribadinya karena
tertuduh membunuh Pangeran Sedo Lepen. Sedang suara Sunan Kudus lain lagi,
beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati Jipang), karena Arya Penangsang
adalah pewaris (keturunan) lansung Sultan Demak dari garis keturunan yang
tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap
kepribadian yang teguh dan pemberani. Lain halnya dengan Sunan Kalijaga, beliau
ini mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga dengan
nama “Djoko Tingkir”, ia adalah manantu Sultan Trenggono. Sikap pencalonan
Sunan Kalijaga terhadap diri Pangeran Hadiwijaya ini disertai alasan bahwa jika
yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan (kerajaan) Islam Demak
akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam
kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat
kesultanan itu berada di pedalaman (di Pajang). Sikap dan pendapat Sunan
Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena Sunan yang
satu ini berpendapat apabila kegiatan pengembangan Islam berpusat di pedalaman
(di Pajang) sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia , terutama menyangkut
bidang Tasawwuf besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “Mistik” atau
Klenik. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan
sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Pangeran Hadiwijaya.
De Graaf dan Pigeaud (1986: 263-264) menjelaskan bahwa, mengenai
asal riwayat hidup Sultan Pajang, yang telah melanjutkan kekuasaan dinasti
Demak atas Jawa Tengah, buku-buku cerita (serat
kandha) dan babad memuat banyak cerita. Pada pokoknya, isinya mengatakan
bahwa ia putra raja Pengging terakhir yang dibunuh oleh Sunan Kudus. Waktu
masih kecil bernama Mas Karebet karena pada saat lahirnya wayang beber[2]
sedang dipertunjukkan di rumah ayahnya.
Pada masa remaja ia bernama Jaka Tingkir, sesuai dengan nama Tingkir, tempat ia
dibesarkan.
Menurut cerita Mataram, Jaka Tingkir adalah cucu Sunan
Kalijaga dari Kadilangu, yaitu orang suci yang di Jawa Tengah bagian selatan
dianggap yang terpenting di antara sembilan wali” (De Graaf dan Pigeaud, 1986:
265).
Dalam bidang politik peranan Wali Songo yang sangat kelihatan adalah tentang Wali
Songo yang menghukum Syaikh Siti Jenar. Prof. Dr. Slamet Muljana (2009: 228)
menjelaskan bahwa Syaikh Siti Jenar telah dikenakan hukuman bakar karena
dituduh menyelewengkan ajaran agama Islam, membeberkan rahasia yang seharusnya
disimpan baik-baik. Terbukti bahwa pembesar-pembesar di wilayah kerajaan
Majapahit yang memeluk Islam aliran Syi’ah tidak mau tunduk kepada Sultan
Demak. Mereka membentuk kekuatan baru
yang mengincar Kesultanan Demak. Mereka menguasai daerah-daerah sempit beserta
rakyatnya, bebas dari kekuasaan Demak.
De Graaf (1985: 97) menjelaskan bahwa satu-satunya petunjuk
kronologis yang mungkin dapat diperoleh dalam Babad Tanah Jawi ialah fakta bahwa pemimpin Demak yang turut serta
dengan ekspedisi terhadap Giri (1589?) masih bergelar Adipati, sedangkan orang
yang turut serta dengan ekspedisi ke Kediri (1591) hanya disebut sebagai
Bupati. Maka, tahun 1590 dapat diperkirakan sebagai jatuhnya Kerajaan Demak.
BAB
III
PENUTUP
Wali Songo yang merupakan nama sebuah dewan wali atau ulama dalam
peranannya di Nusantara memiliki beberapa periode. Dan setiap periode pun juga
memiliki anggota dewan wali yang memiliki perbedaan keanggotaan maupun jumlah
anggota. Dan dari periode awal sampai akhir periode Wali Songo pun juga
memiliki nama-nama tokoh yang berbeda pula. Dalam hal ini, periode Wali Songo
dibagi menjadi lima periode. Dari beberapa periode tersebut, nama-nama wali
dalam Wali Songo banyak sekali dan dari periode ke periode juga selalu ada
pengganti wali yang meninggal dunia atau pergi. Nama-nama Wali Songo tersebut
adalah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, Maulana
Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al Maghrobi, Maulana Malik Isro'il, Maulana
Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanudin, Maulana Aliyudin, Syekh Subakir, Raden
Ahmad Ali Rahmatullah, Sayyid Ja’far Shodiq, Syarif Hidayatullah, Raden
Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin, Raden Said atau Sunan Kalijaga, Raden
Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Qasim atau Sunan Drajad, Raden Hasan
atau Raden Fattah (Raden Patah), Fathullah Khan, Sunan Muria atau Raden Umar
Said.
Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah seorang
anggota Wali Songo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran
yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama, maka Siti Jenar
dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat
bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah bertobat dan menjadi murid
Sunan Kalijaga.
Namun, pada masyarakat umum, Wali Songo yang dikenal adalah Syekh
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad,
Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.
Peranan Wali Songo dalam bidang politik sebenarnya sangat menonjol,
namun juga pada akhir hayatnya kemungkinan lebih berperan dalam menyiarkan
agama Islam dari pada politik, sehingga dalam kenyataan sekarang banyak orang
yang tahu hanya bahwa Wali Songo tersebut merupakan penyebar agama Islam di
Nusantara khususnya di Jawa. Namun juga pada mulanya Wali Songo sendiri memang
bertujuan untuk mengislamkan Jawa, dan seiring dengan perkembangan, Wali Songo
juga berperan dalam politik Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa.
DAFTAR RUJUKAN
Amar, Abu Imron. 1996. Sejarah
Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus.
AR., MB. Rahimsyah. 2006. Kisah Syekh Siti Jenar. Surabaya: Gali Ilmu.
Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi. 1971. Ilmu
Kenegaraan Dalam Fiqih Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Asnan Wahyudi dan Abu Khalid M.A.1993. Kisah Wali Songo Para Penyebar Agama Islam Di Tanah Jawa. Surabaya:
Karya Ilmu.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar
Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Graaf , H. J. De. 1985. Awal
Kebangkitan Mataram Masa pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafiti Pers.
Hariwijaya, M. 2007. Kerajaan-kerajaan
Islam di Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Insan Muda.
H. J. Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Peralihan
dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Muljana, Slamet. 2009. Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.
Yogyakarta: LKiS.
Salim, Abdul Mu’in. 1994. Fiqh
Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Quran. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Supratikno Rahardjo dan Wiwin Djuwita Ramelan. 1997. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur
Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
suwun brother....
BalasHapusmakasi ilmunya brother
terima kasih kembali, semoga barokah, amin :-)
BalasHapus